[OPINI] Bagaimana Pendidikan Indonesia Ditengah Pandemi COVID-19?

Farhan Abdillah Dalimunthe
Koordinator Juru Bicara Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (DPP PRIMA)
Konten dari Pengguna
10 April 2020 13:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farhan Abdillah Dalimunthe tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Suasana Kuliah Daring. Foto: Gilang Ananntha
Corona Virus Disease 19 (COVID-19) barangkali menjadi krisis terbesar yang terjadi pada generasi kita. Melansir dari laporan real-time Jhons Hopkins University & Medicine, memasuki bulan April 2020 tercatat sudah 181 Negara yang terinfeksi virus yang belum ada vaksinnya ini.
ADVERTISEMENT
Banyak tindakan darurat yang diterapkan oleh pemerintahan di berbagai negara untuk memutus rantai penyebaran virus Corona, termasuk pemerintah Indonesia. Salah satu kebijakan darurat yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan mengeluarkan arahan untuk merubah sistem pembelajaran di semua instansi pendidikan. Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dilakukan secara daring dari rumah sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Kemajuan teknologi internet disatu sisi telah memudahkan umat manusia untuk berinteraksi tanpa harus bertatap muka secara langsung. Dalam hal pemakaian internet, menurut riset platform manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk "Global Digital Reports 2020", sebanyak 175,4 juta atau hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet.
Dalam situasi ini jelas ada beberapa poin keuntungan ataupun kerugian yang dihasilkan bagi Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem pendidikan sekarang, berkembangnya ideologi pasar merupakan konsekuensi dari kebijakan sistem Pemerintahan Indonesia yang berpihak pada kapitalisme global. Pemaksaan penerapan hukum Neoliberalisme pada dunia pendidikan, berdampak pada liberalisasi pendidikan.
Banyak yang berekspektasi bahwa datangnya virus Corona membawa berkah berupa terwujudnya tatanan Sosialisme di dunia. Optimisme ini terbangun karena melihat bahwa ekonomi dunia sedang menghadapi keruntuhan. Corona membawa tekanan ekonomi yang mengharuskan tatanan kapitalisme lama untuk runtuh.
Era neoliberalisme yang selama ini menjadikan pendidikan sebagai komoditi bisnis pun kabarnya sedang diambang keruntuhan. Lihat saja, kebijakan pembatasan sosial (social distance) di Indonesia mengharuskan para pelajar hingga mahasiswa untuk tidak datang ke sekolah. Mulai bermunculan nada-nada protes untuk pengembalian SPP/UKT, penghapusan UN (pada akhirnya dikabulkan), penghapusan Skripsi, dsb. Selama ini, SPP/UKT, UN dan Skripsi menjadi wujud nyata dari komersialisasi di sektor pendidikan.
ADVERTISEMENT
Namun, ditengah wabah virus Corona ini nyatanya praktik pendidikan di Indonesia tak juga menyenangkan. KBM hanya sekedar dipindahkan dari yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka di kelas nyata, sekarang bertatap muka via gawai di kelas maya dengan jumlah murid yang sama.
Tugas sekolah atau perkuliahan yang sebelumnya diberikan di kelas dan dikumpulkan di meja guru, sekarang dikumpulkan via email atau media sosial sang guru. Uang yang biasanya digunakan untuk ongkos transportasi ke sekolah, sekarang digunakan untuk membeli kuota internet yang lebih besar agar mampu mengikuti pembelajaran daring tanpa 'lemot'.
Namun banyak keluhan-keluhan yang bermunculan. Para mahasiswa mengeluh karena UKT-nya sudah terlanjur dibayarkan penuh tapi tidak dapat menggunakan fasilitas kampus sama sekali selama 1 semester ini. Beberapa diantara mereka menuntut kampusnya untuk merelokasi anggaran fasilitas kampus menjadi subsidi untuk membeli kuota internet. Ada yang disetujui, ada yang ditolak mentah-mentah oleh Rektorat kampusnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, para guru dan tenaga pendidik honorer juga mengeluh karena gajinya tidak dibayarkan oleh sekolah dengan alasan yang digaji hanya guru tetap yang memberikan pembelajaran daring ke siswa. Sedangkan bagi mereka yang tidak memberikan pembelajaran daring ke siswa tidak digaji.
Belum lagi tidak meratanya infrastruktur seperti listrik, jaringan internet dan kepemilikan gawai di kalangan masyarakat menjadi penghalang untuk melakukan pembelajaran daring hingga ke pelosok negeri. Ketika ini tidak diselesaikan dengan segera maka ketimpangan kualitas pendidikan akan semakin tinggi dan liberalisasi di sektor pendidikan semakin ugal-ugalan.
Ketika Mendikbud menerbitkan Surat Edaran tentang Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari Rumah untuk Mencegah Penyebaran Covid-19 kemarin saja, coba pikirkan bagaimana ekspresi kebingungan yang tampak dari saudara-saudara kita di ujung Papua sana? Atau bagaimana dengan mereka yang berada di pedalaman Sumatera dan Kalimantan, yang listrik pun jarang hidup apalagi internet? Kenapa didalam Surat Edaran tersebut tidak menyinggung sedikitpun tentang alternatif pembelajaran seperti apa yang dapat mereka lakukan ditengah wabah ini?
ADVERTISEMENT
Kondisi ini nyatanya tidak menguntungkan kita sama sekali. Justru disamping keluhan-keluhan tersebut, para borjuasi sedang berpesta karena pundi-pundi uangnya bertambah.
Forbes mencatat ada 178 orang yang kini menjadi miliarder akibat pandemi ini. Salah satunya adalah Eric Yuan, pendiri aplikasi telekonferensi Zoom Video Communications.
