Sepak Bola Afrika: Pabrik Pemain Berkualitas dan Kontributor Perubahan Dunia

Farhan Rizqullah
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Mulawarman
Konten dari Pengguna
26 November 2022 10:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farhan Rizqullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pesepakbola keturunan Afrika yang sukses di kompetisi Eropa (FOTO: Farhan Rizqullah)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pesepakbola keturunan Afrika yang sukses di kompetisi Eropa (FOTO: Farhan Rizqullah)
ADVERTISEMENT
Ketika kita menonton sepak bola di layar kaca maupun secara langsung di stadion, selain menikmati pertandingan, drama, dan taktiknya, tak jarang sepak bola sebagai salah satu bagian dari dunia industri di era modern turut mempertunjukkan aksi para pesepakbola dengan berbagai gaya, mode dan penampilan. Sebagai fans, kita juga sering mengikuti latar belakang dan kehidupan pemain tersebut di luar lapangan. Salah satu fenomena yang ditemui dalam dunia sepak bola ialah hadirnya pemain-pemain berkulit hitam, baik mereka yang berasal dari Afrika, lahir dan besar di sana, sekadar memiliki keturunan, maupun yang lahir di benua lain selama beberapa generasi namun tetap terikat kepada benua tersebut karena faktor sejarah, baik melalui perbudakan maupun migrasi.
ADVERTISEMENT
Fenomena penyebaran pemain sepak bola asal Afrika di benua Eropa tidak lepas dari konsep African Diaspora, yang menurut Uni Afrika konsep ini didefinisikan sebagai:
Mengenai African Diaspora ini pula pesepakbola kulit hitam turut berpartisipasi dalam menunjukkan peran bangsa Afrika dan keturunannya dalam mewujudkan modernitas. Keterlibatan mereka di olahraga ini juga turut menentang perspektif eurosentris klasik yang mendominasi sejarah peradaban manusia dan menggambarkan bangsa Afrika sebagai korban perbudakan bangsa barat dan minim kontribusi dalam perkembangan sejarah dunia.
Buktinya? dalam dunia sepak bola kita banyak mengenal nama-nama pemain berkulit hitam yang begitu legendaris bahkan berkontribusi dalam perkembangan olahraga ini, terlepas dari kebangsaannya mereka semua terikat dengan konsep African Diaspora, sebut saja Pelé yang berhasil menjadi Menteri Olahraga di negaranya Brazil, Drogba dari Pantai Gading yang menghentikan perang saudara, George Weah dari Liberia yang berhasil menjadi Presiden di negara Afrika Barat tersebut, Asamoah yang walaupun berpaspor Jerman namun tetaplah bagian dari diaspora Afrika, di era modern ada Sadio Mane dan Kylian Mbappe dan banyak lagi pemain-pemain lain yang mendominasi liga-liga Eropa hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Mereka tidak hanya menjadikan sepak bola sebagai mata pencaharian semata, namun kehadiran mereka juga berkontribusi dalam berbagai sektor di luar sepak bola, terutama yang berkaitan dengan perubahan ke arah yang lebih baik, tentu kita pernah mendengar kisah Didier Drogba yang berhasil menghentikan perang saudara di tanah kelahirannya Pantai Gading. Mantan striker Chelsea FC itu untuk pertama kalinya berhasil membawa negaranya masuk ke Piala Dunia 2006. Namun, situasi perang saudara yang terjadi di negaranya menaruh perhatian khusus bagi diri Drogba, kondisi ini membuatnya berkomentar atas situasi yang terjadi.
Tidak cukup sampai disitu, setahun kemudian Drogba yang merupakan orang Abidjan di wilayah selatan Pantai Gading mengumumkan bahwa mereka akan melangsungkan pertandingan melawan Madagaskar di Bouake, basis pemberontak di wilayah utara Pantai Gading. Pertandingan itu berakhir dengan kemenangan 5 gol tanpa balas Pantai Gading, Drogba mencetak gol penutup kemenangan tersebut. Bahkan menurut laporan BBC, setelah pertandingan Drogba berjalan mengelilingi stadion diiringi pemain dan suporter Pantai Gading membuntut di belakangnya. Sementara itu, orang-orang di atas tribune yang sebelumnya bermusuhan dan terlibat dalam perang saudara, kini ikut berpesta, dan pertandingan tersebut menandakan berakhirnya perang saudara di negara ini.
ADVERTISEMENT
Kisah Drogba di atas hanyalah salah satu kontribusi sepak bola Afrika dan aktornya yakni pemain dalam menciptakan perubahan ke arah positif, contoh lain misalnya Gerald Asamoah, ketika dia pindah ke Jerman pada 1989, pesepakbola kulit hitam dan negara Eropa jarang berbaur, hal ini bukan karena tidak ada yang mau, tetapi perlakuan buruk yang mereka terima. Misalnya, Erwin Kostedde dari Borussia Dortmund, putra seorang tentara Amerika Serikat, dia menjadi pemain kulit hitam pertama yang bermain di kasta teratas sepak bola Jerman, tetapi yang dia hadapi justru perlakuan rasis yang begitu intens dari para penggemar Dortmund sehingga dia memilih untuk hanya bermain di pertandingan tandang.
Namun ini berubah ketika Gerald Asamoah muncul, dia menembus penghalang rasial itu ketika melakukan debutnya untuk Die Mannschaft, julukan Timnas Jerman saat mereka menjamu Slovakia di depan 20.000 penggemar di Weserstadion, Werder Bremen. Dia memperlakukan suporter dengan sebuah pertunjukan spektakuler saat dia mencetak gol, dia menggiring bola melewati pertahanan Slovakia untuk mengakhiri kemenangan. Penonton Jerman yang gembira memberi Asamoah tepuk tangan meriah saat dia digantikan dengan hormat oleh Rudi Völler, pelatih Jerman waktu itu.
ADVERTISEMENT
Asamoah bisa saja menerima pinangan Ghana, tanah air leluhurnya dan meminimalisir kemungkinan perlakuan rasis yang akan dia hadapi di Jerman, namun pasca debutnya untuk Jerman, dia tetap dipercaya bahkan dicintai oleh publik Jerman, dia bahkan tampil dua kali di kompetisi paling bergengsi di sepak bola, yakni Piala Dunia 2002 dan Piala Dunia 2006. Bisa dikatakan, Asamoah membuka mata publik Jerman bahwa warna kulit bukan menjadi faktor seseorang bermain bagus atau tidak, tetapi skill dan kemampuan lah yang menentukan, bisa dikatakan pula Asamoah menjadi pintu pembuka pemain Afro-Jerman lain bermain di Die Mannschaft, sebut saja Rüdiger, Gnabry, Kehrer, Adeyemi dan Sané yang sekarang sedang memperjuangkan kehormatan Jerman di Qatar pada Piala Dunia 2022 ini.
ADVERTISEMENT
Kedua kisah di atas mencerminkan bahwa pemain Afrika tidak hanya menjadi sekadar pelengkap bagi kompetisi sepak bola di Eropa, mereka bersaing, mendominasi, bahkan turut berkontribusi dalam pada perubahan kearah yang lebih baik di luar lapangan. Mereka memang sebagus itu bahkan mendominasi, tetapi mengapa demikian?
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan hal ini, yakni nature dan nuture, faktor nature disebabkan munculnya dorongan psikologis bahwa muncul motivasi mereka (pesepakbola Afrika) dalam memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka mampu melewati rintangan dengan dibantu secara baik oleh agen dan pemandu bakat mereka, sementara faktor nurture merupakan faktor terbesar di sini, turut terkait pula dengan kebiasan mereka, di mana meskipun hanya mendapat porsi latihan ringan, namun mereka mampu memaksimalkan penampilan karena telah dikarunia bakat yang luar biasa. Klub Eropa asal Prancis dan Jerman memahami hal ini dan rela mengeluarkan biaya besar untuk pemain-pemain Afrika berseragam jersey klub mereka.
ADVERTISEMENT
Ini didukung oleh pernyataan Profesor Ken Anugweje dari Universitas Port Harcourt, yang mengatakan:
Selain itu, faktor bisnis pun terlibat di dalamnya, ketika pemain Afrika bermain, nilai dan rating TV turut meningkat. Mereka adalah pasar yang menjanjikan, penggemar dan federasi sepak bola di negara Afrika. Keadaan semacam ini membuat pemain Afrika diberikan fasilitas latihan bintang lima agar mampu memenuhi ekspektasi pasar dan pemirsa. Bahkan mereka diberikan paket asuransi dan kesejahteraan guna menjamin keberlangsungan karier mereka. Fasilitas spektakuler yang diberikan klub-klub Eropa ini membantu mereka untuk meningkatkan performa dan mendominasi kompetisi sepak bola Eropa, dan menguntungkan pemilik klub-klub ini tetap mendapatkan penghasilan yang besar dari pasar sepak bola di Afrika, ini merupakan pendapat dari Dr. Abdullahi dari Florida International University.
ADVERTISEMENT
Selain faktor nature, nurture, dan bisnis, peran akademi sepak bola di Afrika juga berkontribusi cukup besar dalam menghasilkan pemain-pemain Afrika yang mendominasi di Eropa. Tak jarang bahkan klub-klub Eropa turut mendirikan akademi sepak bola di Afrika dan sebagai gantinya mereka akan merekrut pemain terbaik yang dihasilkan, contohnya ialah investasi Feyenoord di Ghana, yang mereka lakukan adalah memilih negara paling stabil secara politik di kawasan agar dapat melembagakan akademi yang sehat, guna menyalurkan bakat pemain Afrika dengan aman tanpa terpengaruh dinamika politik yang memengaruhi regulasi, sehingga tercipta pasar sepak bola yang stabil dan tidak mengancam pendapatan mereka.
Selain klub sepakbola, ada pula individu yang tidak terafiliasi dengan perusahaan maupun korporasi yang terlibat membangun akademi sepak bola di Afrika karena melihat edukasi, pelatihan, dan ekspor pemain Afrika ke Eropa dan belahan dunia lain sebagai ladang bisnis, mereka akan datang ke negara-negara Afrika, menawarkan penanaman modal pada akademi atau bahkan membuat akademi baru, kemudian melakukan scouting dan membina kemampuan sepak bola rekrutan dari berbagai pelosok dan menjualnya ke penawar tertinggi di klub-klub luar negeri.
ADVERTISEMENT
Pola seperti ini berkaitan erat dengan prinsip neokolonialisme, yang dicetuskan oleh mantan presiden Ghana, Kwame Nkrumah, neokolonialisme terjadi ketika individu bisnis maupun korporasi barat datang ke Afrika kemudian melakukan praktik-praktik kapitalisme dan globalisasi, bukan lagi melalui pendekatan militer dan politik seperti halnya kolonialisme klasik, dalam kasus ini neokolonialisme terjadi melalui pembangunan akademi sepak bola yang berkaitan dengan proses pembangunan sumber daya manusia sehingga tercipta ikatan antaran masyarakat lokal dan pelaku bisnis tersebut yang memandang kedatangan mereka sebagai niat tulus, padahal output-nya ialah setelah masyarakat lokal terikat secara kepentingan dengan mereka, mereka mampu membuka dan mengontrol pasar di negara tersebut, dalam hal ini pasar sepak bola di Afrika.
Kondisi ini didukung dalam tulisan Paul Darby, Gerard Akindes, dan Matthew Kirwin dalam Football Academies and the Migration of African Football Labor to Europe.
ADVERTISEMENT
Jika berbicara soal negara tujuan pemain-pemain Afrika di Eropa, apabila merujuk dari data Dr. Raffaele Poli dalam The Migration of African Football Players to Europe rata-rata pemain Afrika paling banyak bermukim di Prancis dengan rata-rata 3.4 pemain per klub dan Belgia dengan rata-rata 3.3 pemain per klub. Salah satu faktor yang bisa dijadikan asumsi mengapa pemain Afrika tersebar di kedua negara ini dapat dipengaruhi oleh banyaknya negara Afrika yang masuk komunitas Francophone (komunitas negara yang berbahasa Prancis), sehingga tidak ada language barrier yang kerap ditemui pesepakbola yang berkarir di luar negeri, di samping itu besarnya komunitas imigran Afrika di negara tersebut membuat mereka lebih mudah beradaptasi secara budaya, ini juga berlaku bagi komunitas Lusophone (komunitas negara yang berbahasa Portugis) contohnya koneksi Portugal pada Mozambique dan Tanjung Verde.
ADVERTISEMENT
Hasil dari fenomena ini? Federasi tim nasional negara-negara di Eropa tidak segan-segan menawarkan pemain keturunan Afrika untuk membela negaranya karena performa yang mereka tunjukkan di liga tanpa diragukan lagi memang begitu dominan. Contohnya, dari 25 orang di skuad Prancis pada Piala Dunia edisi kali ini, 13 diantaranya memiliki keturunan Afrika, diantaranya adalah Steve Mandanda yang lahir di RD Kongo, Jules Kounde yang memiliki keturunan Benin, Dayot Upamecano yang memiliki keturunan Guinea-Bissau, Ibrahima Kounate dan Ousmane Dembele yang memiliki keturunan Mali, Axel Disasi dan Kolo Muani keturunan Kongo, Aurelien Tchouameni dan Kylian Mbappe yang merupakan keturunan Kamerun, Camavinga yang lahir di Angola dari orangtua berkebangsaan Kongo, Fofana yang keturunan Pantai Gading, belum lagi menghitung Kingsley Coman dan Marcus Thuram yang memiliki keturunan Afrika dari Guadeloupe, negara kepulauan kecil di Karibia. Bahkan pada edisi sebelumnya di Piala Dunia Rusia 2018, dengan pemain-pemain keturunan Afrika ini Prancis sukses mengunci gelar juara dunia.
ADVERTISEMENT
Bangsa Afrika yang telah melalui catatan sejarah kelam melalui perbudakan di era kolonialisme, kemiskinan, konflik dan perang di era modern, rupanya masih memiliki instrumen pemersatu, yakni sepak bola, terlepas dari indikasi praktik neokolonialisme oleh pebisnis dan korporasi barat, pemuda Afrika yang mencintai sepak bola telah membuktikan pada dunia bahwa mereka mampu berkontribusi besar pada olahraga ini, mereka juga berperan dalam menyelesaikan masalah fundamental di tanah air mereka serta menangani masalah klasik yang selalu mereka hadapi, rasisme.