Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dari Presiden ke Gubernur, Fenomena Turun Kasta di Politik Indonesia
12 Desember 2024 13:14 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Farhan Febrianto Adhari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Membicarakan politik di Indonesia bagaikan menyelami lautan bergelombang yang tak pernah tenang dan selalu penuh kejutan. Sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, dinamika politik kita dihiasi oleh berbagai peristiwa dramatis, mulai dari pemberontakan PKI, Reformasi 1998, politik uang, hingga politik dinasti. Di antara berbagai fenomena tersebut, ada satu yang kerap mengundang senyum getir: fenomena yang saya sebut sebagai "turun kasta" dalam dunia politik.
ADVERTISEMENT
Dalam suasana santai di sebuah warung kopi, saya berbincang dengan beberapa teman, termasuk Pak Yusdani, Direktur Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) Yogyakarta. Beliau membagikan sebuah anekdot menarik tentang Prof. Mahfud MD. Ketika Prof. Mahfud ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), muncul komentar dari masyarakat Madura, "Mahfud MD, dokter kok jadi mantri."
Pernyataan ini, meskipun terdengar sederhana, menyimpan ironi yang cukup mendalam. Orang yang mengucapkannya tampaknya salah paham, mengira Prof. Mahfud adalah seorang dokter medis. Akibatnya, jabatan menteri terlihat seperti "turun kasta" menjadi seorang mantri, yang dianggap sebagai posisi lebih rendah dalam pelayanan kesehatan. Padahal, "dokter" yang dimaksud adalah doktor, gelar akademik tertinggi setelah menyelesaikan studi S3.
ADVERTISEMENT
Cerita ini mengingatkan saya pada kisah serupa di dunia politik Indonesia. Menjelang pilkada baru-baru ini, beredar video yang menampilkan tokoh nasional seperti Presiden ke-7 Jokowi dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ikut berkampanye untuk kandidat kepala daerah. Hal ini memicu diskusi tentang apakah keterlibatan tokoh nasional dalam urusan lokal adalah sesuatu yang wajar.
Namun, ada cerita lain yang lebih mencuri perhatian: seorang presiden partai politik mencalonkan diri sebagai gubernur. Contohnya adalah Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang memutuskan untuk maju sebagai calon gubernur dalam pilkada. Keputusan ini memunculkan berbagai reaksi, dari rasa heran hingga cibiran.
Mengapa langkah ini dianggap kontroversial? Jabatan presiden partai adalah posisi strategis dengan cakupan nasional, termasuk merancang strategi politik untuk seluruh Indonesia. Sebaliknya, jabatan gubernur hanya mencakup satu provinsi. Bagi sebagian orang, ini tampak seperti "turun kasta" dalam hierarki politik.
ADVERTISEMENT
Yang membuat cerita ini lebih menarik adalah hasil akhirnya. Presiden PKS tersebut tidak berhasil memenangkan pemilihan gubernur. Lebih ironis lagi, ia telah melepas kursinya sebagai anggota DPR RI periode 2024-2029, posisi yang memberi akses langsung untuk memengaruhi kebijakan nasional. Akibatnya, ia kehilangan dua posisi penting sekaligus: anggota legislatif dan jabatan gubernur yang diincar.
Kisah ini mengundang pertanyaan besar: apa yang sebenarnya memotivasi keputusan seperti itu? Apakah ini murni strategi politik yang salah, atau ada ambisi pribadi dan tekanan partai di baliknya?
Dari sini, kita bisa merenungkan bagaimana masyarakat memandang jabatan politik. Apakah jabatan dilihat sebagai simbol status sosial atau sebagai alat untuk membawa perubahan besar bagi masyarakat? Dalam konteks ini, perdebatan tentang "turun kasta" menjadi menarik untuk dibahas.
ADVERTISEMENT
Ada yang berpendapat bahwa nilai suatu jabatan seharusnya diukur dari kontribusi yang dihasilkan, bukan dari posisinya dalam hierarki. Namun, sulit untuk mengabaikan kenyataan bahwa kehilangan dua posisi strategis demi ambisi yang belum tentu tercapai adalah keputusan yang sangat berisiko.
Politik Indonesia memang penuh warna. Di satu sisi, ia menjadi medan perjuangan untuk membela kepentingan rakyat. Namun di sisi lain, ia sering kali menjadi panggung drama penuh kejutan dan ironi. Dari seorang doktor yang dianggap "mantri" hingga presiden partai yang gagal menjadi gubernur, cerita-cerita seperti ini memberikan dinamika unik dalam perjalanan politik kita.
Jadi, bagaimana menurut Anda, mana yang lebih menggelitik: seorang doktor yang disalahartikan sebagai mantri, atau seorang presiden partai yang kehilangan semuanya demi ambisi menjadi gubernur? Politik memang penuh paradoks, itulah yang membuatnya selalu menarik untuk diperbincangkan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya Politik di Indonesia sering kali menjadi panggung yang penuh ironi dan dinamika yang unik, di mana jabatan tidak hanya dipandang sebagai alat kontribusi, tetapi juga simbol status sosial. Fenomena seperti "turun kasta," baik secara persepsi seperti kasus Prof. Mahfud MD maupun secara hierarki seperti presiden partai yang gagal menjadi gubernur, mencerminkan kompleksitas politik kita. Langkah-langkah yang penuh risiko dan keputusan yang terkadang sulit dipahami menunjukkan bahwa politik bukan hanya soal ambisi pribadi atau strategi, tetapi juga bagaimana masyarakat menilai jabatan dan peran pemimpin dalam membawa dampak nyata bagi rakyat.