Dalam 3 bulan terakhir (Januari-Maret), kekayaan Eric bertambah USD 4 miliar atau di kisaran Rp 66 triliun. Adapun harta totalnya diestimasi sudah mencapai USD 7,5 miliar berdasarkan kepemilikan saham di Zoom.
Maklum, Zoom kini memang jadi aplikasi paling populer di tengah keterbatasan gerak orang-orang di luar rumah. Zoom jadi aplikasi andalan yang digunakan orang untuk bekerja di rumah, mengadakan kelas daring, hingga sekadar berinteraksi dengan kerabat di negara-negara yang melarang warganya keluar rumah guna mencegah penyebaran virus corona.
ADVERTISEMENT
Harusnya Memerdekakan Proses Belajar
Kondisi seperti ini sebenarnya bisa saja menjadi momentum untuk mewujudkan cita-cita "Semua orang itu guru, alam raya sekolahku" seperti yang sering dinyanyikan para musisi berhaluan sosialis. Dengan sistem daring seharusnya materi-materi pembelajaran bisa diakses secara merata oleh semua masyarakat dari berbagai lapisan sosial.
Farhan Abdillah Dalimunthe (Almamater Oranye).
Bayangkan, anak petani, anak tukang becak, anak pemulung, anak pengamen, semuanya bisa mengakses pendidikan dari para guru dan tenaga pendidik profesional secara bebas selagi mereka punya gawai dan terhubung jaringan internet.
Dari situ nantinya generasi-generasi bangsa dapat tercerdaskan dan menjadi tonggak dalam membangun kemandirian perekonomian nasional. Kuliah Online karena Corona seharusnya bisa merealisasikan konsep Merdeka Belajar secara seutuhnya. Gagasan untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional yang demokratis dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia akan menemukan titik terangnya.
ADVERTISEMENT
Konsep Merdeka Belajar yang dihasilkan dari skema pembelajaran daring ini akan memuat 3 unsur, yakni "gratis, ilmiah, dan demokratis (tidak diskriminatif)". Konsep ini tentu lebih progresif ketimbang konsep yang diluncurkan oleh Kemendikbud RI hingga 3 episode itu.
Konsep yang telah disusun pemerintah kedepannya memang terlihat akan memerdekakan proses berpikir, para siswa senang karena UN dihapuskan. Namun konsep itu bukanlah merdeka belajar dalam mengenyam pendidikan. Tetap saja orang miskin dilarang sekolah.
Apabila secara konvensional pendidikan hanya dapat diakses oleh segelintir orang saja di bangku sekolah, dengan sekolah atau Kuliah daring setiap anak bangsa harusnya dapat menikmati pendidikan tanpa diskriminasi. Inilah konsep merdeka belajar yang dicita-citakan oleh kaum tertindas.
Opsinya saya rasa akan bermuara pada 2 hal; Sekolah konvensional akan ditutup lalu dirubah total menjadi sistem sekolah daring, atau pemerintah harus memberi legitimasi status akademik kepada penyelenggaraan pendidikan daring agar dihitung juga sebagai bentuk pendidikan formal.
ADVERTISEMENT
Bagi kalangan masyarakat yang kurang mampu, pemerintah wajib menyediakan fasilitas publik yang berisi segala perangkat yang dibutuhkan untuk mengakses pendidikan daring. Surabaya mungkin bisa menjadi percontohan bagi daerah lain.
Pemerintah Kota Surabaya mendirikan fasilitas publik yang bernama Koridor Co-Working Space. Tempat ini menyediakan puluhan PC, listrik, akses internet hingga ruang pertemuan yang dapat diakses secara gratis oleh siapapun selama 24 jam setiap hari.
Suasana di salah satu ruangan Koridor Co-Working Space. Fasilitas publik ini terletak di Gedung Siola, Jl. Tunjungan, Kota Surabaya. Diresmikan pada bulan November 2017.
Kalau skema ini dijalankan, maka tatanan kapitalisme yang menghegemoni sektor pendidikan di Indonesia telah berhasil diruntuhkan. Pendidikan dapat dinikmati secara gratis, ilmiah dan demokratis hingga ke pelosok negeri. Tinggal bagaimana wabah Corona ini dijadikan momentum untuk mengadaptasi diri dengan sistem daring.
Sambil berjalannya waktu, pemerintah dapat mengatasi ketidaksiapan dalam hal pemenuhan infrastruktur listrik, internet dan berbagai perangkat pendukung pembelajaran daring hingga ke pelosok negeri. Praktik pendidikan daring dapat dijalankan di wilayah-wilayah yang sudah siap terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Selain menstimulus sistem pembelajaran daring, penerapan berjenjang ini juga dijadikan alat ukur untuk menghitung plus dan minus dari pembelajaran daring. Momentum ini harus kita rebut agar kemenangan ada di tangan masyarakat umum, bukan di tangan borjuasi.
Seperti yang dikatakan oleh Che Guevara,
Lalu bagaimana dengan gaji para guru? Bagaimana dengan standarisasi penilaian murid?
Untuk menjawab ini agaknya kita perlu mempelajari konsep dari platform pembelajaran online zenius.net yang sejak tahun 2010 telah memberikan fitur pembelajaran online secara gratis. Atau bisa belajar dari platform digital IndonesiaX yang digerakkan oleh para pakar pendidikan Indonesia baru-baru ini secara crowdfunding untuk mendemokratisasi pendidikan di Indonesia. Tanyakan pada mereka bagaimana mereka dapat membayar para tutor dan menghidupi aktivitas platformnya. Mereka saja berhasil, kenapa kita ragu?
ADVERTISEMENT
Farhan Abdillah Dalimunthe, penulis adalah Sekretaris Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EW-LMND) Jawa Timur Periode 2018-2020.