Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Diplomasi Stadion Tiongkok: Kuda Troya atau Kado yang Tulus?
6 November 2022 11:51 WIB
Tulisan dari Farhan Rizqullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang menyangka bahwa Kamboja, negara di Asia Tenggara mampu "membangun" stadion megah berkapasitas 75.000 penonton dengan waktu singkat. Stadion ini adalah Morodok Techo Stadium yang dibuka pada tahun 2021 lalu, dan dibangun sejak 2017, artinya hanya dalam waktu 4 tahun negara yang terkenal dengan Angkor Wat-nya tersebut mampu membangun stadion semegah dan semodern Morodok Techo Stadium. Namun, apabila Kamboja dikatakan membangun sendiri stadion tersebut, narasi tersebut sangatlah tidak tepat, bagaimana tidak pembangunan stadion tersebut tak lepas dari bantuan Pemerintah Tiongkok yang menyediakan 1,1 miliar Yuan Tiongkok (sekitar $160 juta) untuk pembangunan stadion yang dikembangkan oleh China State Construction Engineering Corporation.
ADVERTISEMENT
Tidak perlu dipungkiri lagi, Tiongkok pada abad ke-21 ini telah bertransformasi menjadi salah satu negara dengan laju perkembangan ekonomi terdahsyat di dunia, bagaimana tidak per tahun 2021 saja, menurut IMF, Tiongkok memiliki Produk Domestik Bruto senilai USD 17.7 Trilyun, atau peringkat kedua dibawah Amerika Serikat dalam jumlah PDB, yakni sebesar USD 23 Trilyun. Dalam sektor Investasi luar negeri (mencakup investasi langsung, konstruksi, serta Belt & Road Initiative) Tiongkok telah mengeluarkan sekitar USD 885.36 Milyar per 2005-2022, angka yang luar biasa besar untuk pembangunan di luar wilayah Tiongkok. Salah satu bentuk implementasi investasi Tiongkok dibidang infrastruktur ialah pembangunan stadion dan fasilitas olahraga di banyak negara berkembang di dunia.
Tiongkok sendiri dalam 60 tahun terakhir, setidaknya telah membangun kurang lebih 1.400 bangunan di seluruh dunia dan banyak diantaranya merupakan stadion atau fasilitas olahraga. Banyak pihak melihat upaya Tiongkok dalam membangun infrastruktur olahraga ini merupakan bagian dari upaya mereka dalam mempromosikan One-China Policy melalui pendekatan soft power, artinya ini merupakan bentuk diplomasi kultural. Bentuk diplomasi yang dilakukan oleh Tiongkok ini lebih dikenal dengan sebutan Diplomasi stadion (Stadium Diplomacy).
ADVERTISEMENT
Stadion dan fasilitas olahraga ini pada dasarnya dibutuhkan oleh negara negara berkembang yang akan mengadakan hajatan olahraga regional, dan Tiongkok hadir membantu negara-negara berkembang tersebut dalam mewujudkan fasilitas yang mendukung pelaksanaan hajatan tersebut. Sebagai contoh Morodok Techo Stadium di Kamboja yang akan mengadakan SEA Games (Pesta olahraga negara-negara Asia Tenggara), contoh lainnya adalah saat Gabon menjadi host Piala Afrika 2012, salah satu stadion terkenal dan dibangun Tiongkok selama 20 bulan yakni Stade de l’Amitié Sino-Gabonaise dengan kapasitas 40.000 tidak lepas dari campur tangan perusahaan kontraktor Tiongkok, Shanghai Construction Group.
Apabila dilihat dari perspektif Tiongkok, hadirnya mereka di negara-negara ini terutama di benua Afrika, tak lain dan tak bukan dikarenakan kurangnya dukungan dan bantuan (aid asssistance) negara-negara barat pada pengembangan infrastruktur disana, selama ini negara dunia ketiga dalam kacamata barat hanya dipandang sebatas ancaman bagi perkembangan dunia modern, alih alih peluang ekonomi dan investasi. Aid assistance yang kurang dari negara barat, membuka kesempatan Tiongkok untuk masuk dan hadir memberikan bantuan bagi negara-negara ini, termasuk di dalamnya infrastruktur stadion dan fasilitas olahraga. Terlepas ada kepentingan lebih besar dibelakangnya, yang perlu disoroti disini adalah Tiongkok memandang posisi negara dunia ketiga lebih penting dan lebih menghargai mereka sebagai mitra ekonomi dan investasi.
