Konten dari Pengguna

Kedaulatan Rakyat: Kekuatan yang Tak Pernah Diberikan

Farid Hisyam Mahdi
Mahasiswa Sarjana Hukum Tata Negara 2024 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4 Mei 2025 15:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farid Hisyam Mahdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rakyat Diminta Bicara, Tapi Keputusan Tetap Diambil oleh Mereka yang Berkuasa
ADVERTISEMENT
Ilustrasi ini menggambarkan sekelompok orang yang berkumpul dalam aksi. Gambar ini mencerminkan semangat partisipasi rakyat dalam menyuarakan aspirasi mereka untuk kedaulatan rakyat. Sumber:Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ini menggambarkan sekelompok orang yang berkumpul dalam aksi. Gambar ini mencerminkan semangat partisipasi rakyat dalam menyuarakan aspirasi mereka untuk kedaulatan rakyat. Sumber:Unsplash
Konstitusi Indonesia secara eksplisit menyatakan bahwa kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menjadi pijakan utama bahwa dalam negara demokratis, kekuasaan tertinggi berada pada rakyat. Namun, realitas politik yang berlangsung hingga kini menunjukkan ironi yang sulit diabaikan. Kedaulatan itu hanya disebut, bukan dijalankan. Rakyat hanya diberi ruang bicara ketika keadaan mendesak atau menjelang momentum politik, bukan sebagai pemilik sah keputusan.
Rakyat hari ini seperti diajak duduk di ruang rapat namun tidak diberikan hak suara. Mereka sekadar menjadi simbol partisipatif, bukan elemen penggerak keputusan. Dalam banyak forum musyawarah, kebijakan telah disiapkan sebelum diskusi dimulai. Prosedur dilengkapi, tapi esensinya kosong. Demokrasi kita, alih-alih substansial, kini menjelma menjadi demokrasi prosedural: legal, sah, namun hampa.
ADVERTISEMENT
Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract menulis, “The people, being subject to the laws, ought to be their author.” Rakyat, kata Rousseau, jika tunduk pada hukum, maka merekalah yang seharusnya menjadi pembuat hukum itu. Tapi kini, rakyat hanya diminta patuh terhadap keputusan yang tidak mereka susun, terhadap undang-undang yang tak mereka wakili.
Amartya Sen, seorang ekonom dan filsuf peraih Nobel, dalam Development as Freedom menegaskan bahwa demokrasi bukan sekadar tentang mayoritas yang menang, tetapi bagaimana suara kelompok rentan dilindungi dan didengarkan. Di Indonesia, suara kelompok marjinal justru kerap dipakai sebagai alat legitimasi—disebut-sebut, tapi tak pernah benar-benar digubris.
Berbagai peraturan yang berdampak langsung terhadap kehidupan publik kerap digodok di ruang tertutup. Misalnya, kebijakan pertanahan yang seringkali merugikan masyarakat adat, atau penentuan proyek pembangunan strategis yang menggusur permukiman warga. Di sini kita melihat bahwa keterlibatan rakyat tak lebih dari catatan administratif.
ADVERTISEMENT
Abraham Lincoln pernah berkata dalam pidatonya yang legendaris, “Government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earth.” Namun hari ini, yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintahan seolah menjadi milik segelintir elite, dibuat oleh mereka, dan hanya menguntungkan mereka.
Kekecewaan rakyat bukan sekadar soal hasil kebijakan yang mengecewakan, tapi karena prosesnya tak pernah benar-benar terbuka. Transparansi dan akuntabilitas hanya menjadi jargon politik. Padahal, kepercayaan publik dibangun dari rasa memiliki dan rasa dilibatkan.
Ketika masyarakat tidak lagi percaya bahwa suara mereka berdampak, ketika partisipasi hanya dijadikan syarat formil dalam penyusunan kebijakan, maka demokrasi kita telah kehilangan makna. Kedaulatan rakyat menjadi mitos yang digaungkan di hari besar kenegaraan, namun dikaburkan dalam kerja sehari-hari pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Perlu ditegaskan kembali: rakyat tidak menuntut lebih. Mereka tidak menuntut kekuasaan absolut. Yang diminta hanyalah agar suara mereka diakui dan dihargai. Agar keputusan yang memengaruhi hidup mereka tidak dibuat tanpa persetujuan mereka.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka yang akan punah bukan hanya kepercayaan, tetapi juga harapan. Dan tanpa harapan, tidak ada lagi yang bisa disebut demokrasi.***
Farid Hisyam Mahdi, Mahasiswa Sarjana Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta