news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

2024 'Endgame' Politisi Generasi Kedua?

Farhan Nugraha
Journalist
Konten dari Pengguna
30 Mei 2023 21:36 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farhan Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Permainan Catur. Sumber: pixabay.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Permainan Catur. Sumber: pixabay.com.
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk pikuk jelang pemilihan umum (Pemilu) 2024, belakangan publik semakin intens disuguhkan soal diskursus wacana king maker dalam kontestasi mendatang. Selain nama-nama bakal calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres), sosok king maker tidak kalah menarik dalam menyorot perhatian publik.
ADVERTISEMENT
Sosok king maker adalah ia atau mereka yang dipercaya dapat menentukan arah permainan kontestasi Pemilu 2024 nantinya. Bongkar pasang koalisi sampai pasang surut elektabilitas nama bakal Capres dan Cawapres tidak terlepas dari pengaruh para king maker.
Selain Presiden Joko Widodo (Jokowi), beberapa figur dalam kelompok politisi generasi kedua disinyalir turun gelanggang untuk memenangkan pertarungan Pemilu 2024. Bahkan kontestasi Pemilu 2024 bisa menjadi Endgame atau pertarungan terakhir bagi para politisi generasi kedua. Lantas, siapa saja figur yang dimaksud sebagai politisi generasi kedua tersebut?

Politisi Generasi Kedua

Dalam pembabakan generasi politik di Indonesia, penulis memilih untuk memulai titik awal pada tahun 1901. Merujuk pada penelitian Robert van Niel dalam Munculnya Elit Modern Indonesia, pada tahun 1901 berlangsung pemilu di Belanda yang sekaligus mengubah gambaran politik negeri tersebut, termasuk terhadap koloni Hindia-Belanda, yang kini merupakan wilayah Indonesia. Dan pada tahun 1901 pula, menurut van Niel, merupakan titik awal diberlakukan politik etis, yang mengubah peta politik Indonesia kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Dalam melihat generasi politisi pertama yang lahir rentang tahun 1901 s/d 1930 akan mendapatkan nama-nama seperti Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, hingga Wahid Hasyim.
Kemudian dalam kelompok politisi generasi kedua adalah yang mereka yang lahir rentang tahun 1930 s/d 1955. Atau yang berusia antara 70 s.d 95 tahun di 2024 mendatang. Dan dalam kelompok generasi kedua, akan mendapatkan nama politisi senior seperti Jusuf Kalla (JK), Megawati Soekarnoputri (Mega), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Surya Paloh, dan Prabowo Subianto.
Dengan tetap menaruh rasa hormat kepada politisi senior lain yang termasuk dalam generasi kelompok kedua, nama-nama tersebut di atas menjadi sorotan karena dipercaya memiliki perangkat yang mumpuni untuk bermain dalam gelanggang pemilu 2024 mendatang.
ADVERTISEMENT

Panggung Pemilu 2024

Para politisi generasi kedua telah terang-terangan untuk siap bertarung dalam panggung pemilu 2024. Paloh bersama Partai NasDem menjadi yang pertama mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal Capres. Bicara Anies, tentu tidak lepas dari sosok JK sebagai ‘mentor politik’ nya. Sementara itu, Gerindra sebagai partai pendukung Anies dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada 2017 lalu, tetap setia mengusung Prabowo Subianto sebagai capres mereka.
Meski bukan sebagai ketua umum, keputusan Partai Demokrat dipercaya tidak lepas dari restu SBY. Demokrat bersama SBY memberikan sinyal untuk bergabung dengan NasDem mengusung Anies sebagai bakal Capres. Meski memiliki syarat dengan mengajukan nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai pendamping Anies, Demokrat dan NasDem setidaknya memiliki kesamaan visi dalam wadah koalisi perubahan.
ADVERTISEMENT
Dan yang paling terakhir, Mega sebagai ketua umum PDI-P telah menaikkan penugasan Ganjar Pranowo, dari ‘petugas partai’ menjadi bakal Capres. Utak-atik poros koalisi hingga bakal nama Capres dan Cawapres semakin menunjukkan posisi para politisi generasi kedua, yang berpotensi memiliki peran sebagai king maker.
Hingga tulisan ini diterbitkan, setidaknya terdapat tiga poros kekuatan politik jelang bergulirnya Pemilu 2024 mendatang. Mega dengan instrumen PDI-P nya berhasil menggaet PPP untuk mengusung Ganjar Pranowo. Kemudian Prabowo bersama Gerindra, berupaya keras menjawab rasa penasaran setelah tiga kali beruntun kalah dalam gelanggang pemilihan presiden (Pilpres).
Dan terakhir, koalisi perubahan yang mengusung Anies Baswedan dimentori langsung oleh JK, SBY, dan Paloh. Koalisi ini disinyalir menjadi antitesa pemerintahan Presiden Jokowi karena diisi oleh dua partai oposisi yaitu Partai Demokrat dan PKS, ditambah NasDem.
ADVERTISEMENT

Pemilu 2024 adalah ‘Endgame’ bagi Politisi Generasi Kedua?

