Konten dari Pengguna

Healing di Lasem: Menerjang Banjir demi Sambangi Tiongkok Kecil

Farida Yulistiana
Master of None
13 Februari 2023 17:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farida Yulistiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kampoeng Heritage, Desa Karangturi,  Kecamatan Lasem. Foto: Farida Yulistiana
zoom-in-whitePerbesar
Kampoeng Heritage, Desa Karangturi, Kecamatan Lasem. Foto: Farida Yulistiana
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hal itu karena kebanyakan orang saat ini mendefinisikan healing sama dengan jalan-jalan. Padahal menurut dia, pulih atau sembuh tentu berbeda dengan merasa lebih baik. Pulih dari luka batin misalnya, tidak bisa langsung tuntas hanya dengan traveling. Nah, perasaan bahagia setelah jalan-jalan itu biasanya lebih tepat disebut dengan merasa lebih baik, bukan benar-benar healing.
ADVERTISEMENT
Saya teringat dengan salah satu quotes yang disampaikan Reza Gunawan saat dirinya menjadi bintang tamu di YouTube Channel Yura Yunita. Buat saya, traveling tetap bisa menjadi salah satu terapi untuk sejenak melakukan refleksi dan mulai merancang resolusi baru. Ini adalah rangkaian panjang menuju healing sesungguhnya. Bepergiannya tak sendirian, semenjak menikah saya justru lebih senang traveling ditemani suami.
Berbeda ketika masih single dulu, saya kerap melakukan perjalanan lintas pulau seorang diri. Solo traveling yang saya lakukan bukan sekadar untuk liburan tetapi juga untuk menjadi relawan pengajar di sekolah dasar.
Kegemaran itu berlanjut setelah saya memiliki pasangan. Daftar tempat yang ingin sekali dikunjungi pun bertambah panjang. Ada satu tempat yang sudah bertahun-tahun ingin saya sambangi setelah membaca buku berjudul Rumah di Tanah Rempah.
ADVERTISEMENT
Lokasinya berada di sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang. Saya berencana melewati pergantian tahun di Lasem yang dijuluki Tiongkok Kecil. Julukan ini disematkan sebab Lasem dipercaya sebagai wilayah awal pendaratan orang-orang Tiongkok di tanah Jawa. Lasem memukau saya sejak awal karena memiliki warisan historis yang tak bisa dijumpai di tempat-tempat lain.
Butuh waktu sekitar 3,5 jam dari Semarang untuk tiba di sana. Karena waktu dan jarak tempuh yang panjang, kami sengaja berangkat pukul 08.00 WIB dengan mobil pribadi.
Pagi itu, 31 Desember 2022, Kota Semarang diguyur hujan cukup deras. Bahkan di beberapa titik yang kami lewati sudah tergenang banjir. Timbul kemacetan dimana-mana. Wiper mobil tak berhenti bekerja hingga kami tiba di Pati. Kurang dari satu jam tiba di tujuan, kami baru bisa melihat Matahari.
ADVERTISEMENT
Meski cuaca sedang tidak bersahabat karena hujan lebat selama perjalanan, saya tetap menikmati perjalanan. Tak sabar rasanya menginjakkan kaki di Tiongkok Kecil dan mencoret satu-persatu itinerary.
Kami tiba di Lasem sekitar pukul 14.00 WIB. Sebelum menuju hotel, kami berhenti di salah satu ATM bank untuk menarik tunai. Saat menunggu suami yang sedang antre, saya memotret beberapa toko dengan bangunan unik. Alasan kenapa saya begitu berhasrat mengunjungi Lasem, salah satunya karena keberadaan akulturasi gaya arsitektur rumah Jawa dan Tionghoa yang tampak pada hunian-hunian di sana.
Salah satu toko bangunan di Lasem dengan gaya arsitektur unik. Foto: Farida Yulistiana
Beruntung, rencana jalan-jalan kami tidak harus tertunda karena hujan sudah reda. Setelah menaruh barang-barang di hotel, kami lekas menuju Warung Nyah Lasem untuk mengisi perut. Saya memilih menu makan siang Mangut Ikan Pe dan segelas Jus Sirsak.
ADVERTISEMENT
Sembari menanti pesanan siap disantap, kolase foto hitam putih di dinding warung, menarik perhatian saya. Kebanyakan adalah foto-foto pernikahan. Menurut pemilik warung, foto tersebut bukanlah milik kerabatnya, melainkan foto-foto yang ia peroleh dari toko loak di Kota Semarang yang kemudian dijadikan pajangan.
Pemilik warung bilang, foto-foto tersebut sangat bersejarah. Sebab, orang-orang yang ada di dalamnya ternyata adalah keluarga-keluarga yang pernah tinggal dan hidup di Lasem di masa lampau.
Kolase foto keluarga Lasem di masa lampu yang diperoleh di toko loak di Kota Semarang. Foto: Farida Yulistiana
Warung Nyah Lasem menempati selasar rumah kayu yang juga merupakan sebuah bangunan museum batik. Sayangnya, museum sepi pengunjung. Pintunya tertutup rapat meski tak dikunci. Penerang baru dinyalakan setelah saya dan suami mendapat izin untuk melihat-lihat koleksi museum tanpa dipungut biaya.
ADVERTISEMENT
Tak banyak yang bisa diceritakan, sebab museum ini lebih mirip rumah kosong yang sudah lama ditinggalkan penghuninya ketimbang objek wisata. Hanya ada beberapa alat membatik yang sudah berkarat dan dihinggapi sarang laba-laba.
Dari cerita pemilik warung, museum itu memang belum resmi dibuka. Koleksinya pun sebagian hanya berbentuk salinan gambar dan artikel yang ditempel menyerupai kliping, sementara dokumen asli masih tersimpan rapi dan belum dipajang.
Meninggalkan Warung Nyah Lasem, kami menuju Masjid Jami' Lasem yang sangat ikonik. Di halaman depan masjid, terdapat batu prasasti berisikan lirik lagu yang ditulis dalam huruf latin. Lagu religi yang cukup populer dan familiar di telinga.
Saya agak terkejut ketika mendapati fakta bahwa lagu "Tombo Ati" yang dipopulerkan Opick, ternyata diciptakan oleh Sunan Bonang. Saya baru mengetahuinya setelah berkunjung ke Lasem.
ADVERTISEMENT

