Konten dari Pengguna

Idul Fitri ; Momentum Berbagi Bukan Pura-pura Miskin

23 Juni 2017 3:31 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farid Farhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Idul Fitri ; Momentum Berbagi Bukan Pura-pura Miskin
zoom-in-whitePerbesar
Idul Fitri Momentum Berbagi, Bukan Pura-pura Miskin
ADVERTISEMENT
Jagad maya dihebohkan dengan berbagai konten harapan atas THR (Tunjangan Hari Raya) dengan segenap anekdot yang mengiringinya.
Mulai dari pegawai hingga orang yang sehari-hari bersantai, dari karyawan sampai pengangguran, semua kompak dalam ukhuwah (kebersamaan) atas nama THR.
Fenomena ini sekaligus menjadi bukti, semakin terperosoknya manusia ke dalam lembah materialisme, materi menjadi kiblat sekaligus imam, pedoman bahkan tuntunan. Seraya lupa pada tujuan berhari raya, berfitri meraih suci dalam hakikat jiwa insani.
"Hubbud dunya ra'su kulli khathiatin," ujar Rasulullah SAW pada suatu ketika. Cinta pada dunia, atau tiga kiai yang saya kagumi (Kiai Syakur Yasin, Kiai Mustofa Bisri dan Habib Quraish Shihab) menegaskannya dengan kata materialisme, merupakan biang dari segenap kesalahan dan dosa.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak? kesucian bulan Ramadhan yang menurut tuntunan harus dipungkas dengan zakat fithrah, bukan hanya ritualitas tetapi pesan untuk saling berbagi pada sesama, atas nama keinginan terhadap pemuasan diri harus dikotori dengan spirit meminta THR.
Pada momentum ini, orang kaya sekalipun saat terjerembab dalam keinginan itu, akan berpura-pura miskin. Segenap kekayaan yang dia miliki lenyap secara hakikat, sebab luntur oleh keinginannya sendiri karena mengharap pemberian dari orang lain.
Situasi ini kian rumit, saat kita kembali melakukan penyegaran terhadap makna puasa, yakni bertujuan untuk meraih ketakwaan, mawas diri, terhadap dimana sesungguhnya posisi kita sebagai manusia, apakah sebagai pemberi, ataukah masih tak kunjung naik maqom atau derajat, mandul tujuan hidup, karena selamanya ingin diberi.
ADVERTISEMENT
Sebuah Refleksi
"Laisal 'iid liman labisal jadiid, wa lakinnal 'iid liman tho'atuhu taziid," Rasulullah SAW meluncurkan sebuah premis dalam sebuah pertemuan bersama para sahabat.
Premis tersebut berbunyi, Idul Fitri tidak akan diraih oleh mereka yang berpakaian serba baru, tetapi Idul Fitri akan diraih oleh mereka yang berhasil meng-up grade nilai ketaatan kepada Allah.
Rasulullah SAW--dalam persfektif saya--seolah ingin memberikan penegasan atas nilai manusia dan kemanusiaan. Yakni tidak diukur dari perkara yang bersifat citra baik, di hadapan manusia dengan penampilan parlente, baju lengkap dengan aksesorisnya, tampilan lengkap dengan segala keindahannya.
Akan tetapi dalam konteks kemanusiaan, Rasulullah SAW ingin memberikan tuntutan kepada manusia bahwa nilai mereka akan kembali kepada kesucian jiwa insani, manakala menambah ketaatan dan ketundukan baik secara imanen maupun transenden kepada penciptanya.
ADVERTISEMENT
Up grading ketaatan itu akan berhasil menuju orientasinya yakni peningkatan tauhid personal dengan melemahkan raga lewat puasa, karena implikasinya ruhani menjadi kuat, juga melalui peningkatan tauhid sosial melalui upaya berbagi dengan sesama.
Dalam hal ini, kita sudah dapat menemukan "natijah" atau kesimpulan, atas pertanyaan, mengapa harus puasa sebulan penuh terlebih dahulu baru diakhiri dengan zakat fitrah.
Ini menunjukan sebuah tuntunan bahwa ibadah sosial, merupakan puncak Agama, langkah Filantropi dengan mendayagunakan segenap potensi kemanusiaan demi kemanusiaan merupakan kutub Ilahiyyat yang harus dicapai oleh manusia.
Terlepasnya diri manusia dari jeratan materi personal dan materi sosial merupakan tujuan penciptaan.
Jika sudah disini, sampailah kita pada khusyu', "Alladziina yadzunnuuna annahum mulaaqu rabbahum, wa annahum ilaihi raaji'uun". Yakni mereka yang meyakini pertemuan dengan Tuhannya, dan kepada Tuhannya lah mereka akan kembali.
ADVERTISEMENT
"Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami semua kembali. (*)