Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Hal-Hal yang Jarang Dibicarakan tentang Kesehatan Jiwa
11 Oktober 2022 19:16 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Farhanah Fitria Mustari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh: Farhanah Fitria Mustari (Managing Director YTSB)
Setiap tanggal 10 Oktober 2022 menjadi peringatan terhadap pentingnya kesehatan jiwa. Perihal yang jarang dibicarakan dan terkesan privat. Tak heran, berapa banyak senyum terlukis namun hati meringis. Sebab, diskusi kesehatan jiwa menyangkut aspek kerapuhan terdasar manusia. Dimulai dari isi hati yang tak pernah tertebak hingga perihnya luka di masa lalu adalah bukti konkret aspek mentalitas. Namun, perlu disadari bahwa jiwa dan raga merupakan satu paket yang membentuk kehidupan manusia. Bukankah kita perlu sadar dan menyeimbangkan keduanya?
ADVERTISEMENT
Lantas, apa definisi dari kesehatan mental/jiwa yang sesungguhnya? Merujuk pada pernyataan yang dicetuskan oleh WHO (World Health Organization) bahwa:
(Kondisi kesejahteraan mental yang mendorong individu untuk menghadapi tekanan hidup, menyadari potensi diri, mampu belajar & bekerja dengan baik, hingga berkontribusi pada sekitar)
Artinya, individu yang sehat secara jiwa bukan sekedar bertahan (survive), tapi juga bertumbuh (thrive). Berikut adalah hal-hal yang sering dilewatkan ketika berbicara kesehatan mental:
1. Saya stress karena suatu hal. Maka, saya perlu berhenti.
Berapa banyak dari kita memilih menyerah dan berujung para pikiran irasional atas suatu kejadian? Tentu saja, mudah dan lumrah dialami. Akan tetapi, kesehatan jiwa berbicara melebihi opsi keluar atau berhenti. Ini adalah kemampuan memilih beristirahat atau mengambil jeda. Ketika individu dalam kondisi dibawah tekanan, perasaan tak terkendali. Sehingga, pikiran berada dalam kotak sempit. Dalam kata lain, kesehatan jiwa adalah tentang pemahaman bahwa kesulitan selalu ada. Menarik diri dari kenyataan bukanlah opsi ideal.
ADVERTISEMENT
2. Hati saya tidak “nyaman”. Saya tidak paham apa yang terjadi dengan diri.
Kesehatan jiwa terbentuk ketika fondasi diri kokoh. Artinya, individu perlu pemahaman tentang apa yang dirasakan hingga menyebutkan dengan jelas. Hidup tidak hanya penuh dengan emosi negatif (sedih, marah, gelisah, kecewa, dan lain sebagainya). Akan tetapi, selalu ada pelangi setelah hujan. Mengapa tidak terbiasa berbahasa dengan emosi positif (cinta, bangga, senang, syukur, dan lain sebagainya) dalam keseharian?
Setidaknya, literasi emosi perlu kembali direfleksikan sudah sejauh mana pemahaman diri terhadap perasaan yang hadir laksana cuaca.
3. Mencintai diri berarti tidak perlu repot-repot.
Glorifikasi self-love di sosial media mengandung opini bias yang akhirnya merasa dunia hanya milik pribadi. Tak heran, pemahaman self-love hanya sebatas self-care (perawatan diri). Tak pernahkah kita berpikir lebih dalam bahwa self-love adalah aspek hidup yang kompleks? Cinta yang tak lain emosi positif terbangun atas dasar kesadaran & kemauan.
ADVERTISEMENT
Artinya, mencintai diri berkaitan erat dengan self-awareness (pemahaman diri) dan kemauan untuk bertumbuh (growth mindset). Bukankah cinta adalah aspek konstruktif yang mentransformasikan diri yang melampaui ekspektasi?
4. Saya bisa mengontrol semua. Pertanda saya kuat.
Dunia yang luas ini dan takdir tak terduga adalah bukti manusia bukan diciptakan untuk sempurna. Melainkan, dilahirkan untuk menjadi nyata. Seringkali, apa yang bisa dikontrol adalah diri sendiri. Manusia lain dan takdir yang akan terjadi bukanlah kuasa diri. Repot sekali rasa hati dan pikiran ketika memikirkan bahwa tanggung jawab hidup melebihi batas diri. Bahkan, orang-orang ada kemungkinan berubah (dinamis). People come and go. Just try to live the day, just the day.
5. Kantor perlu bertanggung jawab atas kesehatan mental saya.
ADVERTISEMENT
Perkara profesional yang tercampur dengan tuntutan pribadi. Membangun budaya perusahaan/organisasi yang terbiasa berbicara kesehatan jiwa adalah inisiatif yang baik. Namun, organisasi hanya berperan sebagai fasilitator. Setidaknya, tanggung jawab ada di diri masing-masing. Bagaimana individu makan teratur, tidur terlelap, olahraga rutin, dan berada dalam komunitas merupakan peran pribadi. Di sisi lain, sebab ini tanggung jawab pribadi maka individu berhak menyuarakan aspirasi kebijakan kesehatan mental. Dengan syarat, bukan sebagai manipulasi opini agar tidak bekerja secara optimal. Melebihi itu semua, bekerja adalah bagian dari proses bertumbuh.
Menutup ini semua meski obrolan kesehatan jiwa tak boleh berhenti di sebatas perayaan. Jiwa kita berharga melebihi uang dan kekuasaan. Sehingga, menjaga jiwa sehat berarti mendukung peradaban yang lebih baik. Di dunia yang entah akan berhenti di kapan hari, selalu percaya bahwa kesehatan jiwa layak diperhatikan. Mari kita perlakukan diri dengan utuh dan penuh kasih.
ADVERTISEMENT