Konten dari Pengguna

Partai Politik Bukan Angkot

8 April 2017 2:31 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farid Farhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Partai Politik Bukan Angkot
zoom-in-whitePerbesar
Langkah para oportunis dalam setiap perhelatan politik memang selalu menarik untuk disimak. Dalam fenomena tersebut, para individu yang melek politik paling tidak disajikan dagelan segar untuk pelepas lelah aktifitas politiknya sehari-hari. Sebab, tingkah laku sang oportunis itu, alih-alih menampilkan diri sebagai negarawan, mereka justru lebih terlihat seperti penumpang kendaraan angkot atau angkutan kota.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak, angkot dapat kita kendarai sesuka hati sesuai dengan jurusan yang diinginkan dengan cukup membayar sewanya yang tidak seberapa itu. Jauh maupun dekat, tarifnya tetap sama. Di Purwakarta, tempat saya tinggal, tarif angkot khusus untuk dewasa ditetapkan sebesar Rp4 ribu, sementara untuk kalangan pelajar dan anak-anak ditetapkan sebesar Rp2 ribu. Kapan-kapan, akan saya ceritakan rute angkotnya dari mulai trayek bernomor 01 sampai 08.
Jarak antara terminal ke terminal atau setiap ruas jalan yang terlewati itulah yang menjadi tujuan bagi para pemakai jasa angkot. Kapan pun kita dapat meminta sang sopir untuk menghentikan kendaraan yang ia gunakan sehari-hari untuk mencari nafkah itu, cukup dengan frase “Kiri Kang”. Angkot pun akan berhenti dan kita harus menyiapkan jumlah uang yang sudah ditetapkan sebagai tarif kepada sopir tersebut.
ADVERTISEMENT
Kira-kira demikianlah “laku lampah” atau kelakuan para oportunis. Perlakuan mereka kepada partai politik sangat mirip dengan perlakuan penumpang terhadap angkot yang biasa mereka tumpangi. Saat satu rute sesuai tujuan sudah tercapai, ia bisa berganti angkot kapan pun agar sampai pada tujuan selanjutnya dengan tarif murah yang sudah ditetapkan.
Sejatinya, lain angkot lain pula partai politik, disamping secara fungsi berbeda, secara hakikat pun juga berbeda. Istilah terakhir ini merupakan sebuah institusi yang mendapat jaminan negara dalam rangka melakukan rekrutmen kepemimpinan politik. Di dalamnya berisi ideologi, sebagai negara bangsa, Indonesia cukup kaya dengan partai politik, mulai dari partai yang berbasis nasionalis hingga agama, mulai dari partai yang bergaya tradisional sampai partai yang bergaya modern.
ADVERTISEMENT
Anehnya, para oportunis yang non kader partai, seringkali memperlakukan partai dengan tidak sebagaimana mestinya. Alih-alih digunakan sebagai instrumen untuk pendalaman ideologi, partai malah ia perlakukan seperti angkutan kota. Selesai dengan tujuan menjadi walikota misalnya dengan kendaraan Partai A, seenaknya berpindah ke partai lain untuk tujuan selanjutnya.
Soal sopir dan penumpang dalam satu angkot itu kini tersinggung, tidak menjadi soal, toh uang sewa angkot sudah diberikan sesuai dengan tarif yang sebelumnya ditetapkan.
Kelakuan yang sama juga tak jarang terlihat dari para oportunis kader partai. Alih-alih memuliakan partai yang menjadi rumahnya, mereka juga malah mendegradasi nilai kepartaian menjadi serupa angkot. Mau disewa semaunya, asal dapat kejar setoran.
ADVERTISEMENT
Disinilah terletak urgensi internalisasi ideologi partai secara kaffah, agar posisi partai dapat berada di tempat yang seharusnya. Tidak diperlakukan semena-mena meski oleh kader partainya sendiri. Kader partai sudah tidak boleh lagi bersikap pragmatis, sebab perjuangan politik hari ini harus sudah bergeser dari perjuangan transaksional menuju perjuangan ideologi kepartaian.
Langkah ini penting agar, partai politik tidak terus menerus dicurigai oleh konstituen bahkan oleh para kader idealisnya sendiri sebagai tempat jualan sapi bahkan jualan kucing dalam karung. Pola rekrutmen kepemimpinan secara terbuka harus sudah terlaksana, khususnya mendorong kader dari internal partai sendiri. Mari membangun kepercayaan diri, agar mendapat kepercayaan masyarakat.