Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Catch Me If You Can: Apa yang Bisa Diharapkan dari Periode Kedua Donald Trump?
10 November 2024 9:30 WIB
·
waktu baca 18 menitTulisan dari Farhan Rizqullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Donald Trump kembali berhasil merebut kursi presiden Amerika Serikat, kali ini untuk periode keduanya. Melalui perjalanan panjang penuh drama dan tantangan, Trump berhasil memenangkan kembali kepercayaan publik Amerika. Dengan heroisme dan kepopulerannya yang tidak diragukan lagi, pertanyaan pun muncul: apakah ini awal dari empat tahun pemerintahan yang positif, atau justru babak baru drama di Gedung Putih?
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan lalu, tepatnya di bulan Agustus, saya menulis di Medium tentang kemungkinan Kamala Harris menggantikan Joe Biden sebagai calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Di artikel tersebut, saya menyebut bahwa Harris memerlukan momentum lebih kuat untuk menutupi ketertinggalan elektabilitas yang dialami Demokrat, terutama setelah debat terakhir Biden yang merusak daya tarik partai di mata para swing voters. Bagi sebagian besar pemilih yang merindukan stabilitas dan dinamisme, figur Biden yang mulai tampak menua menjadi kelemahan serius, apalagi ketika adegan publik yang memperlihatkan dirinya harus dituntun untuk berjalan terlanjur tertanam di benak banyak orang.
ADVERTISEMENT
Kamala Harris, meski berpengalaman sebagai Wakil Presiden AS selama empat tahun, masih menghadapi tantangan besar dalam membuktikan kredibilitasnya. Popularitasnya memang signifikan, tetapi pengalaman dan jaringan politiknya dianggap kalah dibandingkan figur-figur senior Demokrat lainnya, seperti Elizabeth Warren atau Bernie Sanders. Harris lebih sering diandalkan sebagai ikon populer yang mampu menarik perhatian publik, tetapi itu saja tidak cukup untuk mengamankan kepemimpinan atas bangsa dengan lebih dari 300 juta jiwa yang terpecah dalam pandangan politik.
Di sisi lain, dengan keputusan Biden mundur dari pencalonan, Partai Republik tampak lebih siap beraksi. Trump dan wakilnya, J.D. Vance, tidak hanya konsisten dalam sikap dan kebijakan, tetapi juga unggul dalam daya tarik dan kohesi tim. Mereka tidak menghadapi tantangan untuk mengonsolidasikan basis suara seperti Demokrat, dan dengan cepat mengantongi dukungan senior partai. Mereka juga tidak perlu menelusuri daftar panjang politikus Demokrat yang cocok untuk jadi partner politik Kamala dengan pertimbangan rumit, tidak terlalu liberal untuk menarik simpati swing voters, dan tidak terlalu konservatif agar tidak kehilangan dukungan loyalis Demokrat. Sebuah situasi yang tidak terlalu diambil pusing oleh Republikan, J.D. Vance memiliki daya tarik tersendiri, yaitu kesukaan publik yang luas, sebuah anekdot apabila melihat Tim Walz, partner politik Kamala, yang bahkan sulit meraih dukungan dari lingkungan terdekatnya.
ADVERTISEMENT
Namun, isu besar yang bisa menjadi penghalang Trump adalah masalah hukum yang ia hadapi. Dengan statusnya sebagai terpidana, Demokrat memanfaatkan kasus kriminal ini untuk menyerang Trump secara personal. Ironisnya, serangan tersebut tampaknya tidak mengubah dinamika pemilu. Pada saat artikel ini ditulis, "Don Felon"—julukan sarkastik dari Demokrat, setelah ia didakwa dalam kasus uang bungkam—telah mengumpulkan 295 suara elektoral, mengungguli Harris yang hanya mencapai 226, jauh dari ambang batas 270 suara untuk meraih kursi kepresidenan di Gedung Putih. Publik mungkin lebih terpesona oleh ketangguhan Trump yang nyaris "ajaib," terutama setelah insiden penembakan di mana peluru sniper seorang remaja labil pecinta senjata hanya menggoreskan luka kecil di telinganya. Drama ini menjadi bukti bahwa, bagi sebagian besar pendukungnya, Trump adalah sosok heroik yang tak tergoyahkan, bahkan ketika isu kriminal berusaha menimpanya.
