Konten dari Pengguna

Kewarganegaraan Tak Lagi Sakral? Saat Status Ditinggalkan demi Peluang

FARHANA NURUL
Mahasiswa aktif S1 kebidanan, universitas Muhammadiyah Surabaya
27 April 2025 15:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FARHANA NURUL tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sumber(https://cdn.pixabay.com/photo/2017/09/04/16/58/passport-2714675_1280.jpg)
zoom-in-whitePerbesar
sumber(https://cdn.pixabay.com/photo/2017/09/04/16/58/passport-2714675_1280.jpg)
Kewarganegaraan Tak Lagi Sakral? Saat Status Hukum Ditinggalkan, Identitas Dipertanyakan
ADVERTISEMENT
Dulu, menjadi warga negara adalah hal sakral. Sebuah ikatan tak tergantikan antara individu dan negaranya. Tapi hari ini, kita melihat tren yang berbeda. Semakin banyak orang mengganti atau melepaskan kewarganegaraannya. Tidak hanya untuk alasan politis atau keamanan, tetapi demi akses yang lebih luas: pendidikan, pekerjaan, atau sekadar paspor yang lebih “kuat”.
Kewarganegaraan kini semakin bersifat fungsional. Ia dilihat sebagai alat, bukan identitas. Dalam banyak kasus, seseorang memilih meninggalkan status WNI karena dianggap membatasi mobilitas global atau akses terhadap fasilitas di negara maju. Misalnya, seseorang yang tinggal lama di Jerman, lalu menikah dan memilih menjadi warga negara Jerman karena syarat administratif dan benefit sosial di sana lebih besar.
Namun, fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah kewarganegaraan masih relevan? Apakah kita sebagai bangsa harus mulai berpikir ulang tentang makna menjadi warga negara Indonesia?
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, kita tidak bisa menyalahkan mereka yang memilih praktis. Dengan paspor Indonesia yang hanya bebas visa ke 70-an negara, sementara paspor Jepang atau Singapura bisa mengakses lebih dari 190 negara tanpa visa, keputusan itu menjadi kalkulasi logis. Apalagi dengan banyaknya pekerjaan digital yang memungkinkan orang bekerja lintas negara tanpa harus tinggal di Indonesia.
Tapi di sisi lain, apakah kita rela memaknai Indonesia hanya sebatas urusan administratif? Di mana letak emosi, budaya, bahasa, dan rasa memiliki yang dulu dibanggakan dalam sumpah pemuda dan semangat kebangsaan?
Yang menarik, anak muda zaman sekarang justru lebih dekat ke identitas global. Mereka tidak lagi merasa hanya sebagai "orang Indonesia", tapi juga "netizen dunia". Mereka bisa belajar dari Amerika, bekerja untuk perusahaan Jepang, tinggal di Korea, dan tetap mendukung timnas Indonesia lewat layar ponsel.
ADVERTISEMENT
Ini menandai era baru: kewarganegaraan digital. Sebuah identitas yang lebih cair, lebih fleksibel, tapi tetap memerlukan rasa tanggung jawab dan etika. Warga negara digital tetap harus sadar terhadap jejak digitalnya, sikapnya di ruang publik, dan dampak yang ia timbulkan pada komunitas global maupun nasional.
Maka mungkin pertanyaannya bukan lagi “Apakah Anda bangga menjadi WNI?”, tapi “Bagaimana Anda berkontribusi pada Indonesia — meski dari luar negeri, dari dunia digital, atau dari ruang-ruang tak terlihat?”
Kita perlu mendekonstruksi ulang makna kewarganegaraan. Bukan sebagai sesuatu yang statis dan administratif, tapi sebagai hubungan aktif yang dinamis antara individu dan negara. Bukan sekadar memiliki KTP, tapi memiliki niat untuk menjaga nilai, budaya, dan masa depan bangsa.
ADVERTISEMENT
Karena pada akhirnya, kewarganegaraan adalah kontrak sosial. Ia tidak hanya tentang siapa kita secara hukum, tapi siapa kita saat berhadapan dengan pilihan moral, kontribusi sosial, dan keberanian untuk peduli.
Sayangnya, negara sendiri terkadang ikut mempersempit makna kewarganegaraan. Terlalu fokus pada syarat administratif, tapi kurang memberi ruang pada mereka yang ingin berkontribusi dari luar batas fisik. Misalnya, WNI yang tinggal di luar negeri kesulitan mengakses layanan pemerintah, ikut pemilu, atau bahkan sekadar mengurus dokumen.
Sementara di sisi lain, negara sangat cepat memberi status kewarganegaraan kepada atlet asing demi prestasi. Ironis? Mungkin. Tapi ini menunjukkan bahwa kewarganegaraan sudah bergeser dari sesuatu yang diperjuangkan menjadi sesuatu yang dinegosiasikan.
Lalu bagaimana kita, terutama anak muda, menyikapinya? Tidak semua orang harus jadi aktivis atau politikus. Tapi kita semua bisa mulai dari hal kecil: paham hak-hak kita, aktif menyuarakan isu yang relevan, dan membangun ruang dialog yang sehat — di kampus, media sosial, bahkan lingkungan kerja.
ADVERTISEMENT
Indonesia tidak butuh warga yang sempurna. Tapi ia sangat butuh warga yang sadar, peduli, dan tidak kehilangan rasa memiliki.
Kita harus mulai bicara tentang keterlibatan, bukan hanya kebanggaan. Karena mencintai negara tak harus selalu dalam bentuk simbolik—seperti menyanyikan lagu kebangsaan atau memakai batik di hari Jumat. Mencintai negara berarti juga berani mengkritiknya ketika perlu, mendorong perubahan kebijakan, serta menjaga keberagaman dan keadilan sosial yang menjadi fondasi Indonesia.
Kita semua sedang berada di zaman peralihan, saat batas negara makin kabur tapi tantangan identitas justru makin tajam. Maka, sekarang adalah saat yang tepat untuk bertanya:
“Apa arti jadi warga negara Indonesia hari ini?”
Jawabannya mungkin berbeda-beda. Tapi selama kita masih mau bertanya, berarti kita belum menyerah. Dan itu, mungkin, adalah bentuk cinta paling jujur kepada tanah air.
ADVERTISEMENT
Farhana Nurul Rachman , Sarjana S1 Kebidanan , Universitas Muhammadiyah Surabaya