ADVERTISEMENT
Disamping manfaat yang cenderung positif, program ini tak lepas dari hal-hal buruk yang jarang nampak secara langsung, namun berdampak pada banyak isu baik yang terkait dengan kepentingan Tiongkok, maupun dampaknya pada negara penerima bantuan. Salah satunya adalah metode pendanaannya yang cenderung terburu-buru dan mengesampingkan masalah kemanusiaan, korupsi dan eksploitasi sumberdaya alam negara-negara penerima bantuan infrastruktur, hal ini pulalah sebenarnya yang pada paragraf sebelumnya membuat negara negara barat meninggalkan negara dunia ketiga, khususnya di Afrika. Bantuan asing di Afrika mendorong pemerintah yang korup, tidak efisien, tidak efektif, menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi, menghambat demokrasi, ekonomi yang tidak stabil karena ketergantungan pada bantuan asing, alih-alih harapan akan progres yang terjadi justru degradasi. Hal inilah yang membuat kritikus-kritikus Tiongkok terutama dari barat melihat yang dilakukan oleh Tiongkok ini tak lain adalah strategi licik Beijing untuk menguasai sumberdaya negara-negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Ketika menulis tulisan ini, saya teringat sebuah cerita dari Yunani, di era perang Troya sebuah strategi cerdik nan licik dilakukan oleh pasukan Yunani yang sedang berperang dengan Yunani, pada satu era dalam pertempuran, mereka memberikan patung kuda kayu kepada Kota Troya yang justru disambut sebagai simbol kemenangan bagi orang Troya, namun yang tidak diketahui oleh penduduk Troya ialah didalam patung kayu tersebut sudah bersiap satu pleton prajurit Yunani yang siap menyerbu kota Troya, strategi licik ini berhasil dilakukan dan pasukan Yunani berhasil menguasai Troya.
Cerita diatas menggambarkan situasi bantuan Tiongkok ke negara-negara dunia ketiga, Tiongkok tahu untuk menguasai sumberdaya negara mitra harus ada yang terlebih dahulu ditawarkan, dalam kasus ini Tiongkok membantu negara-negara tersebut membangun infrastruktur mereka, termasuk melakukan diplomasi stadion yang menghasilkan ikatan keuangan permanen dengan banyak negara. Ketertarikan Tiongkok terhadap sumberdaya sangat terlihat disini. Misalnya, Tiongkok telah membangun stadion dan fasilitas olahraga negara-negara yang akan menyelenggarakan turnamen di Angola, Gabon, dan Guinea Khatulistiwa. Negara-negara tersebut memiliki cadangan minyak lepas pantai yang vital yang dikendalikan oleh elit lokal dan korup. Dengan hadirnya diplomasi stadion, rakyat penerima bantuan merasa ini kemenangan bagi mereka, karena mendapat bantuan infrastruktur fisik, tapi dibelakang layar, kongkalikong elit dan penguasa dengan Tiongkok membuat mereka lebih mudah mengontrol sumberdaya alam negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Manuel Lopes Nascimento, Presiden Federasi Sepakbola Guinea-Bissau dikutip dari Preethi Amaresh mengatakan:
Belum lagi jika berbicara soal tenaga kerja yang digunakan, Pembangunan proyek stadion di negara-negara tersebut sering dijumpai menggunakan pekerja Tiongkok, disamping karena dianggap lebih murah dan efisien, selain itu proyek mereka di negara lain menjadi solusi atas permasalahan ketenagakerjaan di Tiongkok. Sisi buruknya ialah dari sudut pandang negara penerima bantuan, proyek pembangunan Tiongkok di negara berkembang tidak begitu memberikan peluang dan kesempatan bagi tenaga kerja di negara tersebut, padahal dengan nilai proyek yang besar, harusnya mampu mengurangi tingkat pengangguran dengan penyerapan tenaga kerja lokal.
