Konten dari Pengguna

Menyoal Motif Pembunuhan Brigadir J oleh Ferdi Sambo, Pentingkah?

Farhan Qudratulloh Ginanjar
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang dan Ketua Umum PW Hima Persis Jawa Tengah. Seorang Pembelajar sepajang hayat yang tertarik terhadap isu hukum, politik, ekonomi, peradaban dan pendidikan.
14 Agustus 2022 19:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farhan Qudratulloh Ginanjar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Ilustrasi: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Ilustrasi: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pascasatu bulan peristiwa pembunuhan Brigadir J di Kawasan Duren Tiga yang merupakan rumah dinas Irjen Ferdy Sambo (selanjutnya disebut FS), Kapolri pada tanggal 9 Agustus 2022 mengumumkan bahwa FS sebagai tersangka baru dalam peristiwa pembunuhan yang menewaskan Brigadir J. Bahkan, FS yang merupakan mantan Kadiv Propam, dijerat dengan Pasal 340 (pembunuhan berencana) subsider Pasal 338 jo Pasal 55, Pasal 56 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Pengumuman yang dipimpin langsung oleh Kapolri tersebut menimbulkan pertanyaan baru di tengah masyarakat yaitu apa motif pembunuhan brigadir J oleh FS? Padahal berdasarkan keterangan dari Kamaruddin Simanjuntak pengacara dari Brigadir J, korban merupakan ajudan kesayangan dari FS dan PC. Selain itu, apakah penting mengungkap motif kepada publik dalam kasus tersebut?

Unsur Pidana Pasal 340 KUHP

Perlu kita ketahui, pasal 340 yang menjerat FS memuat tiga unsur pidana yaitu barangsiapa, sengaja, dan dengan rencana. Ketiga unsur inilah yang harus terlebih dahulu dibuktikan untuk menjerat FS dengan pasal 340.
Unsur pertama adalah “barangsiapa”, Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 951-K/Pid/1982 tanggal 10 Agustus 1983, menjelaskan bahwa unsur “barangsiapa” merupakan kata ganti orang di mana unsur ini harus memiliki makna apabila dikaitkan dengan unsur-unsur pidana lainnya. Oleh karena itu, unsur “barangsiapa” haruslah dibuktikan dengan unsur-unsur lainnya dalam delik yang dikenakan. Sehingga, unsur ini bukanlah delik utama, tetapi hanya sebagai elemen delik yang menunjukkan subjek hukum yang melakukan tindak pidana sehingga pembuktiannya bergantung kepada pembuktian unsur delik lainnya.
ADVERTISEMENT
Unsur yang kedua adalah “sengaja”, dalam rumusan tindak pidana merupakan salah satu unsur yang terpenting. Berdasarkan unsur ini, seseorang dapat dijerat dengan pasal 340 apabila terdapat kesengajaan dalam perbuatannya (opzettelijk), sehingga unsur ini meliputi unsur lain yang di belakangnya harus dibuktikan. Berkaitan dengan pembuktian terhadap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, menurut MvT (Memorie van Toelechting) terdapat dua pengertian yaitu willens (mengehendaki) en wetens (mengetahui akibat). Dalam teori kehendak dari Von Hippel, yang dimaksud dengan sengaja adalah kehendak untuk melakukan suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan yang dilakukannya.
Mengenai unsur “direncanakan terlebih dahulu” KUHP sendiri tidak memberikan penafsiran tentang unsur ini. Namun, penjelasan tentang unsur "direncanakan terlebih dahulu" dapat dilihat dalam MvT (Memorie van Toelichting) yang menyatakan bahwa istilah met voorbedachte rade atau “dengan rencana terlebih dahulu” menunjuk pada suatu saat untuk menimbang dengan tenang.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pasal 340 yang dikenakan pada FS, ada tiga hal penting yaitu memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedianya waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak itu, dan pelaksanaan kehendak tersebut dalam suasana tenang.

Pentingkah Motif dalam Kasus FS?

Ada dua pendapat mengenai hal ini, pertama menurut Ruba’i pembunuhan berencana didasarkan kepada motif, sebab menurutnya motif merupakan instrumen untuk membuktikan terjadinya tindak pidana pasal 340 KUHP. Kedua, motif tidak diperlukan dalam pembuktian pasal 340, menurut Eddy Hiariej mengutip Jan Remmelink, bahwa motif dijauhkan dari rumusan delik sehingga motif ditempatkan sejauh mungkin dari rumusan delik.
Melihat teks pasal 340, motif bukanlah bagian dari ketiga unsur pidana, karena secara tekstual dan kontekstual tidak ada yang mengarah kepada motif sebagai bagian penting dalam pembunuhan berencana (moord). Berbeda dengan beberapa tindak pidana yang menjadikan maksud ataupun motif sebagai unsur delik, seperti dalam pasal 363 KUHP “...dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum...”
ADVERTISEMENT
Dengan kata “maksud” dalam pasal tersebut menjadikan motif sebagai unsur penting dalam pembuktian. Namun, dalam konteks pasal 340, motif bukanlah hal penting dalam pembuktian pembunuhan berencana yang dilakukan oleh FS.
Berdasarkan uraian di atas, dalam perspektif hukum pidana, motif apa pun sehingga mendorong FS untuk menyuruh lakukan pembunuhan terhadap Brigadir J tidak berpengaruh dalam pemidanaannya karena telah terpenuhinya ketiga unsur pidana yang terdapat dalam pasal 340. Namun, berbeda dari aspek sosio-politik, adanya kasus tersebut yang berbelit-belit dan diskenario sedemikian rupa oleh pihak FS telah mencoreng nama baik institusi Polri. Masyarakat bahkan Presiden Jokowi menuntut institusi Polri untuk terbuka dalam menangani kasus pembunuhan yang melibatkan perwira tinggi Polri tersebut agar semua pihak dapat mengawal dan mengawasi berjalannya proses hukum. Selain itu, mengungkapkan motif dalam kasus FS kepada publik merupakan wujud langkah konkret keterbukaan Polri yang dapat memperbaiki citra institusi di hadapan masyarakat.
ADVERTISEMENT

Farhan Qudratulloh Ginanjar, Mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang