Konten dari Pengguna

Presidential Threshold, Sebuah Simbol Ketidak-kafahan Demokrasi di Indonesia

Farhan Qudratulloh Ginanjar
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang dan Ketua Umum PW Hima Persis Jawa Tengah. Seorang Pembelajar sepajang hayat yang tertarik terhadap isu hukum, politik, ekonomi, peradaban dan pendidikan.
31 Januari 2022 11:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farhan Qudratulloh Ginanjar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua Persidangan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Pengujian UU Pemilu terkait Ambang Batas Pencalonan Presiden (Presidential Threshold), Saldi Isra Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Persidangan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Pengujian UU Pemilu terkait Ambang Batas Pencalonan Presiden (Presidential Threshold), Saldi Isra Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Pasca runtuhnya orde baru yang dinilai otoriter, Indonesia memasuki fase reformasi yang diharapkan menumbuhkan iklim demokrasi di segala lini termasuk dalam pelaksanaan memilih pemimpin eksekutif. Pada tahun 2004 telah terlaksana untuk pertama kalinya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat yang disebut sebagai Pemilu Presiden atau Pilpres. Sejak awal pelaksanaan pada tahun 2004 sampai saat ini, terdapat sebuah ketentuan yang diterapkan sebagai syarat untuk meloloskan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam kontestasi pemilu yaitu presidential threshold.
ADVERTISEMENT
Secara definisi presidential threshold adalah ambang batas perolehan suara yang harus didapatkan oleh partai politik dalam sebuah kontestasi pemilu legislatif untuk dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Maknanya, presidential threshold menjadi syarat mutlak bagi seseorang agar dapat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum.
Di Indonesia ambang batas minimum untuk mengusung paslon dalam kontestasi pilpres berubah-ubah. Pada pemilu tahun 2004 berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2003 ambang batas partai politik untuk mengusung paslon di pilpres sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi di DPR atau 20 persen berdasarkan perolehan suara nasional dalam pemilu legislatif. Tidak sama dengan tahun 2004, pada tahun 2009 besaran ambang batas sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen dari suara sah nasional. Namun, pada tahun 2014 presidential threshold tidak berubah karena Pilpres pada tahun terebut masih merujuk kepada UU Nomor 42 tahun 2008. Pengaturan presidential threshold kembali berubah pada pemilu tahun 2019, dengan ketentuan minimum sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Pemberlakuan presidential threshold yang selama ini digunakan dalam pemilu di Indonesia menunjukkan bahwa penerapan demokrasi masih berjalan setengah-setengah. Di satu sisi rakyat dilibatkan dalam pemilihan eksekutif atau legislatif secara langsung, tetapi disisi lain adanya pembatasan terhadap hak-hak warga negara untuk turut aktif dalam kontestasi bahkan adanya pemilu gagal untuk mencapai tujuan dari sistem demokrasi yang dianut sebagai suatu konsekuensi dari penerapan presidential threshold.
Jika tujuan demokrasi adalah untuk menghadirkan sosok presiden yang terbaik dan unggul sehingga dapat menghadirkan kesejahteraan dan keadilan, maka presidential threshold dapat menghalangi tujuan tersebut karena pilihan rakyat dalam pemilu akan sangat terbatas bahkan cenderung kental dengan permainan kepentingan politik. Apalagi dalam Pilpres tahun 2024 dengan ambang batas 20 persen serta komposisi partai koalisi pemerintah sebanyak 80 persen lebih, parlemen dapat mengatur skenario untuk menentukan kontestan dalam pemilihan Presiden. Hal ini akan sangat merugikan karena akan meminimalisasi rakyat untuk menemukan pemimpin yang tepat karena adanya skenario yang ditentukan oleh parlemen. Lebih jauh lagi, pemberlakuan sistem presidential threshold telah menghilangkan makna untuk jaminan pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara. Dengan adanya sistem tersebut dalam pemilu, ketentuan mengenai mekanisme syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden telah menghilangkan hak warga negara untuk memilih secara cerdas dan efisien (political efficiency).
ADVERTISEMENT
Akibat adanya batasan dalam mengusung calon dalam pilpres semakin membuka secara luas politik transaksional (tukar menukar kepentingan). Sehingga adanya pola politik tersebut akan memperlemah kedudukan presiden dalam sistem presidensil, sebab presiden akan terikat dengan partai-partai politik pengusung dalam koalisi. Tentu hal ini akan membatasi seorang Presiden untuk menentukan kebijakan berdasarkan kebebasan hati nuraninya.
Perlu kita ingat, salah satu karakteristik dari negara demokrasi adalah menjalankan konstitusi. Pemberlakuan Presidential Threshold akan bertentangan dengan nilai yang dikandung dalam UUD NRI 1945, sebab pada praktiknya partai politik yang baru berpartisipasi tidak dapat berkoalisi untuk mengusung Presiden dan Wakil Presiden karena belum memiliki jumlah parliamentary threshold. Padahal hak partai politik untuk mengusung Presiden dan Wakil telah dijamin oleh UUD NRI 1945 pasal 6A.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem demokrasi adanya Presidential Threshold merupakan hal yang tabu untuk diterapkan, Pada praktiknya di negara lain yang menganut demokrasi dengan sistem presidensil, tidak ditemukan adanya presidential threshold dalam praktiknya. Seperti di Amerika Serikat yang merupakan negara percontohan demokrasi tidak menerapkan ambang batas presiden. Pada pilpres Amerika Serikat tahun 2020 misalnya, selain daripada Trump-Pence dari Partai Republik dan Biden-Harris dari Partai Demokrat, terdapat pasangan lain dari partai ketiga (sebutan untuk partai kecil) yaitu Jorgense-Cohen dari Partai Libertarian dan Hawkins-Angela dari Partai Hijau. Selain itu hal yang sama terjadi di Brazil, Peru, Meksiko, Kyrgyzstan, dan lain-lain yang merupakan negara penganut demokrasi.
Praktik presidential threshold tidak terjadi di negara lain yang menganut demokrasi dengan sistem presidensil karena ciri dasar dari sistem tersebut adalah adanya pemisahan antara eksekutif dan legislatif (executive is not depend on legislative). Konsekuensi dari adanya karakteristik tersebut adalah memberlakukan ambang batas minimum seorang paslon memenangkan kontestasi pemilihan bukan untuk membatasi pencalonan Presiden.
ADVERTISEMENT
Demi tercapainya tujuan dari dianutnya demokrasi, sudah sepatutnya presidential threshold dihapuskan sebagai syarat untuk mengikuti kontestasi pemilu. Dengan dihapuskannya syarat tersebut dalam pemilihan umum, Indonesia dapat menjadi negara demokrasi yang komprehensif sehingga dapat mencapai tujuan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan.
Farhan Qudratulloh Ginanjar, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.