Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kaos Kuning Joko Widodo dan Peluang Airlangga Hartarto Menjadi Wakil Presiden
28 April 2018 0:22 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Farid Farhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kaos kuning yang dikenakan oleh Presiden Joko Widodo pada Sabtu (24/3/2018) sempat mengundang perhatian media. Bukan karena warna kaosnya an sich. Tetapi, karena kaos tersebut digunakan pada momen pertemuan dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto.
ADVERTISEMENT
Pertemuan tersebut bukan pertemuan biasa meskipun dikemas dalam kegiatan yang sangat biasa. Jalan santai menjadi pilihan pembahasan kriteria calon wakil presiden Joko Widodo di Pilpres 2019 mendatang.
Keduanya berjalan-jalan di bawah rimbunnya pepohonan di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Seolah ingin menegaskan bahwa pembicaraan politik tidak seharusnya berimplikasi penciptaan atmosfer panas. Melainkan, harus melahirkan kesejukan untuk segenap anak bangsa.
Soal gaya, tidak perlu meragukan cara komunikasi politik yang dilakukan Presiden Joko Widodo. Selalu low context, mudah dipahami akan tetapi bukan berarti gampang ditafsirkan. Sebagai wong Solo, Joko Widodo memiliki gaya komunikasi yang luwes.
Sudah banyak hasil yang diraih dengan gaya komunikasi seperti itu. Diantaranya, Koalisi Merah Putih di parlemen kini rontok tinggal sejarah. Meskipun, masih menyisakan Partai Gerindra dan PKS yang sampai saat ini masih menjalin hubungan mesra, sebuah percumbuan politik menuju 2019.
ADVERTISEMENT
Saat para jurnalis melontarkan pertanyaan bagaimana kriteria cawapres pilihannya, kader PDIP tersebut menjawab santai. Pertanyaan apakah sosok Airlangga Hartarto menjadi opsi terbaik pilihannya pun dia jawab dengan gimmick. Tidak ada jawaban iya atau tidak.
“Nanti tanya saja ke Pak Airlangga. Ini gimana?, cocok apa tidak?,” kata Jokowi sambil mendekatkan posisi berdirinya dengan Airlangga.
Lalu bagaimana menakar peluang Airlangga Hartarto sebagai pendamping Jokowi di Pilpres 2019?. Jawabannya sangat terbuka. Airlangga dapat menjadi opsi kuat dengan berbagai alasan.
Putera Hartarto Sastrosoenarto itu dikenal dekat dengan Luhut Binsar Pandjaitan. Menurut sebagian kalangan, Luhut adalah ‘The Real Wapres’ bagi Jokowi. Sebutan ini lahir karena Luhut kerap tampil membela Jokowi dalam berbagai isu. Meskipun isu tersebut tidak termasuk ke dalam bidangnya di Kementerian Koordinator Kemaritiman.
ADVERTISEMENT
Fakta menunjukan bahwa Luhut adalah orang yang pertama kali memboyong Airlangga untuk marak menemui Jokowi saat isu Munaslub Golkar bergulir. Kabarnya, Luhut pula yang mengusulkan Airlangga agar mengisi posisi di Kabinet Kerja usai kalah dalam Munaslub Bali yang dimenangkan Setya Novanto.
Secara komunikasi elit tingkat tinggi, posisi Airlangga hari ini sangat memungkinkan untuk menjadi cawapres pendamping Jokowi.
Akan tetapi, menjadi calon wakil presiden bukan melulu tentang kepiawaian menjalin komunikasi elit. Elektabilitas, kemapanan grassroot, infrastruktur politik dan logistik merupakan variabel yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Airlangga relatif belum teruji dalam variabel-variabel diatas. Kemenangan dalam Munaslub yang mengantarkan dirinya menggantikan Setya Novanto bukanlah sesuatu yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Di Munaslub Bali, saat Airlangga belum memegang jabatan menteri, dia kalah telak. Saat memegang jabatan, dia menang aklamasi.
Tentu saja hal tersebut bukan merupakan prestasi politik besar yang patut mengundang decak kagum. Ditambah, mulusnya jalan Airlangga menuju posisi Ketua Umum Partai Golkar sebenarnya patut mengundang tanya. Sebab, faksi di tubuh partai berlambang pohon beringin tersebut tidaklah sedikit.
Artinya, sosok Airlangga diterima oleh seluruh faksi di tubuh Golkar begitu saja. Saya teringat ucapan seorang begawan kiri yang mengatakan “Orang yang diterima oleh seluruh faksi dalam organisasi bukanlah orang kuat”.
Maka, kehadiran sosok Airlangga sebagai Ketua Umum Golkar, dianggap bukan merupakan gangguan hatta oleh satu faksi sekalipun.
Kemudian terkait grassroot. Airlangga sepertinya harus menaikan terlebih dahulu magnitude elektoral-nya di internal kader Partai Golkar. Rasa terima kasih dia harus benar-benar ditunjukan secara baik. Sebab, aklamasi 34 DPD provinsi di Munaslub lalu bukan jumlah main-main.
ADVERTISEMENT
Pilkada serentak 2018 seharusnya menjadi momen bagi Airlangga melakukan safari politik. Kesibukan sebagai Menteri Perindustrian memang menjadi resistensi baginya untuk melakukan road show. Akan tetapi, hemat saya, Airlangga harus pandai memainkan momentum.
Pilkada di Pulau Jawa terutama Jawa Barat patut menjadi salah satu pertimbangan. Apalagi, Airlangga ‘berhutang’ banyak kepada kadernya di provinsi dengan hak pilih paling besar di Indonesia tersebut. Sejarah nampaknya harus menjadi refleksi baginya, selama mendorong Munaslub, kader Golkar Jawa Barat termasuk ke dalam golongan paling berdarah-darah.
Sejarah panjang politik Indonesia di era pemilihan langsung juga harus dijadikan cermin. Partai yang memenangi Pileg di Jawa Barat, pastilah mampu memenangi Pilpres. Artinya, ini bukan sekedar gotak gatik gatuk. Akan tetapi, ikhtiar napak tilas mutlak harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Tidak ada kata terlambat, meskipun Airlangga kalah cepat oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Dia bersafari politik mempromosikan berbagai agenda dan isu partai di Jawa Barat.
Secara pemberitaan dan sosial media, eksposure isu Pilgub Jawa Barat bisa dijadikan target antara. SBY dan puteranya, Mayor (Purn) Agus Harimurti Yudhoyono telah sukses melakukan itu. Karena itu, melalui berbagai isu kekaryaan Partai Golkar, seharusnya Airlangga bisa lebih sukses.
Semoga berhasil Ketum!!!. (*)