Project 2025: Proyek besar pendukung Trump yang ditakuti para Demokrat
ADVERTISEMENT
Jika ada yang paling merayakan kemenangan Trump ini dengan meriah, lengkap dengan kembang api dan pesta besar-besaran, maka mereka adalah kaum Republikan konservatif. Bagi mereka, Trump adalah lebih dari sekadar presiden; ia adalah juru selamat dari kemerosotan nilai dan norma yang mereka yakini telah terjadi akibat kebijakan Demokrat. Kemenangan Trump ini menyalakan kembali harapan kaum konservatif untuk menghapus kebijakan-kebijakan progresif, seperti yang tertuang dalam inisiatif ambisius yang dikenal sebagai Project 2025. Blueprint ini mengemuka ketika Trump mengumumkan pencalonan untuk masa jabatan keduanya, menjadi panduan bagi kaum konservatif untuk merombak pemerintahan Amerika menuju visi yang lebih tradisionalis.
Project 2025, yang dikembangkan oleh Heritage Foundation, sebuah lembaga pemikir konservatif, memiliki lebih dari 100 penasihat yang berhaluan kanan. Proyek ini memetakan langkah-langkah untuk presiden berikutnya dalam merombak sektor eksekutif dan menata kembali birokrasi. Meski Trump menjauhkan diri dari beberapa elemen proyek ini selama kampanye, menyebut beberapa proposalnya “buruk,” Demokrat dan pemilih independen melihat ini sebagai langkah strategis Trump untuk menarik simpati swing voters.
ADVERTISEMENT
Diketuai oleh Paul Dans sebagai direktur proyek dan Spencer Chretien sebagai direktur asosiasi yang keduanya adalah mantan pejabat tinggi di era Trump. Project 2025 memiliki empat komponen utama: panduan kebijakan, basis data personel bergaya LinkedIn untuk posisi eksekutif, program pelatihan administrasi presidensial, dan buku panduan 900 halaman yang menjelaskan langkah-langkah konkret dalam 180 hari pertama. Proyek ini dirancang untuk memberikan presiden yang terpilih kontrol penuh atas birokrasi dan kebijakan nasional, termasuk perombakan kebijakan dalam bidang-bidang yang selama ini diperdebatkan.
Salah satu isu panas yang disoroti Demokrat adalah kebijakan pro-life dalam Project 2025 yang ingin merevisi status mifepristone, pil aborsi yang telah digunakan selama dua dekade. Rekomendasi ini, diusulkan oleh Departemen Kesehatan, menginginkan pembatasan penggunaan mifepristone hanya sampai tujuh minggu kehamilan, bukan sepuluh seperti saat ini. Selain itu, pil ini harus diberikan langsung oleh tenaga medis, bukan melalui pengiriman pos. Langkah ini tentu memicu kontroversi, terutama di kalangan Demokrat yang melihatnya sebagai kemunduran dalam hak-hak reproduksi perempuan.
ADVERTISEMENT
Proyek ini juga mengusulkan pembaruan nilai keluarga tradisional melalui "The Family Agenda," yang menekankan definisi biologis pria dan wanita serta mempromosikan pernikahan sebagai institusi alami. Proyek ini menganggap pernikahan antara pria dan wanita sebagai kondisi ideal untuk tumbuh kembang anak, suatu pendekatan yang akan dianggap regresif oleh generasi muda yang semakin banyak memilih hubungan tanpa ikatan pernikahan. Demokrat mengingat kebijakan Trump yang melarang transgender dalam militer—yang kemudian dicabut oleh Biden—dan khawatir Project 2025 akan mengembalikan aturan ini, mengingat visinya yang sangat konservatif.
