Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bolehkah Menjual Barang Yang Belum kita Miliki?
13 November 2024 13:22 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Farhan Musyaffa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjual barang yang belum dimiliki adalah topik yang penting dalam Fikih Muamalah. Dalam konteks ini, terdapat berbagai pandangan dan ketentuan yang diatur dalam syariat Islam. Berikut adalah analisis mendalam mengenai hukum menjual barang yang belum dimiliki berdasarkan sumber-sumber yang relevan.
Pengertian dan Hukum Menjual Barang yang Belum Dimiliki (PRAKTIK DROPSHIPPING PRESPEKTIF JUAL BELI)
ADVERTISEMENT
Secara umum segala bentuk muamalah dalam perspektif hukum Islam, hukumnya
adalah mubah (boleh dilakukan) berdasarkan pada kaidah fiqh, yaitu: “Artinya: Pada dasarnya segala hukum dalam muamalah adalah boleh,kecuali ada dalil yang melarang." (Djazuli, 2007, hlm.10). Islam membolehkan seluruh umatnya untuk melakukan berbagai bentuk muamalah, dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama, akan tetapi kebolehan tersebut dapat berubah menjadi sesuatu yang dilarang apabila terdapat alasan yang mendukungnya. Demikian juga dalam hal jual beli yang merupakan salah satu dari bentuk muamalah. Pada prinsipnya jual beli merupakan bentuk usaha yang dibolehkan dalam Islam, dan telah diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ada beberapa alasan yang dapat mengakibatkan jual beli menjadi terlarang, salah satunya adalah apabila dalam jual beli tersebut mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak yang berakad. Kesepakatan dan kerelaan (adanya unsur suka sama suka) sangat ditekankan dalam setiap jual beli. Namun hanya dengan kesepakatan dan kerelaan yang bermula dari suka sama suka tidak menjamin suatu transaksi dapat dinyatakan sah dalam Islam (Asnawi, 2004, hlm. 86). Sebagai suatu akad, jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Apabila salah satu dari rukun tersebut tidak terpenuhi maka jual beli tersebut dapat dikategorikan sebagai jual beli yang tidak sah. Berkaitan dengan jual beli pada sistem dropshipping, berdasarkan pemenuhan rukun dan syarat jual beli, yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Akad Salam
Akad salam adalah jenis transaksi di mana pembeli membayar di muka untuk barang yang akan diserahkan di masa depan. Dalam akad ini, penjual harus menyebutkan ciri-ciri barang dengan jelas dan menjamin bahwa barang tersebut akan tersedia pada waktu yang disepakati.
Akad salam dianggap sah karena memenuhi syarat-syarat tertentu dan tidak mengandung unsur ketidakpastian atau gharar.
2. Perwakilan (Wakil)
Dalam kasus di mana seseorang diberi kuasa untuk menjual barang milik orang lain, maka penjualan tersebut sah meskipun wakil bukan pemilik barang tersebut. Ini berlaku asalkan wakil bertindak sesuai dengan instruksi pemilik barang.
3. Akad Mudharabah
Dalam akad mudharabah, pihak pengelola (mudharib) dapat menjual barang milik pemilik modal (shahibul maal) meskipun dia sendiri tidak memiliki barang tersebut secara langsung.
ADVERTISEMENT
4. Perantara (Makelar)
Seorang makelar juga diperbolehkan untuk menjual barang atas nama pemiliknya dengan izin dari pemilik tersebut. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama dan dianggap sah selama ada persetujuan dari pihak pemilik.
Hadits nabi
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِى الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّى الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِى أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ : لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Dari Hakim bin Hizam, “Beliau berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual beli, denganku, barang yang belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?’ Kemudian, Nabi bersabda, ‘Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki.‘” (HR.Abu Daud, no. 3505; dinilai sahih oleh Al-Albani).
ADVERTISEMENT
Dari hadist diatas menunjukkan adanya larangan yang tegas, bahwa seseorang tidak boleh menjual sesuatu kecuali telah dimiliki sebelum akad, baik dijual cash ataupun tempo. Dropshipping termasuk sistem jual beli yang tercakup dalam larangan hadis di atas, karena penjual sama sekali tidak memiliki barang yang ada di supplier. Namun, dalam kondisi yang sama, penjual menjual barang milik supplier. Ini artinya, penjual menjual barang yang bukan miliknya.
Pengecualian dalam Penjualan Barang yang Belum Dimiliki
Jika yang memiliki barang minta untuk dijualkan, tentu saja hukumnya halal. Penjualberhak untuk mendapatkan fee atas jasa menjualkan. Dropshipping tidak dilarang asalkan tidak termasuk bai’ muashalah dan bai’ ma’dum yang dilarang. Adapun skim dropship yang diperbolehkan bisa dikatagorikan dalam beberapa skim transaksi:
ADVERTISEMENT
1. Penjual hanya sebagai marketing, dan dia mendapat fee
2. Penjual menentukan harga sendiri, namun setelah mendapatkan pesanan barang, kemudian penjual membeli barang dari supplier
3.Pembeli mengirimkan uang tunai kepada penjual sebesar harga barang yang akan dipesan dan membayar ongkos kirim barang.
Dapat di ambil kesimpulan bahwa praktik jual beli dropshipping terdapat dua pendapat menurut para ulama diatas dari sisi kepemilikan barang, yaitu diperbolehkan, jika penjual dapat mengadakan barang atau menghadirkan barang yang dijual, dan penjual barang mendapatkan izin dari yang pemilik barang tersebut. Dropshipping dilarang karena barang itu belum milik sepenuhnya si penjual dan barang itu masih di tangan orang lain (supplier) tetapi barang itu dijual lagi pada pembeli. Penjual termasuk ahli yang sempurna, tetapi tidak memiliki al-wilayah, akad tersebut dipandang al-fudhul (didiamkan dan tidak memiliki hak) karena penjual menjual barang milik orang lain dan tidak mendapat izin untuk menjualnya.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya, mayoritas ulama lebih cenderung kepada pendapat yang tidak memperbolehkan menjual barang yang belum dimiliki, kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga keabsahan transaksi dan mencegah praktik spekulasi yang berlebihan.
Dalam Fikih Muamalah, menjual barang yang belum dimiliki umumnya dilarang karena dapat menyebabkan kerugian dan konflik. Namun, terdapat pengecualian seperti akad salam, perwakilan, akad mudharabah, dan perantara yang memungkinkan penjualan semacam itu dalam kondisi tertentu. Oleh karena itu, penting bagi para pelaku bisnis untuk memahami ketentuan ini agar dapat menjalankan transaksi sesuai dengan prinsip syariat Islam.