Jawara Banten dalam Era Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1946)

Farda Novrianto
Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
3 Mei 2022 16:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farda Novrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menara yang menjadi ciri khas masjid Banten, peninggalan masa kolonial (Sumber: Dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Menara yang menjadi ciri khas masjid Banten, peninggalan masa kolonial (Sumber: Dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
Istilah jawara di Banten lebih banyak mengacu pada seseorang atau sekelompok orang yang memiliki pengaruh dalam lingkungan tertentu. Menurut KBBI, kata jawara diartikan sebagai "pendekar, jagoan" yang memberikan makna bahwa jawara sebagai orang yang dipandang hebat dan kuat dalam suatu kelompok masyarakat. Banten dengan kerajaan islam nya (Kesultanan Banten) membuat posisi atau kedudukan ulama sangat dipandang di masyarakat sekitar serta memiliki pengaruh yang kuat.
ADVERTISEMENT
Namun istilah jawara juga ternyata sangat terkenal dalam masyarakat Banten di mana ulama/kiai sebagai tokoh sentralnya, sedangkan jawara serta santri adalah murid dari ulama/kiai tersebut. Istilah jawara ini sudah ada sejak masa kolonial Belanda, ketika jawara bersama kiai berjuang melawan kolonialisme oleh pemerintahan Belanda kala itu. Peran dan pengaruh jawara di masyarakat Banten mulai terlihat ketika menjelang runtuhnya kesultanan Banten pada era kepemimpinan Daendels.

Pemberontakan oleh Para Jawara di Banten
Pembacaan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945 merupakan puncak dari perjuangan dalam meraih kemerdekaan oleh bangsa Indonesia, usaha-usaha untuk menyebarluaskan berita kemerdekaan ini mulai muncul di seluruh lapisan masyarakat. Tentunya berita kemerdekaan ini mendapat antusiasme tinggi dari seluruh rakyat Indonesia, berita kemerdekaan ini disebarluaskan ke setiap daerah hingga pelosok. Setiap daerah tersebut berbeda dalam menanggapi berita kemerdekaan ini, salah satunya di Banten ketika berita kemerdekaan ini terdengar oleh beberapa kelompok masyarakat yang justru menyalah artikannya. Jawara menjadi salah satu kelompok masyarakat yang salah mengartikan berita kemerdekaan ini.
ADVERTISEMENT
Kelompok jawara menilai bahwa kemerdekaan ini berarti menuntaskan serta menghapuskan segala hal yang berbau kolonialisme serta penindasan yang ada di Banten dengan cara-cara yang cenderung lebih ke arah kekerasan, provokasi hingga perampokan. Terdapat beberapa pemberontakan yang terjadi di Banten pada era revolusi kemerdekaan ini yang tentunya ada peran jawara dalam peristiwa tersebut, peristiwa Cinangka dan penyerangan markas kampetai merupakan bagian dari pemberontakan para jawara di Banten semasa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa Cinangka Hingga Penyerangan Markas Kempetai
Kisruh semasa era revolusi hampir terjadi di setiap daerah, upaya-upaya untuk membersihkan sisa-sisa kolonial justru disalah artikan dalam beberapa persitiwa yang terjadi. Di Banten juga terjadi beberapa peristiwa pemberontakan dalam rangka revolusi kemerdekaan Indonesia. Mohammad Mansur (ce mamat) merupakan salah satu tokoh jawara dalam era revolusi kemerdekaan di Banten, ia merupakan bekas sekretaris PKI cabang Anyer. Ce Mamat dikenal sebagai komunis sekaligus jawara ketika ia bebas dari penahanan di penjara Kempetai. Sebelum pembebasan ce Mamat, meletus peristiwa Cinangka pada 16 Agustus 1945 buah dari ketegangan sosial antara kalangan masyarakat khususnya petani dengan para priyai (pamongpraja).
ADVERTISEMENT
Mereka mendesak kepada Tubagus Muhammad Arsyad yang menjabat sebagai camat setempat agar kemudian bahan sandang yang ia kuasai diserahkan semuanya kepada masyarakat. Tubagus pun tidak begitu saja menyerahkan, ia kemudian menolak desakan masyarakat tersebut hingga terjadi perampokan di rumahnya. Tubagus kabur ke Anyer dengan maksud tujuan untuk meminta bantuan kepada wedana Anyer, Raden Sukrawardi. Hal tersebut bertujuan agar kemudian Wedana berunding dan menenangkan masyarakat dari amarahnya, dengan diantar 2 orang polisi tak disangka justru mereka mendapat serangan ketika memasuki desa tersebut.
Dalam penyerangan tersebut, Raden Sukrawardi terbunuh ketika masyarakat menyerang menggunakan tongkat sebagai senjatanya sedangkan yang lainnya dapat meloloskan diri. Pemberontakan selanjutnya terjadi ketika rombongan polisi beserta serdadu Jepang masuk ke desa tersebut pada 18 Agustus 1945, kemudian terjadi perkelahian massal yang menelan korban antara petani dan polisi tersebut. Diyakini bahwa peristiwa pemberontakan ini menjadi awal dari rangkaian pemberontakan-pemberontakan lainnya.
ADVERTISEMENT
Lepas dari peristiwa Cinangka, kemudian muncul penyerangan terhadap markas Kempetai di Banten. Bebagai kelompok sosial masyarakat tergabung dalam aksi penyerangan ini, barisan kelompok pemuda serta para jawara mendominasi aksi tersebut. Penurunan bendera Jepang di berbagai instansi pemerintah yang ada di Banten menjadi awal aksi penyerangan tersebut. Keresahan mulai muncul di kalangan para pejabat sipil Jepang serta para pamongpraja nya, kemudian mereka melarikan diri ke daerah Jakarta dan sekitarnya.
Kekosongan jabatan residen terjadi ketika Yuki Yoshi menyerahkan jabatannya ke Raden Tirtasujatna, namun Tirta Sujatna pada akhirnya juga meninggalkan Banten. Kandidat kuat muncul atas inisiatif rakyat untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut, K.H. Akhmad Khatib kemudian diangkat sebagai residen Banten pada tanggal 19 September 1945 dengan dukungan penuh dari jajaran masyarakat Banten kala itu. Dipilihnya K.H. Akhmad Khatib selain karena ia merupakan seorang ulama yang disegani masyarakat juga karena ia merupakan keturunan terakhir dari kesultanan Banten yang berhak mewarisi tahta kesultanan sehingga diharapkan oleh masyarakat Banten kelak menjadi pemimpinnya.
ADVERTISEMENT
Pada awal kepemimpinannya, K.H. Akhmad Khatib melakukan perundingan dengan Kempetai agar pihaknya dapat menyerahkan kekuasaan dan persenjataannya ke pemerintah. Perundingan tersebut disetujui dengan setelah proses evakuasi orang-orang Jepang yang ada di Banten agar kemudian dapat berkumpul dengan aman di Kota Serang. Namun persetujuan tersebut gagal setelah terjadi insiden penyerangan ketika BKR (Badan Keamanan Rakyat) mengutus Abdul Mukti dan Juhdi untuk menjemput pasukan angkatan darat Jepang yang berada di Sajira Rangkasbitung. Dalam perjalanan menuju kota Serang, rombongan tersebut dihadang oleh rakyat setempat di lintasan kereta Api sekitar Warunggunung.
Dengan batalnya perundingan tersebut, kemudian pecah penyerangan terhadap markas kempetai yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat yang datang dari berbagai daerah di Banten. Peran jawara berpengaruh besar terhadap persitiwa penyerangan ini, bisa dilihat dari luapan emosi serta keberanian mereka dalam melakukan penyerangan ke markas kempetai.
ADVERTISEMENT
Dualisme Kepemimpinan, Jawara dengan Ulama
K.H. Akhmad Khatib mengumumkan susunan aparatur pemerintahan untuk seluruh wilayah di banten, namun ia tetap mempertahan kan 3 Bupati dari Serang, Pandeglang serta Lebak dengan alasan tenaganya masih bisa dipakai serta dianggap berpengalaman dalam urusan pemerintahan. Berbeda dengan para jawara yang berpandangan bahwa dalam susunan pemerintahan di Banten segala hal yang berbau kolonial harus dihapus karena mereka dianggap sebagai pengkhianat.
Ce Mamat yang dikenal sebagai jawara serta seorang komunis berusaha menghimpun agar dapat menggulingkan pemerintahan yang lama. Pada Oktober 1945, Ce Mamat mendirikan dewan rakyat. Ia kemudian memaksa residen agar membatalkan surat pengganti aparat pemerintahan untuk kemudian diserahkan kepada dewan rakyat untuk memilih sendiri orang yang layak untuk mengganti posisi di pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Tidak sampai disitu, Ce Mamat bersama orang-orangnya menculik dan membunuh bupati Rangkasbitung RT Hardiwinangun. Keberadaan dewan rakyat ini jelas membuat masyarakat kebingungan harus kepada siapa mereka patuh sehingga kemudian timbul dualisme kepemimpinan, 1 pihak berada di residen dan pihak lainnya ada di dewa rakyat yang kemudian lebih mendominasi pemerintahan. Segala tindakan pasukan dewan rakyat tampaknya membuat kalangan masyarakat takut karena terjadi berbagai aksi perampokan hingga perampasan terhadap penduduk sekitar. Gerakan para kelompok jawara mulai terlihat setelah adanya dewan rakyat dibawah pimpinan ce Mamat.
Keberadaan dewan rakyat ini dapat ditumpas ketika Mohammad Hatta dalam pidatonya menegaskan agar semua golongan masyarakat tidak berbuat atas kehendaknya sendiri serta tetap mematuhi arahan dan aturan pemerintah. Tidak lama kemudian Tentara Kemanan Rakyat (TKR) dibawah pimpinan KH Syam’un bergegas dalam bertindak untuk menumpas keberadaan dewan rakyat ini. Hingga pada akhirnya dewan rakyat mampu dilumpuhkan pada 8 Januari 1946 dengan pertempuran antara kekuatan pasukan TKR dari 3 kota di Banten dengan pasukan dewan rakyat selama hampir 24 jam, Ce Mamat selaku pemimpin dari gerakan ini ditangkap bersama dengan antek-anteknya.
ADVERTISEMENT
Sumber :
Shofariyanto, A. (2017). Pemberontakan dewan rakyat di Banten (1945). Doctoral dissertation, Universitas Pendidikan Indonesia.
Tihami 1992, "Kiai dan Jawara di Banten", Tesis Master, Universitas Indonesia, Jakarta