Aspek berikut dari Project 2025 tidak hanya menuai kritik dari pendukung Demokrat, tetapi juga menimbulkan kecemasan di kalangan imigran yang mendambakan "American Dream." Project 2025 juga mencakup visi besar dalam isu imigrasi, yang telah lama menjadi titik perdebatan. Prinsip Trump yang memprioritaskan kepentingan domestik Amerika kembali dihidupkan dengan agenda imigrasi yang ketat. Proyek ini tidak menghendaki pelarangan absolut terhadap imigrasi, tetapi lebih selektif dengan pembangunan tembok di sepanjang perbatasan AS-Meksiko. Bahkan, Project 2025 ingin memperkuat kebijakan ini dengan menggunakan Garda Nasional dan personel militer aktif untuk menghadapi ancaman kartel narkoba di perbatasan, yang dinilai tak cukup ditangani oleh pemerintahan Biden.
Bagi para pendukung Trump, Project 2025 adalah janji untuk "mengembalikan Amerika" dengan fondasi nilai-nilai konservatif. Namun, di kalangan Demokrat, proyek ini dipandang sebagai ancaman yang dapat membentuk Amerika Serikat ke arah yang sangat berbeda dari prinsip-prinsip inklusivitas yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun. Meskipun Trump secara eksplisit menolak dikaitkan dengan inisiatif ini, tak dapat disangkal bahwa beberapa agenda Project 2025 sejalan dengan pemikiran dan rekam jejak Trump. Bahkan, J.D. Vance, wakil Trump, mengakui bahwa dokumen setebal 900 halaman tersebut mengandung banyak poin yang tidak sepenuhnya ditolak oleh Trump.
ADVERTISEMENT
Trade War 2.0: Ancaman untuk ekonomi China
Xi Jinping adalah salah satu dari banyak pemimpin dunia yang memberi selamat kepada Trump segera setelah hasil voting menunjukkan ia unggul dengan margin yang tinggi dari Kamala Harris pada 6 November lalu, melalui Xinhua, kantor berita milik pemerintah China, Xi mengatakan:
Peluang Trump untuk kembali memulai perang dagang dengan China dalam masa jabatannya yang kedua dapat dilihat dari kebijakan dan sikap keras yang telah ia tunjukkan di masa lalu serta rencana yang ia sampaikan selama kampanye. Trump mengisyaratkan bahwa pendekatan "America First" akan lebih tegas, dengan fokus pada proteksionisme ekonomi yang dirancang untuk mengurangi ketergantungan AS terhadap China. Upaya Trump untuk kembali menekan China kemungkinan melibatkan peningkatan tarif yang dilaporkan mencapai 60 hingga 100% yang telah ia janjikan akan dikenakan pada semua produk impor China, yang sebelumnya juga pernah ia terapkan pada periode pertama pemerintahannya, langkah yang dinilai Trump penting untuk mendorong produksi domestik.
ADVERTISEMENT
Pendekatan ini mungkin mengarah pada ketegangan lebih lanjut di kawasan Asia, di mana negara-negara seperti Taiwan dan sekutu Asia lainnya akan terpengaruh oleh strategi ekonomi AS yang lebih agresif. Taiwan menjadi perhatian penting dalam relasi AS-China, karena kebijakan AS yang lebih mendukung Taiwan dapat memicu respons keras dari China, terutama dengan adanya sentimen anti-China dalam kebijakan Trump. Trump juga diperkirakan akan mempertahankan retorika keras terhadap China terkait masalah hak asasi manusia dan teknologi, yang akan memperburuk persaingan geopolitik di kawasan Asia-Pasifik.
Meski demikian, Trump juga mengindikasikan pendekatan lebih pragmatis terhadap Taiwan, menggambarkan hubungan tersebut sebagai "asuransi" yang harus dibayar mahal oleh Taiwan untuk mendapat dukungan AS. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Trump mungkin akan menekan Taiwan untuk memberikan keuntungan finansial atau industri lebih besar bagi AS. Sentimen tersebut juga mengisyaratkan adanya keinginan untuk meminimalkan potensi kerugian bagi AS dalam melindungi Taiwan dari agresi China, sambil mengkritik keberadaan perusahaan semikonduktor Taiwan, seperti TSMC dan MediaTek, yang menurut Trump mencuri pekerjaan Amerika.