Traveling dengan Budget Murah Meriah

Pelancong yang memilih Lasem untuk healing, cukup diuntungkan karena destinasi yang berdekatan satu sama lain. Jadi tidak ada lagi istilah berat di ongkos. Cukup memarkir kendaraan di satu tempat, kita bisa berjalan kaki untuk pindah dari satu destinasi ke destinasi lainnya.
Dari Masjid Jami'Lasem misalnya, saya hanya perlu berjalan kaki 5 menit untuk sampai ke Rumah Oei yang juga wajib dikunjungi saat berada di Lasem. Rumah yang dahulunya dihuni oleh Oei Tiong Djioe bersama istrinya itu telah berdiri sejak 1818.
Sejak 18 Agustus 2018, bangunan itu kemudian berubah fungsi menjadi pusat edukasi, seni, budaya dan kuliner atau dikenal juga sebagai Peranakan Heritage. Pengunjung dikenakan biaya Rp10 ribu untuk bertamu ke Rumah Oei.
ADVERTISEMENT
Sedikit cerita tentang Oei Tiong Djioe, nama tersebut cukup dikenal di kalangan tokoh penerbit. Tak lain karena, Pak Oei, begitu ia kerap disapa, telah menggeluti usaha buku selama hampir 30 tahun dan telah banyak berkontribusi di dunia perbukuan di Lasem.
Penginapan yang ada di dalam kompleks Rumah Oei. Foto: Farida Yulistiana
Sebelum petang, masih dengan berjalan kaki, kami menuju Oemah Batik Tiga Negeri. Di tempat ini kita bisa menemukan karya batik tulis khas Lasem. Lasem sendiri memang salah satu daerah yang terkenal dengan produksi batik.
Batik Lasem merupakan batik pesisir yang populer di Jawa Tengah. Ciri khasnya cerah dan penuh warna. Batik Lasem juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah kedatangan Laksmana Cheng Ho asal Negeri Tiongkok di tanah Jawa.
ADVERTISEMENT
Hari pertama menghabiskan waktu di Lasem tidak komplit jika belum menikmati kuliner khasnya. Kali ini, untuk menuju ke warung yang menjajakan Lontong Tuyuhan, kami harus berkendara karena jaraknya cukup jauh, sekitar 7,5 kilometer dari Masjid Jami'Lasem.
Sekilas, tidak ada yang berbeda antara Lontong Tuyuhan dengan hidangan lontong opor yang kerap kita jumpai di beberapa tempat. Tuyuhan sendiri merujuk pada nama sebuah desa di Rembang. Menurut Jeng Rahayu, salah satu penjual Lontong Tuyuhan yang kami sambangi, seluruh warga yang tinggal di desa tersebut menjajakan lontong opor.
Perlu diketahui, penjual tidak menyajikan sambal terpisah untuk disantap bersama Lontong Tuyuhan seperti lontong opor pada umumnya. Sebagai penggemar makanan pedas, saya tentu sedikit kecewa. Tapi setelah mencicipinya, rasa pedas ternyata sudah menyeruak dari kuahnya yang kental dan creamy.
ADVERTISEMENT
Hidangan ini berisi lontong yang dipotong beberapa bagian, daging ayam, kuah yang melimpah dan taburan bawang goreng. Lontong Tuyuhan berhasil membuat saya jatuh cinta karena kaya akan rempah. Harganya pun murah meriah, cuma Rp15 ribu per porsi.
Menurut Jeng Rahayu, ia jarang menjumpai Lontong Tuyuhan dijajakan di luar Lasem, kalau pun ada pasti tak laku. Mungkin itu juga alasan pelancong harus megunjungi Lasem untuk menikmati Lontong Tuyuhan.
Lontong Tuyuhan, hidangan khas Lasem. Foto: Farida Yulistiana
Setelah makan malam, kami langsung pulang ke hotel. Kami tak berencana untuk merayakan tahun baru di alun-alun atau tempat lainnya. Lagipula, perjalanan Semarang-Lasem yang ditempuh hampir 6 jam karena harus menerjang banjir membuat kami letih dan ingin segera rehat. Pergantian tahun pun hanya dilewati dengan menonton acara kuis kesukaan kami di televisi sambil rebahan.
ADVERTISEMENT
Di awal tahun 2022, saya mengalami kehilangan yang cukup pedih. Momen-momen tersebut mengajarkan saya tentang seni melepaskan. Meski mengharuskan saya merasakan ketidaknyamanan yang cukup intens saat itu, alhamdulillah Allah hadirkan pelipur lara tak lama kemudian.
Saya bersyukur healing dengan traveling ke Lasem bersama pendamping bisa menjadi memori untuk merayakan kuasa Tuhan. Membuat saya semakin percaya bahwa tidak mungkin Allah membiarkan seseorang pergi dari kehidupan kita melainkan Allah akan datangkan pengganti yang jauh lebih baik.