Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Memahami Interaksi Media dengan Teori Stuart Hall
6 Desember 2020 6:01 WIB
Tulisan dari Farhandiah Patria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era modern dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ini, media memegang peranan penting sebagai alat komunikasi dan penyebarluasan pesan maupun pemberitaan. Semua bentuk media seperti koran, radio, televisi sampai platform media sosial Instagram, Youtube, dan Facebook menjadi penyalur utama informasi yang mudah diakses oleh semua kalangan.
ADVERTISEMENT
Contohnya seperti fenomena pandemi COVID-19. Adanya pandemi COVID-19 menimbulkan keadaan chaos yang disebabkan oleh keresahan dan ketakutan masyarakat akan virus ini. Sejak awal berkembangnya virus ini, media dengan gencar mempublikasikan segala bentuk perkembangan yang tak jarang masih simpang siur. Media sosial menjadi platform utama setelah televisi dan media cetak koran yang aktif dalam memuat informasi mengenai virus COVID-19. Di Instagram misalnya, banyak video beredar yang berisi cuplikan seberapa mengerikannya keadaan orang-orang yang terinfeksi virus tersebut.
Fenomena ini menunjukan seberapa berpengaruhnya media massa dalam merepresentasikan suatu objek kejadian, karena mereka mampu mengendalikan persepsi yang berkembang dalam masyarakat. Stuart Hall, salah satu pakar kajian media dari Inggris, mengemukakan pemikirannya mengenai peran media dalam masyarakat dalam pembentukan persepsi publik, yakni melalui Teori Representasi dan Teori Pemaknaan.
ADVERTISEMENT
REPRESENTASI SEBAGAI KEKUATAN MEDIA
Representasi adalah salah satu pokok bahasan dalam kajian media. Representasi adalah bagaimana media menggambarkan suatu objek fenomena. Sering kali suatu bentuk representasi yang dibuat oleh media diperdebatkan tingkat keakuratannya dengan fakta dari realitas kejadian yang digambarkan. Hal tersebut penting dilakukan untuk mengetahui kredibilitas dari media tersebut.
Mengutip pernyataan dalam salah satu kuliahnya, Hall menjelaskan bahwa representasi tidak dibentuk setelah suatu fenomena terjadi, melainkan representasi itulah yang memberikan makna kepada fenomena tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa representasi yang dibuat oleh media bukan sebuah refleksi dari kejadian yang memiliki arti tertentu, melainkan merekalah yang membuat artian terhadap objek tersebut.
Hall menekankan bahwa bentuk interpretasi dari tiap-tiap media dapat berlainan bahkan bertentangan satu sama lain, bisa berkonotasi positif maupun negatif, mendukung maupun menolak, dan lain sebagainya. Ia memfokuskan peran media sebagai pemegang kendali atas makna dari fenomena yang telah terjadi, sehingga media memiliki kekuasaan penuh dalam membentuk realitas bagi masyarakat luas, berdasarkan pemikiran, ideologi, dan kepentingan mereka masing-masing.
ADVERTISEMENT
Mari kita ambil fenomena Brexit sebagai contoh. Brexit merupakan sebutan untuk penarikan diri Britania Raya dari Uni Eropa yang terjadi pada Januari 2020. Fenomena Brexit menghasilkan kubu yang berbeda pikiran. Media yang mendukung Brexit seperti The Sun Magazine merepresentasikannya sebagai kesuksesan, digambarkan dengan orang-orang yang bersorak sorai bergembira dengan keluarnya Britania Raya dari keanggotaan Uni Eropa. Di sisi lain, The Guardian yang menilai keputusan tersebut sebagai suatu kerugian, menggambarkan kejadian tersebut dengan atmosfir yang menyedihkan.
Kedua representasi tersebut merupakan contoh dua bentuk representasi yang berbeda. Keduanya memiliki pesan dan konotasi yang berbeda, meskipun keduanya menggambarkan fenomena yang sama. Tergantung dari sumber yang mereka gunakan, masyarakat bisa mempunyai perspektif yang berbeda-beda. Pada akhirnya, keputusan mengenai interpretasi berada di tangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
PENERIMAAN PESAN SEBAGAI KEKUATAN PUBLIK
Dalam Teori Pemaknaan, Hall menjelaskan bahwa analisis penerimaan pesan mengacu pada studi mengenai makna, produksi, dan pengalaman khalayak umum dalam hubungannya berinteraksi dengan media. Konsep terpenting yang menjadi fondasi teori ini adalah encoding (pengkodean makna) oleh media dan decoding (pengartian makna) oleh publik. Namun, sebagai akibat dari proses dua arah ini, pesan yang coba diungkapkan oleh media mungkin saja diterima dengan konotasi yang berbeda oleh masyarakat.
Hall membagi proses penerimaan dan pengartian makna oleh masyarakat menjadi tiga posisi. Pertama, penerimaan dominan, yaitu saat masyarakat sebagai penerima pesan, menerima dan memaknai pesan dari media sesuai dengan konotasi yang ingin disampaikan pengirim pesan. Posisi ini disebut ideal oleh media karena konotasi yang mereka berikan diterima oleh khalayak dengan sesuai. Selanjutnya, penerimaan negosiasi yaitu saat masyarakat menerima dan memahami pesan yang ditampilkan oleh media, tanpa memanifestasikanya. Terakhir, penerimaan oposisi yakni saat masyarakat telah menerima dan memahami pesan yang disampaikan, baik secara literal maupun konotasi-konotasi yang diberikan, namun mereka menolak pesan tersebut seutuhnya.
Contoh dari perbedaan posisi penerimaan ini dapat dilihat pada beberapa ulasan film Joker (2019) yang merupakan salah satu film paling kontroversial pada tahun perilisannya. Banyak orang yang menerima pesan tersebut sesuai dengan konotasinya, bagaimana seorang pria merasakan tekanan sosial yang menjadikannya lepas kendali. Lalu, ada pula sebagian masyarakat yang memahami maksut dari film tersebut dan menikmatinya, namun tidak setuju dengan ditampilkannya kekerasan. Ada pula yang terus terang menghina film tersebut dan mengecamnya karena efek sosial yang ditimbulkan.
ADVERTISEMENT
Dua teori tersebut adalah sebagian kecil dari hasil pemikiran Stuart Hall dalam ranah kajian media. Dengan sumbangannya yang sangat berpengaruh dan revolusioner, tidak heran bila banyak yang menyebut Stuart Hall sebagai “Bapak Kajian Media dan Budaya.”