ADVERTISEMENT
Kelemahan China dalam menghadapi perang dagang baru dengan Trump adalah ketergantungan yang cukup besar pada pasar AS. Meskipun Beijing telah berupaya mendiversifikasi pasar ekspornya, pasar Amerika tetap sangat signifikan, hingga Agustus 2024, China mencatatkan nilai ekspor $47.3 Milyar ke pasar Amerika Serikat. Situasi ini memberikan leverage tambahan bagi Trump, yang bisa memanfaatkan ketergantungan ini untuk menekan Beijing dalam berbagai isu strategis, seperti teknologi dan hak kekayaan intelektual.
Namun, Trump juga menghadapi tantangan domestik. Pendekatan proteksionisnya dapat meningkatkan harga barang-barang konsumsi di AS dan membebani sektor-sektor ekonomi tertentu. Oleh karena itu, dukungan politik di dalam negeri mungkin tidak sepenuhnya solid, terutama jika kebijakan ini berdampak negatif pada konsumen dan industri AS yang bergantung pada rantai pasok global. Ini bisa menjadi hambatan bagi Trump dalam memaksakan kebijakan tarif secara ekstrem tanpa dukungan penuh dari legislatif.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Trump kemungkinan besar akan mendorong kembali negosiasi perdagangan yang lebih ketat dengan tujuan memperkuat keuntungan AS. Negosiasi yang dimaksud berpotensi membuka kesempatan bagi AS untuk memperbarui atau merevisi kesepakatan dengan China dalam aspek-aspek tertentu, seperti perdagangan barang teknologi tinggi atau layanan keuangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencegah dominasi ekonomi dan teknologi China yang dianggap mengancam kepentingan nasional AS.
Hubungan Trump dengan sekutu-sekutu Asia juga akan berperan penting dalam menentukan arah kebijakan terhadap China. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Filipina mungkin akan diajak berkolaborasi dalam membentuk blok ekonomi yang bisa menyeimbangkan pengaruh China di kawasan tersebut. Trump berpotensi menjadikan negara-negara ini sebagai mitra strategis dalam perang dagang yang lebih luas, dengan tujuan mengurangi pengaruh ekonomi China di Asia.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, prospek perang dagang baru dengan China di masa jabatan kedua Trump menunjukkan adanya peningkatan ketegangan ekonomi dan politik. Langkah-langkah proteksionis yang diusungnya mencerminkan keinginannya untuk meminimalkan pengaruh China, tetapi hal ini juga berpotensi mengundang respons signifikan dari Beijing. Di sisi lain, Trump harus mampu menyeimbangkan efek kebijakan ini dengan situasi domestik dan dukungan dari sekutu internasional agar dampaknya tidak merugikan AS secara keseluruhan.
Trump si Mesias: Arah kebijakan AS di Ukraina dan Timur Tengah
Kemenangan Donald Trump dalam Pemilu 2024 membawa sejumlah implikasi yang signifikan untuk situasi di Ukraina dan Timur Tengah, yang selama ini menjadi sorotan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dalam hal ini, Trump diperkirakan akan melanjutkan kebijakan yang lebih skeptis terhadap keterlibatan AS dalam konflik internasional, sebuah pendekatan yang telah ia tampilkan selama masa jabatannya yang pertama. Di Ukraina, meskipun Trump sebelumnya mendeklarasikan dukungan terhadap negara ini, orientasi kebijakannya yang mengutamakan kepentingan domestik Amerika berisiko mengurangi bantuan militer dan finansial dari AS ke Ukraina, sebuah langkah yang penting bagi mereka yang tengah berjuang melawan invasi Rusia.
ADVERTISEMENT
Steffan Wolff, Profesor Keamanan Internasional di Universitas Birmingham, mengemukakan bahwa kebijakan Trump kemungkinan besar akan mengarah pada upaya gencatan senjata antara Moskow dan Kyiv. Skenario ini bisa mencakup pengakuan terhadap aneksasi Krimea oleh Rusia pada 2014 dan wilayah-wilayah yang diduduki setelah invasi 2022, sebuah langkah yang jelas akan merugikan Ukraina dan memperlemah posisi internasionalnya. Meskipun Trump sebelumnya menyatakan dukungan terhadap Ukraina, pendekatannya yang lebih pragmatis dan cenderung menarik AS dari konflik internasional dapat memengaruhi kelangsungan bantuan yang sangat dibutuhkan Ukraina untuk melawan agresi Rusia.
Kebijakan luar negeri Trump yang cenderung meremehkan pentingnya NATO dapat menjadi ancaman bagi Ukraina. Trump, yang pernah menyarankan agar AS dapat keluar dari organisasi tersebut, mungkin akan lebih mendukung kebijakan Putin tentang penolakan integrasi Ukraina ke dalam NATO. Pendekatan ini dapat menciptakan ketidakpastian besar bagi sekutu-sekutu Eropa, yang dapat menilai tindakan Trump sebagai pengabaian terhadap komitmen keamanan kolektif. Jika Trump memilih untuk menarik diri dari NATO, seperti yang pernah ia lakukan dengan Paris Agreement, dampaknya akan sangat besar, tidak hanya bagi Ukraina, tetapi juga bagi stabilitas di Eropa dan seluruh kawasan Atlantik Utara.
Selama kampanye, Trump juga berjanji akan membawa perdamaian di Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
Di Timur Tengah, kebijakan Trump yang sebelumnya lebih dekat dengan Israel diperkirakan akan tetap berlanjut. Keputusan kontroversialnya seperti pemindahan kedutaan AS ke Yerusalem dan dukungan terhadap Abraham Accords yang mempererat hubungan Israel dengan beberapa negara Arab, akan terus mempertegas aliansi ini. Namun, langkah-langkah ini juga meningkatkan ketegangan dengan negara-negara Arab dan Palestina, yang merasa terpinggirkan oleh kebijakan AS tersebut.
Dengan kemenangan Trump, kemungkinan besar dukungannya terhadap Israel akan semakin tak terbantahkan, yang berisiko memperburuk ketegangan dalam konflik Israel-Palestina, terutama setelah serangan besar-besaran oleh Hamas pada Oktober 2023 yang menyebabkan ribuan korban jiwa. Hingga tulisan ini dibuat, Israel telah menewaskan 43.000 orang termasuk korban sipil wanita dan anak-anak, konflik ini memicu bencana kemanusiaan di Gaza, situasi yang membuat Israel menjadi negara pariah dengan tuduhan kejahatan perang dan gelombang protes di kampus-kampus Amerika.
ADVERTISEMENT
Trump juga diperkirakan akan mempertahankan kebijakan luar negeri yang sangat pro-Israel dan mengabaikan masalah hak-hak Palestina. Selama kampanye, Trump berjanji akan membawa perdamaian di Timur Tengah, namun tanpa memberikan perhatian yang cukup terhadap keadilan bagi Palestina. Hal ini dapat memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah sangat memprihatinkan di Gaza, terutama setelah konflik besar yang dipicu oleh serangan Hamas pada Oktober 2023. Ketidakseimbangan dalam kebijakan AS terhadap Israel dan Palestina berpotensi memperburuk persepsi terhadap peran Amerika Serikat sebagai mediator damai yang netral di kawasan tersebut.
Bagi negara-negara di Timur Tengah, terutama Iran dan negara-negara Teluk, kemenangan Trump juga dapat memicu ketegangan yang lebih besar. Trump kemungkinan akan menghidupkan kembali kebijakan "tekanan maksimum" terhadap Iran, yang sebelumnya mencakup sanksi-sanksi berat yang bertujuan untuk melemahkan ekonomi Teheran dan membatasi program nuklirnya. Kebijakan ini berisiko memicu ketidakstabilan lebih lanjut di kawasan, mengingat hubungan tegang yang sudah ada antara Iran dan AS. Di sisi lain, Trump kemungkinan akan mempererat hubungan dengan negara-negara Teluk, seperti Arab Saudi, yang cenderung lebih mendukung kebijakan luar negeri AS yang lebih keras terhadap Iran.
ADVERTISEMENT
Dengan kembali berkuasa, Trump juga bisa memberikan dukungan lebih besar terhadap negara-negara penghasil minyak, seperti Arab Saudi, yang akan menguntungkan secara diplomatik. Meski demikian, kebijakan ini berpotensi mengabaikan isu-isu hak asasi manusia yang ada di negara-negara tersebut, sebuah aspek yang sering kali menjadi perhatian bagi negara-negara Eropa dan lembaga internasional. Selain itu, hubungan bilateral yang lebih langsung ini bisa memperburuk hubungan AS dengan negara-negara yang lebih mengutamakan multilateralisme dan norma internasional.
