Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Dilema Sistem Pemasyarakatan Indonesia: Dibina atau Ditempa?
25 September 2023 18:54 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Farras Audia Raihany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP 1946 itu dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen).
ADVERTISEMENT
Kejahatan sering disebut sebagai delik hukum (rechts delict). Artinya sebelum hal itu diatur dalam undang-undang, sudah dipandang sebagai seharusnya dipidana. Sedangkan pelanggaran sering disebut sebagai delik undang-undang (wet delict). Artinya dipandang sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang.
Kejahatan adalah semua tindak pidana yang termasuk ke dalam Buku II KUHP, sedangkan Pelanggaran adalah semua tindak pidana yang termasuk ke dalam Buku III KUHP.
Sejak diundangkannya KUHP 2023 pada 02 Januari 2023, sistem pidana Indonesia tidak lagi mengenal adanya perbedaan istilah maupun pemisahan pengaturan antara kejahatan dan pelanggaran melainkan dilebur menjadi tindak pidana sebagai substansi Buku II.
Penggabungan tersebut didasari pertimbangan bahwa konsep kejahatan sebagai rechts delict dan pelanggaran sebagai wets delict tidak diterapkan secara konsisten.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan lainnya adalah bahwa ada perbuatan yang sama diatur dalam Bab Kejahatan dan Bab Pelanggaran, sehingga sering terjadi dualisme pengaturan dan menyebabkan ketidakpastian dalam penerapan hukum.
Tiga pokok permasalahan hukum pidana berpusat kepada pembahasan mengenai tindak pidana (criminal act, strafbaar feit, delik, perbuatan pidana), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan masalah pidana dan pemidanaan.
Apabila terjadi suatu pelanggaran norma mengenai gangguan terhadap tertib hukum (tindak pidana) baik sengaja (dolus) maupun tidak sengaja/kelalaian (culpa), maka dilakukan penjatuhan hukuman terhadap pelaku atau yang biasa dikenal dengan upaya pemidanaan. Pemidanaan dilakukan demi terpeliharanya tertib hukum dan juga terjaminnya kepentingan masyarakat umum.
Sebagaimana dikutip dari jurnal yang ditulis Abdul Syatar (2018) pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata pidana pada umumnya diartikan sebagai hukum, pemidanaan diartikan sebagai penghukuman.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan pemidanaan menjadi suatu aspek penting yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan pemerintahan Belanda di Indonesia. Awalnya, para terpidana diwajibkan untuk bekerja secara paksa demi kepentingan penguasa kolonial, dan mereka ditempatkan di penjara-penjara pusat.
Namun, hal ini berubah ketika Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) mulai diberlakukan pada tanggal 15 Oktober 1915. Konsep "pidana kerja" tidak lagi dikenal, dan digantikan oleh "pidana hilang kemerdekaan," dengan para pelaku kejahatan ditempatkan dalam penjara.
Tujuan pemidanaan pada masa ini lebih cenderung mengikuti teori retributif atau absolut, yang menganggap pemidanaan sebagai bentuk pembalasan atas kesalahan yang dilakukan oleh terpidana serta sebagai upaya melindungi masyarakat dari kejahatan.
Seiring dengan meningkatnya pengakuan terhadap hak asasi manusia dan sebagai akibat dari perlakuan kejam, penyiksaan, dan perlakuan tidak manusiawi selama Perang Dunia II, pemikiran tentang sistem pemidanaan mengalami perkembangan menuju pendekatan yang lebih manusiawi.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, juga muncul pemikiran baru di bidang pemidanaan, dengan fokus pada tujuan pemidanaan yang lebih manusiawi, yaitu konsep sistem pemasyarakatan.
Tujuan dari sistem ini adalah untuk mengembalikan terpidana ke masyarakat melalui upaya reintegrasi sosial, menciptakan kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki diri dan menjadi anggota masyarakat yang produktif kembali.
Konsep pemasyarakatan di Indonesia diperkenalkan oleh Sahardjo pada tahun 1963. Ia mengemukakan bahwa tujuan dari pidana penjara di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, tetapi juga ditujukan untuk membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.
Munculnya konsep pemasyarakatan pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh dorongan pemikiran untuk pelaksanaan pemidanaan yang lebih manusiawi dan melindungi hak-hak asasi terpidana, termasuk tahanan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1955, dorongan untuk memberlakukan sistem pemidanaan yang lebih manusiawi diinisiasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam dokumen bernama "Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners".
Dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak dan perlakuan minimum yang harus diberikan kepada terpidana dan tahanan selama mereka berada dalam lembaga pemasyarakatan atau penahanan.
Pemberlakuan Standar Minimum Rules serta munculnya konsep Pemasyarakatan menandai perubahan signifikan dalam sistem pemidanaan Indonesia.
