Mural dan Kriminalisasi Ekspresi Sosial

Farida Azzahra
Tenaga Ahli DPR RI
Konten dari Pengguna
27 Agustus 2021 10:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farida Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret mural yang diduga mirip dengan Presiden Joko Widodo di kawasan Tanggerang, Banten. Sumber ilustrasi: Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Potret mural yang diduga mirip dengan Presiden Joko Widodo di kawasan Tanggerang, Banten. Sumber ilustrasi: Kumparan.com
ADVERTISEMENT
Tidak hanya mobilisasi masyarakat yang saat ini dibatasi oleh pemerintah, rupanya kritik dan ekspresi sosial masyarakat kini juga mengalami pembatasan, bahkan cenderung mengalami kriminalisasi. Seperti yang terjadi baru-baru ini, di mana terdapat isu upaya penangkapan muralis asal Tangerang setelah melukiskan wajah yang diduga mirip dengan Presiden Jokowi dengan disertai tulisan "404: Not Found" pada sebuah dinding di daerah Batuceper, Tangerang, Banten. Mural tersebut kemudian diketahui telah dihapus oleh petugas. Adapun penghapusan mural di daerah Tangerang tersebut bukan yang pertama kali dilakukan, sebelumnya kejadian serupa juga terjadi di daerah Tigakara, Tangerang, Banten di mana Mural bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” telah dihapus oleh aparat setempat.
ADVERTISEMENT
Penghapusan mural di daerah Batuceper tersebut kemudian berujung pada gelombang razia mural di beberapa daerah lainnya, seperti: Mural bertuliskan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, hingga Mural bertuliskan “Wabah Sebenarnya adalah Kelaparan” di daerah Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang kemudian dihapus oleh Satpol PP karena dianggap meresahkan.
Tak sedikit alibi ‘”meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” selalu dijadikan dalih untuk menghapus mural. Adapun terhadap para muralis, polisi tengah melakukan upaya pencarian dan penangkapan, diketahui Polres Kota Tangerang sempat memeriksa dua orang saksi terkait mural "Jokowi 202: Not Found” di Batuceper. Meski akhirnya pencarian tersebut kini dihentikan, namun mural tersebut masih dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap Presiden sebagai lambang negara.
ADVERTISEMENT
Degradasi Demokrasi
Kebebasan berekspresi masyarakat seringkali dibenturkan dengan anggapan penghinaan terhadap Presiden yang berujung pada kriminalisasi. Tak sedikit ekspresi dan aspirasi masyarakat yang dituangkan dalam bentuk seni berujung pada upaya bui. Padahal, kebebasan berekspresi masyarakat telah dijamin oleh konstitusi, tepatnya pada dalam Pasal 28 dan Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang pada intinya mengatur kebebasan bagi setiap warga negara untuk mengeluarkan pendapatnya baik secara lisan maupun tulisan.
Kritik terhadap pemerintah pada negara demokrasi merupakan suatu hal yang lumrah dan patut dipahami sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi. Oleh sebab itu, mural tidak sepatutnya dipandang sebagai sinyal penghinaan, melainkan sebuah ekspresi sosial masyarakat pada negara demokrasi. Terlebih, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia, sehingga jalannya pemerintahan yang dipimpin oleh presiden tentu tidak dapat terlepas dari adanya kritik dan protes masyarakat.
ADVERTISEMENT
Penyampaian kritik masyarakat melalui mural sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah bahwasanya telah lama dilakukan. Di Indonesia sendiri, keberadaan mural telah ditemukan sejak zaman revolusi. Kala itu, mural dijadikan wadah untuk menyerukan kemerdekaan. Tak hanya mural, penyampaian kritik melalui karya seni lainnya seperti lagu, puisi, hingga meme seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh BEM UI bahwasanya merupakan hal yang lazim di negara demokrasi. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Plato bahwa seni merupakan cerminan dari realita sosial, dan hal ini patut dipandang sebagai aspirasi masyarakat yang harus diwadahi oleh pemerintah.
Penghapusan mural dan pemburuan muralis merupakan salah satu dari banyaknya bentuk degradasi demokrasi yang terjadi di Indonesia. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Marcus Mietzner, terdapat tiga pemicu stagnasi demokrasi yang dapat menyebabkan degradasi demokrasi, salah satunya adalah kurangnya perlindungan terhadap hak kaum minoritas. Dalam hal ini, tidak di akomodirnya hak atas kebebasan berekspresi masyarakat tentu menjadi pemicu kemerosotan demokrasi di Indonesia. Tak heran jika kemudian Indeks Demokrasi Indonesia pada 2020 lalu menempati skor terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Adapun berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), variabel kebebasan berpendapat di Indonesia menurun dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, di mana pada tahun 2020 hanya mendapat skor 56,06. Jika dibiarkan, hal ini tentu akan melahirkan pemerintahan yang otoriter dan penyalahgunaan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Bukan Tindak Pidana
Memandang mural sebagai bagian dari tindak pidana bahwasanya merupakan suatu kejanggalan dalam negara demokrasi. Dalam hal ini, pasal penghinaan Presiden tidak dapat dijadikan dasar untuk membenarkan upaya kriminalisasi. Terlebih, pasal penghinaan terhadap Presiden di Indonesia sendiri sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Jika kemudian mural yang bermuatan kritik terhadap presiden dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap lambang negara, maka hal ini dapat dipandang sebagai bentuk penegakan hukum yang keliru. Sebab, kedudukan presiden dalam sistem presidensial bukanlah sebagai lambang atau simbol negara, melainkan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang tak dapat dilepaskan dari kritik masyarakat. Adapun pengaturan mengenai lambang negara sendiri sudah tercantum jelas dalam Pasal 36A UUD 1945, di mana yang merupakan lambang negara hanyalah Garuda Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, jika mural dianggap sebagai bentuk pelanggaran ketertiban umum, mengapa justru hanya mural yang bermuatan kritik yang dihapus oleh aparat? Bukankah sebelumnya telah banyak mural-mural yang dilukis tanpa izin? Dalam hal ini, mural yang bermuatan kritik justru lebih mendapat dukungan dari masyarakat karena dianggap mewakili ekspresi dan aspirasi sosial masyarakat, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atau merasa terganggu dengan adanya mural tersebut.
Pemerintah sepatutnya lebih bersikap terbuka dalam merespons kritik masyarakat baik melalui mural ataupun karya seni lainnya. Aspirasi dan ekspresi sosial masyarakat hendaknya dapat dipandang sebagai sarana introspeksi pemerintah. Alih-alih melakukan upaya kriminalisasi, pemerintah seharusnya dapat membuka ruang dialog bagi masyarakat untuk menyampaikan kritik dan aspirasi. Lagipula, jika lukisan presiden pada mural dianggap sebagai bentuk penghinaan presiden sebagai lambang negara, bukankah justru hal tersebut sama saja melecehkan presiden karena menyamakan presiden dengan lambang negara yang bukan merupakan makhluk hidup?
ADVERTISEMENT