Repositioning Industri Media Ketika Kualitas Jurnalisme Terjun Bebas

farida dewi maharani
Abdi Negara Kementerian Kominfo
Konten dari Pengguna
23 Februari 2022 14:54 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari farida dewi maharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Negara demokrasi membutuhkan kualitas jurnalisme yang mumpuni sebagai penjaga kebenaran, untuk itu publik membutuhkan media sebagai clearing house of information.

Para peraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro berfoto bersama di puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (9/2/2022). Di puncak HPN 2022 di Kendari, sebanyak enam kategori diperebutkan dalam Anugerah Jurnalistik Adinegoro masing-masing kategori Media Cetak diraih oleh Tim Harian Kompas, kategori Media Siber diraih oleh Tim IDN Times, kategori Televisi diraih oleh TIM CNN Indonesia TV, kategori Radio diraih oleh Tim RRI, kategori Foto Berita diraih oleh Sigid Kurniawan dari LKBN Antara dan kategori Karikatur diraih oleh Ashady dari JPNN.com. ANTARA FOTO/Jojon/wsj.
zoom-in-whitePerbesar
Para peraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro berfoto bersama di puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (9/2/2022). Di puncak HPN 2022 di Kendari, sebanyak enam kategori diperebutkan dalam Anugerah Jurnalistik Adinegoro masing-masing kategori Media Cetak diraih oleh Tim Harian Kompas, kategori Media Siber diraih oleh Tim IDN Times, kategori Televisi diraih oleh TIM CNN Indonesia TV, kategori Radio diraih oleh Tim RRI, kategori Foto Berita diraih oleh Sigid Kurniawan dari LKBN Antara dan kategori Karikatur diraih oleh Ashady dari JPNN.com. ANTARA FOTO/Jojon/wsj.
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi informasi telah mengubah segala hal dan cukup mengguncang industri media Indonesia. Perubahan peta industri media terus berubah sesuai perkembangan zaman, ketika dulu media cetak sedang berjaya tetiba hadir media radio dan kemudian hadir media televisi. Meskipun pada akhirnya menemukan equilibriumnya dan setiap jenis media tersebut tetap bertahan dan bertumbuh seusai target unik dari produk informasi masing-masing. Berdasarkan pengalaman tersebut, industri akan menemukan titik keseimbangannya sendiri dengan terus berbedah diri menciptakan konten dan program berkualitas untuk mengunci target audience yang disasarkan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan saat ini? Perkembangan teknologi menggoyang kembali industri media untuk menemukan posisinya kembali. Kemunculan media online berbasis web pada tahun 1995 yang dipelopori oleh Republika Online (17 Agustus 1995), Kompas Online (14 September 1995), Tempo Interaktif (6 Maret 1996) dan diikuti oleh kemunculan media daring lainnya membuat peta bisnis bidang ini berubah. Sekarang, sebagian publik beralih pada media baru ini karena beberapa alasan seperti kecepatan, kemudahan diakses dimanapun, informasi yang lebih berlimpah tanpa harus berlangganan di setiap media tertentu.
Dampaknya saat ini media online berlomba mengejar kecepatan tanpa mempertimbangkan validasi dan akurasi data ataupun informasi, tanpa disadari hal ini sudah cukup lama terjadi di Indonesia. Lantas apakah kita menuntut media hanya dari aspek kecepatan dan judul bombastis saja hanya demi mengejar clickbait? Dapat dibayangkan apa yang terjadi ketika kita hidup di negara demokratis namun tenggelam di pusaran informasi yang kita sendiri mempertanyakan kebenarannya. Tentu tidak berharap demikian, yang diharapkan adalah media sebagai penjaga kebenaran, bukan media yang terbawa arus pola sosial media yang dapat menghasilkan dan menayangkan informasi apa pun tanpa validasi dan klarifikasi.
ADVERTISEMENT
Jika menilik kembali pada teori komunikasi Mc. Quail dalam bukunya Mass Communication Theories (2000 : 66), ada enam perspektif dalam hal melihat peran media: Pertama, melihat media massa sebagai window on event and experience, diharapkan melalui media khalayak dapat mengetahui berbagai peristiwa diluar jangkauan fisiknya. Kedua, media sebagai a mirror of event in society and the world, implying a faithful reflection, yaitu media merupakan cermin yang menampilkan apa adanya berbagai peristiwa. Ketiga, media sebagai gatekeeper informasi ke publik, memilih kelayakan informasi yang disajikan ke publik. Keempat, media sebagai guide ataupun interpreter yang mampu menerjemahkan suatu peristiwa dalam konteks tertentu yang mudah dipahami oleh publik. Kelima, media sebagai interlocutor bahwa media tidak hanya menyediakan informasi namun juga menjadi kawan komunikasi bagi publik.
ADVERTISEMENT
Untuk memenuhi 6 perspektif peran media tersebut, maka media tidak hanya mengimbangi kecepatan sosial media, namun harus memiliki standar operasional validasi dan klarifikasi data, fakta dan informasi bahkan wajib melakukan cover both side. Standar operasional ini bukan saja dibakukan oleh instansi media, namun juga ditumbuhkan di setiap individu jurnalis.