Sistem yang sebelumnya lebih berfokus pada hukuman sebagai bentuk pembalasan (punitive sentiment) kini bertransformasi menjadi sistem yang lebih menekankan upaya pembinaan terhadap para narapidana, dengan tujuan mengembalikan mereka ke masyarakat sebagai individu yang lebih baik. Perubahan ini mencerminkan pergeseran pemikiran yang lebih manusiawi dalam penanganan terpidana.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagaimana telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang menegaskan bahwa:
Perubahan dari sistem penjara menjadi sistem pemasyarakatan telah membuka babak baru dalam proses pembinaan narapidana dan anak didik di Indonesia.
Ini mencakup pembinaan fisik dan pembinaan rohani dengan tujuan mempersiapkan mereka untuk kembali hidup secara normal di masyarakat. Lembaga tempat proses pembinaan ini dilakukan dikenal sebagai lembaga pemasyarakatan (lapas).
Meskipun demikian, tujuan nobel pembentukan lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan yang awalnya diusulkan oleh Sahardjo masih terasa jauh dari pencapaian yang ideal.
Munculnya berbagai masalah kriminal dan permasalahan lainnya telah membangkitkan kesadaran kita untuk mengevaluasi kembali model pemidanaan yang digunakan dalam penegakan hukum pidana. Dalam konteks ini, reorientasi sistem pemidanaan menjadi suatu pertimbangan yang penting untuk mengatasi tantangan yang muncul.
ADVERTISEMENT
Di antara permasalahan yang terjadi di LP adalah keributan antar sesama narapidana, perlakuan para petugas lapas terhadap narapidana, pelarian narapidana, terjadinya pembunuhan sesama narapidana, perdagangan narkoba, pelecehan seksual dan berbagai persoalan-persoalan negatif lain yang sering terdengar dari balik jeruji besi tersebut.
Di samping itu sering terjadi, narapidana yang pada awalnya tidak begitu mengenal kehidupan kasar yang seharusnya diresosialisasi melalui pembinaan di lapas.
Namun setelah menjalani masa pemidanaan yang cukup untuk dapat menerima proses prisonisasi di lapas, ternyata mempunyai perilaku yang mengarah kepada kehidupan yang keras dan kasar yang menjadi ciri utama sebagian besar subkultur narapidana. Sehingga sering kita dengar bahwa lapas merupakan tempat sekolah bagi narapidana yang ingin ke jenjang kejahatan yang lebih tinggi.
Keadaan-keadaan di atas membuat kita kembali bertanya, apakah tujuan dalam penjatuhan pidana di Indonesia yaitu untuk melindungi masyarakat terhadap perbuatan kejahatan seyogyanya dapat dan/atau telah terwujudkan?
ADVERTISEMENT
Pandangan yang menganggap bahwa dengan diasingkannya si penjahat itu untuk sementara, maka masyarakat akan diberikan rasa aman dan merasa di lindungi oleh orang-orang yang berbuat jahat tersebut, tidak akankah menjadi paradox di masa yang akan datang?
Belum lagi kita membahas mengenai keadaan lapas di Indonesia dengan kondisi fasilitas dan sarana prasarananya yang tidak memadai, sehingga tidak dapat memberikan pembinaan yang optimal kepada narapidana.
Persoalan lainnya yang dihadapi adalah mengenai overcapacity yang terjadi karena adanya ketimpangan antara ketersediaan ruangan dengan jumlah narapidana yang terus bertambah dari waktu ke waktu.
Dengan melihat berbagai permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, salah satu alternatif yang muncul sebagai solusi permanen untuk mengatasi tantangan di dalam lapas adalah penggunaan sarana non-penal dalam menangani kejahatan di seluruh proses peradilan pidana yang terpadu.
ADVERTISEMENT
Pendekatan ini dapat diterapkan mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga tahap akhir di lembaga pemasyarakatan (lapas/LP).
Salah satu bentuk pendekatan ini yang dapat digunakan adalah pendekatan restorative justice. Pendekatan ini menekankan pemulihan dan rekonsiliasi antara pelaku kejahatan, korban, dan masyarakat, bukan hanya hukuman dan pembalasan.
Dengan mengadopsi prinsip-prinsip restorative justice, kita dapat membangun sistem pemasyarakatan yang lebih manusiawi dan berfokus pada rehabilitasi serta reintegrasi narapidana ke dalam masyarakat.
Konsep restorative justice merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional di mana masyarakat dan korban merasa tersisihkan.
Pendekatan ini menitik beratkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.
ADVERTISEMENT
Pendekatan restorative justice ini berorientasikan pada proses pemulihan keadaan seperti semula yang dilakukan dengan cara menyelesaikan secara bersama-sama akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.
Model pendekatan restorative justice merupakan suatu model pendekatan yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum untuk memberikan ruang bagi masyarakat dalam menangani sendiri permasalahan hukumnya (terutama dalam kasus-kasus pidana yang relatif ringan) yang dirasakan lebih adil.
Dengan cara demikian setidaknya dapat mengurangi jumlah narapidana yang harus mendekam dalam lembaga pemasyarakatan.