Bahkan, isu Taiwan pun termasuk didalamnya! Pada 2007, salah satu negara Amerika Tengah, Kosta Rika membuka hubungan diplomatik dengan Tiongkok dan memutus hubungan diplomatiknya dengan Taiwan. Tepat setelah pembukaan hubungan dengan Tiongkok, Beijing merundingkan perjanjian perdagangan bebas dengan negara kecil di Amerika Tengah itu, Tiongkok membeli USD300 juta obligasi Kosta Rika dan mendirikan Institut Konfusius di San José. Namun hasil paling nyata dari hubungan baru kedua negara ialah didirikannya Stadion Nasional Kosta Rika yang dibuka pada Maret 2011 di ibu kota San José, yang dibangun dengan perkiraan biaya USD100 juta.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya Kosta Rika, Grenada juga mengalami kejadian serupa, negara Karibia tersebut mendapat proyek bantuan pembangunan stadion Kriket oleh Tiongkok, yang rusak oleh badai Ivan pada 2004, stadion ini sebelumnya dibangun oleh Taiwan, Grenada berbalik mengakui Tiongkok setelah Tiongkok masuk dalam proyek pendanaan stadion tersebut, sebanyak 500 pekerja Tiongkok membantu membangun kembali stadion tersebut agar tepat waktu bagi Grenada menjadi tuan rumah pertandingan Piala Dunia Kriket pada bulan April 2007. Dengan bantuan yang diberikan Tiongkok kepada pemerintah tuan rumah, Grenada mampu mengumpulkan pendapatan yang besar dari Piala Dunia pertama di Karibia saat mereka berupaya menghidupkan kembali industri pariwisata yang hancur oleh badai Ivan pada tahun 2004 dan 2005. Hal ini juga tak lepas dari dukungan terhadap kebijakan One-China Policy, oleh Perdana Menteri Grenada, Dr Keith Mitchell yang mengatakan keputusan Grenada untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 2004, telah membawa manfaat yang luar biasa bagi rakyat Grenada. Dalam satu forum, PM Mitchell mengatakan:
ADVERTISEMENT
Selain Kosta Rika dan Grenada, Tiongkok memberi Antigua & Barbuda hibah USD55 juta untuk membangun Sir Vivian Richards Cricket Stadium, kemudian memberi USD30 juta ke Jamaika untuk membangun Trelawney Stadium yang baru. St. Lucia memiliki stadion kriket dan sepak bola yang dibangun oleh Beijing. Dominika juga menerima bantuan yang setara dengan USD1.600 per penduduk mereka dalam bentuk lapangan kriket.
Dari 13 negara yang masih mengakui Taiwan, 8 diantaranya merupakan negara di Amerika Latin. Jumlah itu terus berkurang karena Tiongkok membuat terobosan ekonomi melalui proyek infrastruktur (termasuk melalui proyek pembangunan stadion dan infrastruktur olahraga) serta mempererat hubungan perdagangan dengan mereka. Banyak yang melihat ada harga yang harus dibayar negara di Amerika Latin dengan menikmati bantuan ini, yakni mengakui Beijing dan mengkhianati Taipei. Inilah yang membuat Tiongkok semakin dikritik karena menawarkan pinjaman bunga rendah di seluruh Amerika Latin dan Afrika, namun mengikat mereka dalam mendukung kebijakan One-China Policy. Ini dipertegas oleh pendapat perwakilan Kantor Ekonomi dan Budaya Taiwan di Washington D.C, Harry Sung:
ADVERTISEMENT
Menutup tulisan ini saya teringat dengan salah satu perkataan umum di dunia politik dan hubungan internasional, yang banyak diucapkan oleh orang-orang terkenal sepanjang sejarah, mulai dari Chanakya dari India, Henry Kissinger, hingga seorang Sir Winston Churchill.