Kegamangan Media Mainstream

Perlu digarisbawahi bahwa perubahan-perubahan pada media akan diikuti perubahan pada masyarakat (straubhaar, 2008: 13-15). Ketika media sosial hadir dengan fasilitas futuristik dan friendly dalam penyajian informasi menarik perhatian publik untuk mencoba hal baru, dan pada akhirnya membentuk pola cara mengkonsumsi informasi di masyarakat.
Data Kepios (datareportal.com) per februari 2022 memperlihatkan 68,9% penduduk Indonesia aktif di sosial media angka ini naik 12,6% dari tahun sebelumnya dan penduduk Indonesia menghabiskan waktu di sosial media sebanyak 3 jam 17 menit perhari. Kemudian kita coba sandingan dengan data hasil survei yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Survei Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia lebih mempercayai sosial media dalam hal mencari informasi. Sebanyak 73% responden mengatakan, media sosial merupakan sumber yang biasanya diandalkan untuk mendapatkan informasi.
ADVERTISEMENT
Dari data tersebut memperlihatkan pergeseran medium informasi publik bergeser ke sosial media yang menyediakan informasi yang lebih beragam, lintas negara, konten yang friendly, dan kemasan konten yang futuristik dan menarik.
Untuk menunjukkan “kehebatan konten” mereka maka persaingan antar pemilik akun media sosial mendewakan algoritma, viewer, engagement untuk menunjukkan seberapa menariknya konten mereka, hal inilah yang turut menggiring media online menciptakan ukuran “konten bagus” yaitu jumlah click bait. Ukuran click bait dan algoritma dikemudian hari menimbulkan permasalahan baru dan jika tidak segera ditangani maka kita akan kehilangan karya-karya jurnalis yang berkualitas, bangsa ini akan kehilangan tempat mereka mencari informasi yang kredibel. Kenapa? Karena pada akhirnya media yang hanya mengandalkan hidup bisnisnya dari revenue ads akan terjebak dengan target jumlah klik dari pembaca, semakin banyak berita yang diklik maka iklan ads yang diterima juga akan banyak. Apakah besar? Pengakuan dari beberapa teman media yang sempat ngobrol mengatakan tidak terlalu karena sebagaian besar masuk ke kantong platform. Meskipun nilai revenue ads ini realtif bagi sebagian pemilik media online kecil yang hanya hidup dari ads ini tentu akan fokus mengejar pemasukan dari sana, toh ada pangsa pasarnya.
ADVERTISEMENT
Wajar jika pangsa pasar lokal cukup besar, hal ini sejalan dengan data Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019 memperlihatkan hasil penghitungan Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Indeks Alibaca) Nasional masuk dalam kategori aktivitas literasi rendah, yaitu berada di angka 37,32. Indeks Alibaca sendiri adalah indeks yang menyajikan gambaran mengenai aktivitas literasi membaca masyarakat di 34 provinsi Indonesia. Dari 34 provinsi di Indonesia dari data Indeks Alibaca ini tidak ada satupun yang masuk dalam level aktivitas literasi tinggi (60,01-80,00) dan sangat tinggi (80,01-100,00), hanya 9 provinsi yang masuk kategori level sedang (40,01-60,00) dan sisinya masuk kategori level rendah (20,01-40,00) dan sangat rendah (0-20.00). Indeks Alibaca yang juga mengukur dimensi budaya dalam penghitungannya, memperlihatkan kebiasaan membaca di 34 provinsi Indonesia masih rendah. Ini adalah salah satu faktor mengapa masyarakat kita lebih memilih berita dengan judul click bait dan seringkali tidak membaca kembali teks berita di dalamnya. Walhasil menggiring media untuk mengejar klik dari judul dan tidak mematuhi kembali etika jurnalistik yang seharusnya menjadi pegangan profesionalisme media.
ADVERTISEMENT

Bangun Ekosistem Usaha Kompetitif

Sudah selayaknya media mainstream tidak memposisikan diri bertarung dengan media sosial, atau membuntut di belakang media baru. Karena selama media mainstream mengekor pada media sosial dan media baru dan masih mendewakan algoritma dan click bait maka akan sulit membangkitkan kembali jurnalisme berkualitas.
Menjadi pekerjaan rumah kita bersama untuk membangun ekosistem industri informasi yang lebih sehat agar kita tetap dapat diasupi oleh informasi-informasi yang berkualitas. Jurnalis berkualitas akan memberikan asupan sehat bagi publik, publik yang sehat secara pemikiran akan menciptakan demokrasi yang berkesinambungan.
Pertama kita perlu menata banyaknya jumlah kemunculan media-media online baru yang sangat beragam sekali. Dewan pers pernah mengklaim ada sekitar 40 ribuan jumlah media online, meskipun mereka tidak mendata secara spesifik dan hanya mendata media-media online yang tervalidasi di Dewan pers yang jumlahnya mencapai 1,734 media. Saya sendiri pernah melakukan riset kecil dengan mengumpulkan rekan-rekan media di beberapa provinsi, dan dari hasil riset tersebut didapatkan bahwa sebagian besar media lokal berupa media online memang tidak memvalidasi media mereka di dewan pers.
ADVERTISEMENT
Cukup beragam alasan yang diberikan, seperti tidak ada dana untuk membuat badan usaha, karena untuk menjadi badan usaha mereka membutuhkan syarat khusus yang tidak bisa dipenuhi. Rerata modal yang mereka sediakan tidak banyak, bahkan banyak dari mereka tidak memiliki kantor resmi, pegawai hanya 2 atau 3 orang yang merangkap-rangkap tugas sebagai jurnalis, marketing, pemred, redpel maupun administrasi. Belum lagi jumlah pegawai yang minim tersebut digaji di bawah UMR, dan mereka mengamini bahwa mereka membutuhkan pemasukan yang saat ini sangat bergantung pada click bait agar ada pemasukan ads. Peluang mereka mendapatkan kesempatan placement dari instansi pemda atau pihak lain kecil, karena rerata mensyaratkan bukti validasi dari Dewan Pers.
Apakah kita perlu menata jumlah media-media baru ini dengan membatasi jumlah atau memperketat kembali aturan pendirian usaha media? Jika itu dilakukan kita kembali kepada masa lalu yaitu membatasi kebebasan pers dengan aturan-aturan. Ekosistem yang baik seharusnya membiarkan media-media itu tumbuh namun dibuatkan gatekeeper agar tidak kebablasan, dalam hal ini peran Dewan Pers dalam untuk memvalidasi industri media perlu diperkuat. Disisi lain kebijakan wajib validasi ini perlu di dukung oleh instansi lain dan juga publik itu sendiri. Misal saja praktik di beberapa daerah mereka akan beriklan atau melakukan kerja sama jika media daerah tersebut tervalidasi, jika semua instansi melakukan ini maka dengan sendirinya industri media akan sadar pentingnya validasi. Peran penting lain adalah mengedukasi publik untuk mencari informasi-informasi ke media yang kredibel, sehingga ketika masyarakat sudah paham bagaimana mencari informasi yang kredibel maka dengan sendirinya pengunjung media-media online tidak kredibilitas ini akan kehilangan audience mereka.
ADVERTISEMENT
Kedua, membangun ekosistem bisnis yang kolaboratif. Untuk menciptakan informasi yang kredibel itu bukan perkara mudah, selain aspek modal yang besar juga terkait relasi kedekatan dengan senior, pemangku jabatan, petinggi-petinggi, narasumber A1 dan lainnya. