Konten dari Pengguna

Wacana Penundaan Pemilu, Bahaya untuk Demokrasi!

Farhan Qudratulloh Ginanjar
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang dan Ketua Umum PW Hima Persis Jawa Tengah. Seorang Pembelajar sepajang hayat yang tertarik terhadap isu hukum, politik, ekonomi, peradaban dan pendidikan.
28 Februari 2022 19:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farhan Qudratulloh Ginanjar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Ilustrasi: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Ilustrasi: Freepik
ADVERTISEMENT
Pemilu Presiden, DPR-RI, dan DPD merupakan pesta demokrasi yang dirayakan setiap lima tahun sekali secara nasional oleh masyarakat Indonesia untuk memilih Presiden dan anggota parlemen. Tidak heran, pesta rakyat tersebut merupakan prosesi sakral yang menentukan masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara selama lima tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
2024 merupakan tahun pesta demokrasi karena pada tahun tersebut pemilihan presiden, DPR-RI dan DPD akan kembali diselenggarakan. Namun, akhir-akhir ini pelaksanaan pemilu yang sejatinya dilaksanakan pada tahun tersebut diragukan setelah munculnya pernyataan para petinggi negara dan partai untuk menunda pemilu selama 1-2 tahun, tercatat sampai saat ini Bahlil Lahaladia (Menteri Investasi), Zulkifli Hasan (Ketua MPR dan PAN), dan Muhaimin Iskandar (Ketua PKB) telah memunculkan wacana tersebut dihadapan publik.
Munculnya wacana tersebut dilatar belakangi dengan berbagai alasan, bagi Bahlil penundaan pemilu merupakan permintaan para pelaku usaha yang menilai bahwa perekonomian nasional sedang masa perbaikan. Sedangkan Zulkifli Hasan memiliki tiga alasan untuk menunda pemilu yaitu pandemi covid yang belum berakhir, perekonomian nasional belum membaik, dan situasi politik dunia yang sedang memanas. Selain itu, Cak Imin menilai alasanya untuk setuju terhadap penundaan pemilu dilatar belakangi adanya survei yang menunjukan bahwa masyarakat setuju untuk menunda pemilu.
ADVERTISEMENT
Melawan Konstitusi
Perlu kita ketahui pengaturan mengenai pemilihan dan masa jabatan presiden secara konkret diatur dalam pasal 7 UUD NRI 1945 yang menyatakan bawah masa jabatan presiden selama lima tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak satu kali dan masa jabatan parlemen diatur dalam pasal 22 E UUD NRI 1945. Dengan alasan apapun, secara tegas konstitusi mengatakan jika sudah lima tahun maka presiden dan anggota parlemen otomatis berhenti dari jabatannya serta apabila sudah dua kali terpilih maka tidak boleh kembali mengikuti kontestasi pemilihan presiden selanjutnya.
Menunda pemilu jelas mustahil, bahkan tindakan tersebut merupakan upaya untuk melawan konstitusi yang merupakan dasar dalam menjalankan negara. Memang dalam teori state of emergency melanggar konstitusi dimungkinkan pada keadaan darurat dan bertujuan untuk menyelamatkan negara dari ancaman serius. Namun Menjadi pertanyaan dibenak kita, ancaman serius apa yang sedang bangsa Indonesia hadapi hingga memunculkan wacana menunda pemilu?
ADVERTISEMENT
Jika Pandemi Covid-19 dijadikan dasar adanya penundaan pemilu, perlu kita cermati kembali secara normatif Keppres Nomor 11 Tahun 2020 mengenai penetapan covid-19 sebagai bencana nasional disandarkan pada UU nomor 4 tahun 1984 dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tidak mengatifkan klausa keadaan bahaya yang terdapat dalam pasal 12 UUD NRI 1945 dalam konsideran mengingat. Sehingga, menjadikan pandemi Covid-19 sebagai alasan penundaan pemilu adalah hal yang sangat keliru. Apalagi pada tahun 2020 telah dilaksanakan pilkada serentak dimasa pandemi Covid-19, sehingga hal tersebut semakin memperlemah alasan pandemi untuk menunda pemilu.
Apalagi ketika ekonomi dan kepuasan masyarakat dijadikan acuan untuk menunda pilpres maka hal tersebut tetap saja tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda pemilu apalagi melawan konstitusi yang menyatakan secara tegas dengan alasan apapun pemilu harus tetap dilaksanakan selama lima tahun sekali dan masa jabatan presiden hanya dua periode. Bahkan menarik pendapat Feri Amsari Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas yang berpendapat bahwa dalam situasi bencana sekalipun pemilu harus tetap dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Perlu mereka renungkan pertanyaan dari Prof. Yusril Ihza Mahendra, jika pemilu ditunda lembaga apa yang berwenang untuk menunda pemilu tersebut? Sebab konsekuensi dari penudaan pemilu masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD dan MPR dengan sendirinya akan habis. Menurutnya, tidak ada satupun Lembaga yang dapat memperpanjang masa jabatan atau menunjuk seseorang menjadi pejabat Presiden seperti MPRS 1967.
Bahaya Terhadap Demokrasi
Apabila wacana tersebut terus dilaksanakan sebagaiamana yang telah disebutkan di atas, dipastikan tindakan tersebut akan melawan konstitusi negara. Dalam konsep negara hukum demokrasi sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam buku yang berjudul Konstitusi Bernegara: Praksis Kenegaraan Bermartabat dan Demokratis, demokrasi diatur oleh aturan hukum sedangkan hukum itu sendiri ditentukan melalui tata cara demokratis berdasarkan konstitusi. Dari pendapat tersebut dapat kita pahami ketika sebuah regulasi ataupun kebijakan melanggar norma konstitusi maka hal tersebut berlawanan dengan prinsip negara hukum demokrasi. Artinya, ketika penundaan pemilu tetap dilaksanakan maka hal tersebut akan menyalahi prinsip negara hukum demokrasi dan membahayakan cita-cita reformasi untuk melaksanakan demokrasi seluas-luasnya.
ADVERTISEMENT
Bisa saja wacana tersebut sesuai dengan kontitusi dengan syarat merubah terlebih dahulu norma dalam konstitusi terkhusus pasal mengenai pemilu dan masa jabatan presiden. Namun, hal tersebut justru memberangus Indonesia sebagai negara demokrasi dan menjadikepada negara otoriter. Menarik dari pendapat Daniel Zieblatt dan Steven Levitsky dalam buku How Democracies Die yang menyatakan bahwa sebuah negara akan menjadi laboratorium otoritarianisme ketika penguasa sesuka hati menulis dan menggambarkan ulang konstitusi. Tentu, apabila ide tersebut dipaksakan dengan mengubah norma konstitusi terlebih dahulu maka patut dipertanyakan Indonesia sebagai negara yang menjungjung tinggi demokrasi.
Dengan alasan apapun, penundaan pemilu tidak boleh dilaksanakan karena tindakan tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap kontitusi dan membahayakan terhadap demokrasi yang dijalankan dalam bernegara. Sebaiknya, para petinggi negara dan partai daripada pusing memikirkan untuk menunda pemilu alangkah lebih baiknya untuk fokus membenahi berbagai sektor yang saat ini mengalami kemunduran dan mempersiapakan putra terbaik bangsa untuk menjadi kontestan dalam pemilu tahun 2024 sehingga cita-cita Indonesia maju dapat diwujudkan.
ADVERTISEMENT

Farhan Qudratulloh Ginanjar, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.