Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
The Why & My Way: Berani Berlayar!
17 Januari 2022 20:35 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Farhanah Fitria Mustari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh: Farhanah Fitria Mustari (Managing Director YTSB)
Sejak kecil--seperti orang lain pada umumnya, saya mendapatkan banyak rekomendasi cita-cita ketika menjadi dewasa. Dari dokter hingga pengusaha, semuanya dijabarkan secara apik & rinci oleh kedua orang tua saya. Kala itu, saya memandang peran dan tanggung jawab sebagai seorang anak adalah tentang menerima semua masukan dari orang tua dan menjalani hidup sesuai harapan mereka. Akan tetapi, seiring beranjak dewasa, hidup selalu menawarkan beragam pilihan menantang sekaligus menyenangkan di luar saran kedua orang tua.
ADVERTISEMENT
Keberanian untuk memilih mana yang relevan untuk diri saya butuh waktu yang sangat panjang. Saya mengingat ketika masih Sekolah Dasar, Ibu saya mendaftarkan ke sekolah musik & vokal. Pada masa itu, ramai sekali perbincangan mengenai audisi bernyanyi "Idola Cilik". Ibu saya mengasumsikan bahwa dengan saya mengikuti Les Vokal tidak hanya akan mendorong kepercayaan diri anaknya, namun juga melatih bakat terpendam. Namun, les yang berjalan hingga 2 tahun tidak berjalan dengan maksimal. Saya selalu berada di tingkat terakhir dari kualitas vokal jika disandingkan dengan teman-teman saya. Akhirnya, Ibu saya memutuskan untuk berhenti dari Les Vokal dan mencoba mencari cara lain.
Selang beberapa bulan, Ibu memberi brosur kepada saya untuk mengikuti Les Menari Tradisional di salah satu Sanggar Tari. Saya hanya mengangguk tidak berani menolak, karena dalam hati kecil masih terasa beban karena telah mengecewakan Ibu di Les Vokal. Singkat cerita, saya mengikuti les tersebut dan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Saya perlu latihan fisik bersamaan dengan menghafal gerakan tari yang begitu rumit. Setelah tiga bulan evaluasi, pelatih saya menyarankan agar saya berhenti dari Kursus Tari karena hanya menghambat teman-teman yang lain dalam proses latihan.
ADVERTISEMENT
Ibu saya kembali kecewa.
Kemudian, ketika saya beranjak menempuh pendidikan di SMP (Sekolah Menengah Pertama). Saya mendapatkan informasi dari salah satu kerabat jauh tentang Kursus Public Speaking. Sejujurnya, Ibu saya sudah sedikit "enggan" mendengar informasi les di luar jalur non-akademik, mengingat pengalaman sebelumnya tidak berakhir dengan mujur. Namun, inspirasi bisa datang kapan saja dan dari arah yang tidak diduga. Saya selalu terkagum-kagum dengan Desi Anwar ketika menjadi pembawa berita dan tertawa terbahak-bahak ketika mendengar penyiar di radio. Hingga, akhirnya saya bilang kepada Ibu bahwa saya ingin lebih serius dengan kemampuan wicara publik. Entah akan digunakan pada situasi apa, saya merasa bahwa berbicara di depan umum adalah salah satu lingkaran kompetensi hidup.
Ini foto pertama kali saya jadi seorang pembawa acara di panggung nikahan keluarga. Kebetulan, salah satu komedian diundang oleh pihak penyelenggara yaitu Ki Daus (partner Rina Nose) beserta rekannya untuk memeriahkan acara. Masih berkesan di ingatan, saya yang baru selesai makan bistik sapi & nasi, tiba-tiba dipanggil Ayah untuk naik ke panggung untuk duet maut jadi MC. Karena, kepalang tanggung sudah dipanggil dan lari juga bukan solusi. Akhirnya, dengan langkah gontai dan terseok-seok sambil jantung berdebar dan tangan keringat dingin, saya berhasil berada di atas panggung.
ADVERTISEMENT
Mikrofon sudah di tangan saya dan Ki Daus belum juga datang. Saya tidak mungkin diam saja dan menghadirkan moment of silent di tengah undangan pernikahan. Beberapa kali, pemain musik di belakang memberi komando untuk segera mengucap sesuatu. Entah, saya harus bicara apa. Di pikiran saya, yang penting saya berbicara. Lucu dan tidak lucu, urusan nanti. Selang beberapa menit, Ki Daus dan rekannya datang dan seketika di depan saya hadirin undangan merapat dan mulai memotret. Kaki saya gemetar karena saya harus berhadapan dengan sosok yang punya ribuan jam tayang. Dari kejauhan, orang tua saya senyum-senyum sambil teriak "Go Hana Go" dan dalam hati saya sudah komat-kamit berdoa.
Interaksi saya dengan Ki Daus hanya setengah jam, namun saya belajar banyak tentang keberanian. Melihat Ki Daus yang begitu menikmati suasana panggung dan menatap audience seperti sahabat terbaik tanpa beban. Bikin saya pengin bisa jadi pembawa acara/pemateri yang menyenangkan dan menginspirasi. Meskipun, saya tahu ini mengambil langkah panjang dan berliku. Saya tahu proses ini bernilai sangat tinggi dan semakin meyakini bahwa berbicara, mendidik, dan mempelajari materi adalah tiga hal yang tidak bisa terpisahkan dari saya. Sama seperti pada umumnya, saya punya ketakutan untuk mengecewakan dan tidak tampil menarik. Hal ini wajar sekali untuk di awal masa berlayar.
ADVERTISEMENT