Meski tidak serta-merta menjadi pertarungan terakhir, setidaknya ada beberapa alasan yang mengindikasikan bahwa pemilu 2024 merupakan endgame bagi para politisi generasi kedua.
Pertama, faktor regenerasi. Partai politik sebagai instrumen pertarungan merebut kekuasaan yang sah, tentu memiliki sistem kaderisasi yang siap melahirkan figur-figur dan pemimpin selanjutnya. Meski secara langsung tidak menghilangkan kekuasaan figur seperti Mega, SBY, Paloh, dan Prabowo di partai masing-masing, kekalahan dalam pemilu 2024 nanti kemungkinan bisa mengikis legitimasi mereka sebagai fatsun kepemimpinan di internal masing-masing partai. Dan bukan tidak mungkin, momentum tersebut di sisi lain justru melahirkan tokoh muda sebagai pembaharu di masing-masing partai.
Toko-tokoh potensial yang saat ini berusia 50-60 tahun seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, hingga Erick Thohir bukan tidak mungkin akan siap memainkan posisi sebagai pengaruh arah permainan setidaknya pada Pemilu 2029 mendatang.
ADVERTISEMENT
Kedua, ancaman kriminalisasi. Salah satu yang menjadi ancaman bagi siapa pun pemimpin yang akan melepaskan jabatannya adalah upaya kriminalisasi terhadap jejak-jejak kepemimpinannya. Baik JK, Mega, SBY, Paloh, dan Prabowo setidaknya pernah berkuasa atau minimal menjadi bagian dalam berjalannya sebuah rezim. Tokoh-tokoh dunia seperti Nelson Mandela, Fidel Castro, hingga Hosni Mobarak pernah mendekam dibalik jeruji besi setelah menanggalkan jabatannya.
Terlebih saat ini dengan bergulirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana yang diinisasi oleh Pemerintah. RUU ini menitikberatkan tindakan hukum yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum (Hafid, 2021).
Bahkan menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari, dilansir dari Kompas.com (17/04) menyebut RUU Perampasan Aset bisa menjadi salah satu produk hukum yang menakutkan bagi partai politik menjelang Pemilu. Dan bukan tidak mungkin, permainan politik JK, Mega, SBY, Paloh, dan Prabowo akan sangat terganggu dengan diberlakukannya UU ini. Terlebih apabila dalam Pemilu 2024 mendatang berakhir sebagai kelompok yang kalah.
ADVERTISEMENT
Bagi JK, kegagalannya mengantarkan Anies sebagai Presiden kemungkinan semakin menutup perannya sebagai orkestrator politik. Bagi Mega, kekalahan Ganjar bisa jadi mempercepat regenerasi ketua umum PDI-P.
Bagi SBY, kekalahan dalam Pemilu 2024 mendatang bisa jadi semakin mempersulit posisinya dan Demokrat secara umum. Pasalnya, Demokrat kini tengah berjuang terhindar dari upaya ‘pembegalan’ Partai dan carut-marut dugaan korupsi proyek Hambalang.
Bagi Paloh, berada dalam barisan pihak yang kalah tentu akan mengancam posisi Partai dan bisnisnya. Penangkapan Jhonny G. Plate yang merupakan Sekretaris Jenderal (Sekjen) NasDem sekaligus Menkominfo oleh Kejaksaan Agung, seakan menjadi konsekuensi atas langkah politik yang diambil. Belum lagi bila berhitung apabila NasDem tidak mendapatkan cocktail effect yang maksimal dari upaya mengusung Anies Baswedan.
ADVERTISEMENT
Dan bagi Prabowo, Pemilu 2014 mungkin menjadi last dance baginya. Jika kalah, bisa jadi Prabowo harus mengubur mimpinya untuk menjadi Presiden.
Namun dengan mempertimbangkan kekuatan perangkat para politisi tersebut seperti sumber daya logistik, finansial, hingga ‘pasukan’ besar kemungkinan untuk dapat tetap survive setidaknya hingga Pemilu 2029 mendatang.
Masyarakat Indonesia tentu menginginkan keberlangsungan Pemilu yang damai dan menyejukkan. Alih-alih ego kelompok, masyarakat menginginkan kontestasi politik yang mempersatukan. Terlepas dari apa pun, tokoh sekaliber JK, Mega, SBY, Paloh, dan Prabowo adalah guru bangsa bagi masyarakat Indonesia.