Secara keseluruhan, kebijakan luar negeri Trump yang lebih mengutamakan kepentingan Amerika Serikat akan menghadirkan tantangan besar bagi Ukraina dan Timur Tengah. Pendekatannya yang lebih unilateral dan cenderung pragmatis ini mungkin akan memperburuk ketegangan di kedua kawasan tersebut, tanpa adanya solusi jangka panjang yang dapat memastikan perdamaian dan stabilitas. Dalam konteks ini, Trump tidak hanya menghadapi tantangan dalam menjaga aliansi tradisional AS, tetapi juga dalam merancang kebijakan luar negeri yang dapat memitigasi ketidakpastian global yang semakin meningkat.
ADVERTISEMENT
Kriminal pertama yang jadi Presiden Amerika Serikat
Di samping itu semua, kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden 2024 menandai sebuah momen sejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam politik Amerika Serikat: untuk pertama kalinya, seorang kriminal berhasil terpilih menjadi Presiden. Kasus hukum yang membelit Trump mencakup sekitar 34 tuduhan kejahatan berupa pemalsuan catatan bisnis terkait dengan pembayaran uang tutup mulut kepada seorang bintang porno, Stormy Daniels ketika kampanye pilpres AS di tahun 2016 lalu, yang mengaku berselingkuh dengan Trump yang secara pribadi dibantah olehnya.
Pertanyaan kemudian muncul ke permukaan, sebagai presiden terpilih dan memiliki kekuasaan, apakah ia mampu untuk mengampuni diirnya sendiri? Jawabannya adalah tidak. karena kasus tersebut merupakan pelanggaran undang-undang negara bagian, yang mana merupakan hak pengadilan negara bagian New York. Ia bahkan dijadwalkan untuk hadiri di sana pada 26 November untuk menerima vonis. Pengacara Trump sendiri merencanakan untuk mengajukan gugatan dengan argumen sebagai presiden terpilih, ia memiliki hak konstitusional yang sama seperti presiden yang menjabat sehingga ia harus dilindungi dari tuntutan apa pun dari jaksa penuntut.
ADVERTISEMENT
Sepertinya pengadilan negara bagian New York tidak cukup mengancam bagi Trump, tuntutan lain juga menimpanya, kali ini ia menghadapi tuntutan dari pengadilan federal di Washington D.C. yang menuduhnya menyebarkan klaim palsu mengenai kecurangan pemilu dan mencoba memblokir pengumpulan suara pasca pemilu 2020 saat ia kalah dari Joe Biden. Kasus lainnya adalah ia menolak mengembalikan dokumen rahasia milik negara ke pemerintah federal pasca meninggalkan gedung putih.
Meskipun dihimpit dengan berbagai proses hukum, Trump tetap menjadi figur yang kuat dalam dunia politik Amerika dan memunculkan pertanyaan besar mengenai peran hukum dalam politik, serta batasan-batasan yang ada dalam konstitusi AS. Walaupun Undang-Undang Dasar AS tidak secara eksplisit melarang seorang terpidana kriminal untuk mencalonkan diri sebagai presiden, Lawrence Douglas, profesor hukum di Amherst College Massachusetts mengatakan
ADVERTISEMENT
Fakta bahwa Trump menghadapai sejumlah dakwaan berat memunculkan perdebatan tentang apakah seseorang yang tengah diadili secara hukum bisa menjalankan tugas negara seiring dengan proses peradilan yang sedang berlangsung. Di sisi lain, bagi sebagian kalangan pendukung Trump, tuduhan-tuduhan ini hanya sebuah upaya untuk melemahkan suara mereka dalam pemilu, menjadikan Trump sebagai simbol perlawanan terhadap elit politik yang mereka anggap korup.
