Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
131 Tahun Ki Hajar Dewantara: Pendidikan Nasional dan Anti Imprealisme
2 Mei 2020 2:27 WIB
Tulisan dari Farhan Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
RM. Soewardi Suryaningrat
RM. Soewardi Suryaningrat lahir di Pakualaman, 2 Mei 1889. Soewardi yang juga merupakan cucu dari Pakualam III, tumbuh di lingkungan keraton Yogyakarta. Darah nigrat yang mengalir dalam tubuh nya membuat Soewardi berkesempatan mengenyam pendidikan sekolah Belanda yang ada di Hindia Belanda. Ia bersekolah di Europeesche Lagere School –setingkat sekolah dasar-, kemudian melanjutkan studi di sekolah kedokteran Jawa bagi pribumi, yaitu STOVIA. Saat menempuh pendidikan di STOVIA, ia tidak sampai menamatkan studi nya karena sakit yang diderita. Alhasil, ia memutuskan untuk memulai karir sebagai seorang jurnalis. Soewardi menulis untuk beberapa surat kabar, diantara nya De Express, Oetoesan Hindia, dan Tjahaja Timoer.
ADVERTISEMENT
Peletak Dasar Pendidikan Nasional
Pada tahun 1913 – 19198, Soewardi sempat menjalani masa pembuangan di Belanda. Selama di Belanda, ia banyak belajar tentang politik dan pendidikan. Semasa menjalani masa tahanan di negeri Belanda, ia tidak pernah berhenti belajar dan menggali ilmu pengetahuan. Hal tersebut mengantarkan nya untuk berkenalan dengan gagasan pemikiran Frederich Wilhelm August Froebel, seorang pakar pendidikan asal Jerman.
Sepulangnya kembali ke Indonesia, Soewardi memiliki perhatian khusus terhadap pendidikan. Pendidikan eksklusif ala pemerintah kolonial membuat Soewardi resah, karena hanya orang-orang Eropa dan keturunan bangsawan yang bisa sekolah. Soewardi yang telah bergaul dengan berbagai pemikiran, memiliki ide untuk menjadikan pendidikan sebagai alat perjuangan. 3 Juli 1922 ia mendirikan perguruan “Taman Siswa”, yang membuka kesempatan bagi siapapun untuk bisa bersekolah dengan mudah dan murah. Tujuh tahun berselang, Soewardi resmi menanggalkan gelar ningrat pada dirinya, dan berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.
ADVERTISEMENT
Ki Hajar Dewantara juga menuliskan gagasan nya tentang pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Menurut Ki Hajar, pendidikan nasional adalah pendidikan berdasar garis hidup bangsa nya. Dan ditujukan untuk keperluan pri kemanusiaan yang didapat mengangkat derajat negeri dan rakyat sehingga berkedudukan sama dan layak bekerjasama dengan bangsa lain. Atas berbagai jasa nya terhadap pendidikan Indonesia, melalui keppres no.316 tahun 1959, tanggal kelahirannya yakni 2 Mei, ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional.
Anti Imprealisme
Ki Hajar juga merupakan seorang yang berpandangan anti imprealisme dan kolonialisme. Berdirinya National Onderwijs Instituut adalah antitesis dari sekolah eksklusif bergaya Belanda milik pemerintah kolonial. Ki Hajar tercatat pernah bergabung dengan organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908, kemudian pada tahun 1912 bergabung dengan Sarekat Islam (SI). Alasannya, ia merasa yakin bahwa SI bertujuan untuk memperjuangkan nasib para pribumi yang sudah lama dijadikan sapi perah. Pergulatan nya di SI membawa nya banyak menemui orang-orang pribumi yang berasal dari berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Hobi menulis Ki Hajar membawanya dekat dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Atas kesamaan visi, 25 Desember 1912 mereka mendirikan Indische Partij. Kemudian organisasi ini dikenal sebagai partai politik pertama Indonesia, yang bertujuan memperjuangkan kemerdekaan pribumi dengan haluan kebangsaan dan kerakyatan. Meski tidak lama berselang, di tahun 1913 organisasi ini dibubarkan pemerintah kolonial karena dianggap subsersif.
Rencana pemerintah kolonial Belanda yang ingin memperingati 100 tahun kemerdekaan Belanda dengan menggelar perayaan di Indonesia, membuat kebijakan untuk menarik iuran kepada pribumi untuk membiayai peringatan tersebut. Ki Hajar yang merasa gusar, menuliskan sebuah tulisan yang berjudul Als Ik een Nederlander Was (Andai Aku Seorang Belanda) melalui surat kabar De Express, yang isinya:
ADVERTISEMENT
Tulisan tersebut membawanya menjalani masa tahanan di Belanda dari tahun 1913 -1918.
Hal lain yang menarik adalah Ki Hajar juga pernah mentranslasikan syair perjuangan “Internasionale” ke dalam bahasa Melayu. Melalui surat kabar Sinar Hindia tertanggal 5 Mei 1920, yang merupakan corong cabang Sarekat Islam Semarang, pertama kali nya terjemahan itu ia tuliskan. Internasionale atau L’Internasionale adalah syair berbahasa Prancis milik Eugene Pottier tahun 1871, dalam momentum revolusi pemerintahan borjuis Prancis. Syair tersebut kemudian dikenal sebagai lagu perjuangan kelas bawah dalam menentang kolonialisme dan imprealisme, dengan banyak diterjemahkan ke dalam bahasa negara-negara penganut sosialisme seperti Uni Soviet –Rusia-, Cina, Vietnam, dan lain nya. Puncaknya, syair ini pernah menjadi sebuah lagu kebangsaan Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
Syair Internationale yang telah diterjemahkan Soewardi adalah sebagai berikut:
Atas berbagai sumbangan besar nya terhadap pendidikan Indonesia, ia mendapat gelar honoris causa dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957. 26 April 1959 Ki Hajar menghembuskan nafas terakhirnya. Terima kasih, Bapak Pendidikan Indonesia, Salam, Pendidikan !
“Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia. Namun, yang penting untuk kalian yakini, sesaat pun aku tak pernah mengkhianati tanah air dan bangsaku, lahir batin aku tak pernah mengkorup kekayaan negara.” -Ki Hajar Dewantara.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Musyafa, Haidar. Ki Hadjar, Sebuah Memoar. Tangerang Selatan: Penerbit Imania. 2017.
Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. 2005.
Artikel "Inilah Saduran l'Internationale di Indonesia". Diakses melalui http://majalahsedane.org/inilah-saduran-linternationale-di-indonesia/?print=pdf pada 2 Mei 2020 pukul 02:00 WIB.