Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Proyeksi Pendidikan: Mampukah Orang Tua Membiayai Kuliah Anaknya di Masa Depan?
6 Januari 2025 10:40 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Muhammad Farhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, sejumlah perguruan tinggi mengalami kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk tahun ajaran 2024/2025. Fenomena ini terutama terjadi di perguruan tinggi berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) setelah diterbitkannya Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada perguruan tinggi negeri di bawah naungan Kementrian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) atau sebelumnya dikenal sebagai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Kebijakan ini memicu kekhawatiran karena memberatkan mahasiswa dan orang tua, terutama dari kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
Sistem UKT sendiri sebenarnya dirancang dengan prinsip subsidi silang, yang mana biaya kuliah mahasiswa dibagi ke dalam beberapa golongan berdasarkan tingkat kemampuan ekonomi mahasiswa. Mahasiswa dari keluarga mampu dikenakan biaya yang lebih tinggi untuk mensubsidi mahasiswa dari keluarga kurang mampu. Idealnya sistem ini diharapkan dapat menciptakan keadilan dalam akses pendidikan tinggi secara khusus. Sayangnya, ada beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) yang justru menaikkan UKT, sehingga memberatkan mahasiswa dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah.
Pada tahun 2024, beberapa PTN terkemuka di Indonesia, seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) mengumumkan penyesuaian UKT yang memicu perdebatan. Misalnya di Universitas Indonesia, kebijakan baru terkait Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang dirilis pada 2 Mei 2024 mengurangi jumlah golongan UKT yang semula 11 kelompok menjadi hanya 5 kelompok. Kebijakan ini, alih-alih mempermudah, justru menyebabkan kenaikan biaya signifikan bagi mahasiswa di kelompok menengah. Sebagai ilustrasi, UKT untuk kelompok 3 yang sebelumnya berkisar antara Rp2.000.000 hingga Rp4.000.000 melonjak menjadi Rp7.500.000 hingga Rp12.500.000. Kenaikan ini tidak hanya berdampak pada mahasiswa yang sedang menempuh studi, tetapi juga menciptakan hambatan bagi calon mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah yang bermimpi melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi tahun 2024 yang ditampilkan pada Gambar 1, terlihat bahwa penduduk dari kelompok pengeluaran 20% terbawah hanya memiliki tingkat partisipasi pendidikan tinggi sebesar 18,23%. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya, yang mengindikasikan adanya kesenjangan akses pendidikan tinggi yang nyata jika ditinjau berdasarkan kemampuan ekonomi masyarakat. Kenaikan UKT berisiko memperburuk kondisi ini karena semakin membatasi peluang masyarakat berpenghasilan rendah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Padahal, pendidikan tinggi adalah salah satu kunci utama untuk mendorong mobilitas sosial dan mengurangi ketimpangan ekonomi. Jika persoalan ini tidak segera diatasi, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga dapat menghambat upaya kolektif bangsa dalam mewujudkan salah satu cita-cita Indonesia Emas 2045 yaitu terciptanya sumber daya manusia yang unggul, kompetitif, dan berbudaya.
Angka partisipasi kasar (APK) sendiri adalah indikator yang mengukur rasio jumlah penduduk yang sedang menempuh pendidikan di jenjang tertentu—tanpa memperhatikan usia—dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berada dalam rentang usia ideal untuk jenjang pendidikan tersebut. Hubungan antara APK jenjang perguruan tinggi dan kenaikan UKT sangat erat, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Kenaikan UKT dapat menjadi hambatan yang serius bagi mereka, karena berpotensi membuat semakin banyak keluarga dari kelompok ekonomi menengah ke bawah tidak mampu menanggung biaya pendidikan meskipun memiliki potensi akademik yang baik. Dalam jangka panjang, hal ini akan berdampak pada menurunnya APK pada jenjang pendidikan tinggi dan berlawanan dengan target pemerintah untuk mencapai APK sebesar 60% di jenjang perguruan tinggi pada tahun 2045 mendatang.
ADVERTISEMENT
Kuliah Bukan untuk Orang Miskin?
