Konten dari Pengguna

Pro dan Kontra Hukuman Mati di Indonesia

Farid Putra Akira
Mahasiswa Program Sarjana Universitas Airlangga.
17 Juni 2023 14:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farid Putra Akira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Palu Hakim. Foto : Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Palu Hakim. Foto : Shutterstock
ADVERTISEMENT
Bunyi palu Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kembali menghalangi upaya Ferdy Sambo untuk lolos dari jeratan hukuman mati. Kali ini, Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan upaya banding dari Ferdy Sambo dengan putusan "Menguatkan putusan PN Jaksel tanggal 13 Februari 2023". kata Hakim Singgih Budi. Divonisnya hukuman matinya Ferdy Sambo ini menambah rentetan daftar panjang terpidana vonis hukuman mati di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari data Kementrian Hukum dan HAM, terdapat 404 orang menunggu eksekusi hukuman mati. Perdebatan klasik mengenai Hukuman mati kembali muncul ke permukaan publik. Banyak masyarakat kala itu riuh gembira ketika Ferdy Sambo divonis hukuman mati, tetapi tidak sedikit juga masyarakat yang kontra dan menentang hukuman mati ini sebagai hukuman biadab yang bertentangan dengan konstitusi negara. Dari perdebatan hukuman mati tersebut timbul pertanyaan klasik mengenai apakah hukuman mati memang layak dipertahankan atau lebih baik dihapuskan ?.

Sejarah Hukuman Mati di Indonesia

Sebelum berbicara lebih jauh, alangkah baiknya kita melihat kembali bagaimana hukuman mati ini awalnya diterapkan di Indonesia. Dikutip dari kumparan, keberadaan hukuman mati di Indonesia sendiri dapat kita telusuri saat Indonesia (Hindia-Belanda kala itu) masih dijajah oleh Belanda.
ADVERTISEMENT
Pada era Daendels tahun 1808, hukuman mati sendiri diatur sebagai hukuman bagi siapa yang berani mencoba untuk menggulingkan Pemerintahan Belanda. Seiring berjalannya waktu, hukuman mati dihapus tahun 1870 baik dinegaranya maupun di Hindia-Belanda kala itu. Namun Belanda pada akhirnya menguatkan kembali hukuman mati dengan memberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiaers) pada 1 Januari 1873, serta Wetboek van Strafrecht voor Indonesie (WvSI) pada 1 Januari 1918. Kedua kitab hukum pidana tersebut pada nantinya diterapkan menjadi KUHP Indonesia melalui UU Nomor 1 tahun 1946. KUHP tersebut nantinya diganti dengan KUHP baru yang telah disahkan Presiden Joko Widodo dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 yang berlaku tahun 2026 nanti.
Di dalam KUHP, hukuman mati ditetapkan untuk perbuatan pidana yang diantaranya, perbuatan makar terhadap presiden dan wakil presiden (pasal 104), membujuk negara asing untuk berperang (pasal 111 ayat 2), membantu musuh waktu perang (pasal 124 ayat 3), pembunuhan berencana (pasal 340), pencurian dengan kekerasan dan mengakibatkan mati (pasal 365 ayat 4), pemerasan dengan kekerasan dan mengakibatkan mati (pasal 368 ayat 2), pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan kematian (pasal 444).
ADVERTISEMENT
Selain yang tertera dalam KUHP, terdapat juga berbagai peraturan perundang-undangan yang mencantumkan vonis hukuman mati sebagai sanksi pidananya, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang .Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Perubahan UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 36, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pro dan Kontra Hukuman Mati di Indonesia

Seperti yang telah dibahas di atas, divonisnya Ferdy Sambo kembali memunculkan perdebatan klasik mengenai pro dan kontranya hukuman mati mencuat ke permukaan publik. Perdebatan mengenai hukuman mati ini sejatinya sudah muncul sejak lama.
ADVERTISEMENT
(Alm) Prof J.E Sahetapy, Seorang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga menyatakan “Orang-orang mulai menyadari akan keburukan daripada pidana mati itu. Gerakan menentang pidana mati ini menjalar ke berbagai negara. Pada tahun 1847 di negara bagian Michigan pidana mati dihapuskan. Kemudian di Venezuela pada tahun 1849 dan di Netherland pada tahun 1870". Kira-kira selama itulah mulainya muncul gerakan yang mengawali perdebatan publik mengenai pro dan kontra pada hukuman mati.
Ilustrasi Hukuman Mati. Foto: Shutterstock
Pada perdebatan ini, pihak pro hukuman mati memiliki beberapa pandangan mengenai mengapa hukuman mati diperlukan, Seorang politisi Belanda, De Savornin Lohman. Sebagaimana dikutip oleh Rasyid Khairani dalam buku”Suatu Tinjauan Masalah Pidana Mati dalam Negara Pancasila” menyatakan hukum pidana itu pada hakikatnya tidak lain dari pada suatu hukum membalas dendam. Selain itu, Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia” meyatakan tujuan dari divonisnya hukuman mati terhadap terdakwa adalah sebagai peringatan kepada khalayak ramai agar mereka takut untuk melakukan perbuatan yang menimbulkan mereka untuk dihukum mati. Atas dasar ini zaman dahulu hukuman mati dilaksanakan di muka umum.
ADVERTISEMENT
D. Soedjo dalam bukunya “Hukum dan Pembangunan Hukum Pidana“ merangkum beberapa argumentasi yang membenarkan pidana mati diantaranya sebagai berikut :
Namun menurut sebagian masyarakat yang menentang hukuman Ini merasa bahwa implementasi dari nilai hukuman mati tidak sejalan dengan apa yang termuat dalam Konstitusi UUD 1945 pasal 28 ayat 1, yang berbunyi, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".
ADVERTISEMENT
Selain tidak sejalannya dengan konstitusi, beberapa ahli berpendapat bahwa dengan diadakannya hukuman mati maka kita tidak memberi ruang untuk pelaku kejahatan agar menyesali perbuatannya dan memberikan ruang perubahan agar pelaku berkelakuan baik. Sebaliknya justru pidana mati memberikan beban penderitaan berupa psikologis dan sosial kepada terpidana dan keluarga terutama menjelang eksekusi mati. Lebih dari itu, hukuman mati bersifat irreversible. Jika dikemudian hari ditemukan adanya kesalahan dalam putusan hukuman mati pada terpidana maka hal itu tidak bisa dikoreksi. Jadi, menurut anda apakah hukuman mati layak dipertahankan atau dihapuskan ?.