Meskipun dukungannya tetap solid di kalangan pemilih tertentu, terdapat kekhawatiran mengenai kemampuannya untuk menjalankan pemerintahan. Proses hukum yang sedang berlangsung diprediksi akan mengganggu efektivitas kerja pemerintahan, dengan potensi bahwa berbagai sidang dan pengadilan yang harus dihadiri Trump akan mengalihkan perhatian dari tugas-tugas kenegaraan yang mendesak. Tidak hanya itu, pengaruh media terhadap pencitraan dirinya juga akan terus menjadi faktor penting, di mana setiap perkembangan dalam kasus hukum Trump akan menjadi sorotan utama.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Trump memiliki pengaruh politik yang luar biasa. Ia telah membangun sebuah kerajaan popularisme yang kokoh, sebagian besar didorong oleh narasi populis yang menawarkan solusi terhadap perasaan ketidakadilan yang dialami oleh sebagian warga AS, dan kemerosotan moral yang dipertontonkan setiap hari. Menurut beberapa analisis, kemenangan Trump di tengah proses hukum yang rumit ini menunjukkan daya tariknya yang mendalam terhadap kalangan yang merasa terpinggirkan oleh arus utama politik Amerika. Trump berhasil menggiring opini pendukungnya bahwa ia adalah korban dari sistem yang menghendaki penyingkiran orang-orang yang berani melawan dan berseberangan dengan status quo, sebuah narasi yang diterima dengan baik oleh sebagian besar pemilih konservatif.
ADVERTISEMENT
Dinamika ini juga memicu diskursus tentang apakah pemilu 2024 akan menjadi momen penting bagi pengujian sejauh mana negara bisa menerima presiden yang tengah dihadapkan dengan berbagai masalah hukum. Di satu sisi, ini menantang norma-norma politik dan hukum yang sudah mapan. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa Trump berhak untuk maju dalam pemilu karena tidak ada ketentuan yang melarangnya untuk mencalonkan diri meskipun ada dakwaan terhadapnya. Semua ini tentu membuka jalan bagi kemungkinan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah politik AS .
Sementara itu, tantangan terbesar bagi Trump setelah terpilih adalah mengatasi ketidakpastian dalam tugas-tugas administratif yang harus dilaksanakan. Sebagai presiden yang menghadapi sejumlah masalah hukum, bagaimana Trump bisa memastikan pemerintahan berjalan lancar, terutama dalam hal kebijakan luar negeri dan dalam negeri yang membutuhkan perhatian penuh? Ketegangan ini akan semakin meningkat jika proses hukum berlarut-larut dan mengalihkan fokus pemerintahan dari isu-isu utama seperti ekonomi, keamanan nasional, dan reformasi kebijakan sosial.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian kalangan, fakta bahwa Trump tetap menjabat meskipun terjerat kasus hukum terlihat mengerikan, situasi ini memperlihatkan adanya ketidakseimbangan dalam sistem politik yang ada. Kritikus Trump menilai bahwa meskipun tidak ada larangan langsung dalam konstitusi, seharusnya ada standar moral dan etika yang menghalangi seorang kriminal untuk menjadi presiden. Mereka berpendapat bahwa pemilu yang sukses seharusnya didasarkan pada kualitas moral calon yang mencerminkan integritas bangsa, bukan hanya pada daya tarik politik atau popularitas di kalangan segmen-segmen tertentu dalam masyarakat.
Pada akhirnya, kemenangan Trump yang pertama kali sebagai terpidana kriminal di pilpres AS 2024 tidak hanya menjadi simbol dari dinamika politik yang semakin terpolarisasi, tetapi juga merupakan ujian besar bagi sistem hukum dan demokrasi Amerika. Bagaimana negara ini akan menangani seorang presiden yang sedang menghadapi tuntutan hukum yang besar akan menentukan tidak hanya masa depan Trump, tetapi juga masa depan politik dan hukum Amerika Serikat dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Apakah Trump mampu mengubah masa lalu hukumannya menjadi keuntungan politik, atau justru akan terjebak dalam bayang-bayang permasalahan hukum yang menghalangi kemampuannya untuk memimpin negara? Ini akan menjadi babak baru dalam sejarah politik AS yang menarik untuk diikuti.
ADVERTISEMENT