Kuliah sering dianggap sebagai tiket utama untuk meningkatkan kualitas hidup, karena terdapat hubungan antara pendidikan tinggi dengan pendapatan yang lebih baik. Banyak orang tua yang bekerja keras demi memastikan anak-anak mereka bisa kuliah, walaupun mereka sendiri tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Mereka berharap pendidikan yang lebih tinggi dapat membuka peluang bagi anak-anak mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Hal ini tercermin dalam upaya mereka untuk menyekolahkan anak di kampus top dengan jurusan yang terbaik. Sayangnya, ada tantangan besar yang harus dihadapi, yaitu banyak orang tua yang kesulitan dalam hal finansial.
Data dari kompas yang diolah dari laman 30 PTN dan PTS di Indonesia menunjukkan bahwa dalam periode antara 2013 dan 2022, biaya kuliah meningkat hingga 77%, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga properti yang dirilis oleh Bank Indonesia yang hanya sekitar 29,5% dalam periode yang sama. Ini menunjukkan betapa mahalnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia, sehingga membuat banyak orang tua tidak mampu memenuhi harapan tersebut. Fenomena ini bukan hanya masalah orang tua zaman dulu, tetapi juga menjadi tantangan bagi generasi sekarang, terutama bagi Gen Z yang berharap bisa memberikan pendidikan tinggi bagi anak-anak mereka di masa depan. Jika tren biaya kuliah terus meningkat dengan pesat, kemungkinan besar mereka akan menghadapi kesulitan yang sama dalam membiayai pendidikan anak-anak mereka di masa depan.
ADVERTISEMENT
Beasiswa Saja Tidak Cukup
Sebagian dari kita mungkin beranggapan bahwa masalah tingginya biaya pendidikan, terutama pendidikan tinggi dapat diatasi melalui program-program beasiswa. Memang program beasiswa telah lama dianggap sebagai solusi utama dalam menciptakan akses pendidikan yang merata, khususnya bagi masyarakat kurang mampu. Namun, perlu diketahui bahwa beasiswa hadir bersama dengan keterbatasan. Keterbatasan utama dari program beasiswa adalah ketersediaan anggaran. Setiap tahun, pemerintah maupun lembaga swasta hanya mampu menyediakan alokasi dana dalam jumlah tertentu. Kondisi ini berdampak pada diterapkannya sistem kuota yang pada praktiknya membuat program beasiswa hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil dari populasi mahasiswa. Sebagai contoh, program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah) yang merupakan salah satu program beasiswa dengan kuota tertinggi, berdasarkan data dari Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) Kemendikbudristek pada tahun 2024 hanya memiliki anggaran sebesar Rp13,9 triliun yang dialokasikan untuk 985.577 mahasiswa ongoing dan mahasiswa baru. Jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa program pendidikan sarjana (S1) di tahun yang sama yang mencapai 8.292.140 mahasiswa (berdasarkan data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi/PDDikti), program beasiswa KIP Kuliah hanya mampu mengakomodasi kurang dari 12% dari jumlah mahasiswa S1 secara keseluruhan. Fakta ini menunjukkan bahwa program beasiswa tidak bisa berdiri sendiri sebagai solusi dari masalah tingginya biaya pendidikan tinggi di bumi pertiwi.
ADVERTISEMENT
Kalkulasi Kasar Biaya Kuliah Masa Depan
Mari kita coba proyeksikan kondisi ke depan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata gaji/upah di Indonesia per Agustus tahun 2024 berada di angka Rp3.267.618. Untuk mempermudah penghitungan, angka ini dapat dibulatkan menjadi Rp3.000.000 per bulan. Dengan kondisi tersebut, jika seseorang baru memiliki anak pada tahun 2024, anak tersebut diperkirakan akan mulai memasuki jenjang pendidikan tinggi pada tahun 2042, yang berarti terdapat waktu sekitar 18 tahun untuk orang tuanya menabung. Namun, tantangan finansial tampak nyata jika melihat biaya untuk menyelesaikan kuliah di kampus-kampus top Indonesia pada tahun 2022 yang sudah mencapai rata-rata Rp150 juta. Berdasarkan kondisi tersebut sekaligus memperhitungkan inflasi tahunan sebesar 6,03%, maka biaya kuliah pada tahun 2042 dapat diperkirakan menggunakan rumus future value (FV) sebagai berikut.
Dengan asumsi biaya untuk menyelesaikan kuliah saat ini adalah Rp150 juta, kemudian inflasi 6,03% dan n adalah 18 tahun, maka hasil penghitungan menunjukkan bahwa biaya kuliah pada tahun 2042 bisa mencapai sekitar Rp483 juta. Lantas, jika gaji rata-rata masyarakat Indonesia saat ini sekitar Rp3 juta per bulan, apakah mungkin orang tua dengan pendapatan tersebut dapat membiayai kuliah anak mereka 18 tahun ke depan?
ADVERTISEMENT
Kita asumsikan orang tua tersebut menabung 20% dari gajinya setiap tahun, sehingga terdapat sekitar Rp7,2 juta dana tabungan yang terkumpul di setiap tahunnya. Dengan menabung selama 18 tahun, mereka akan memiliki sekitar Rp130 juta total tabungan pada tahun 2042. Namun, jumlah tersebut hanya mencakup sekitar 27% dari total biaya kuliah yang diperkirakan mencapai Rp483 juta pada tahun 2042. Artinya, meskipun orang tua tersebut rajin menabung, tabungan mereka hanya mampu menutupi sebagian kecil dari biaya kuliah yang dibutuhkan. Dengan kata lain, angka ini jauh dari kata cukup untuk bisa membiayai pendidikan tinggi anak sepenuhnya. Memang, gaji orang tua mungkin akan meningkat setiap tahunnya seiring dengan inflasi atau kenaikan upah minimum regional. Namun, kenaikan gaji ini cenderung tidak sebanding dengan laju kenaikan biaya pendidikan yang terus melonjak dari tahun ke tahun. Kalkulasi sederhana ini memberikan gambaran yang sangat jelas tentang besarnya tantangan yang dihadapi oleh keluarga, khususnya dari kalangan menengah ke bawah dalam merencanakan pembiayaan pendidikan tinggi di masa depan.
ADVERTISEMENT
Alternatif lain yang dapat diambil oleh orang tua untuk menyiapkan pendidikan anak selain menabung adalah investasi. Pada banyak kasus, investasi cenderung dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi daripada menabung terutama dalam jangka panjang. Namun, apakah alternatif ini dapat menjadi solusi? Mari kita kalkulasikan. Kita anggap alokasi dana sebesar Rp7,2 juta per tahun yang digunakan untuk menabung sebelumnya dialihkan ke instrumen investasi, misalnya reksadana. Kemudian kita asumsikan return per tahun yang diperoleh sebesar 5% dengan durasi yang sama yaitu 18 tahun. Maka, nilai akhir yang potensial untuk diperoleh dari alternatif ini dapat diperkirakan menggunakan rumus berikut.
Nilai saat ini merujuk pada nominal yang dimasukkan ke dalam instrumen investasi, yaitu Rp7,2 juta dan n merupakan durasi atau lama investasi, yaitu 18 tahun. Dengan begitu, nilai akhir yang diperoleh adalah sebesar Rp219.880.800. Nilai ini bahkan belum mampu menutupi 50% dari total biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan kuliah anak.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Dari berbagai kalkulasi yang dilakukan, terlihat jelas betapa sulitnya orang tua saat ini untuk bisa menyediakan akses pendidikan tinggi untuk anaknya di masa depan. Terlebih jika tidak ada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengintervensi tantangan tersebut. Karena pada dasarnya, untuk memastikan akses pendidikan tinggi yang merata, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan yang lebih inklusif dan holistik. Misalnya penyesuaian kenaikan upah rata-rata pekerja, mekanisme penetapan UKT yang perlu terus disesuaikan berdasarkan kemampuan ekonomi masyarakat, peningkatan alokasi beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu, serta penguatan subsidi di bidang pendidikan tinggi. Langkah-langkah ini penting, terutama di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan akses yang lebih luas bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah. Hal ini perlu dilakukan agar cita-cita Indonesia Emas 2045 tidak terhambat oleh ketimpangan akses, dan generasi muda dapat menjadi motor penggerak pembangunan yang berdaya saing global.
ADVERTISEMENT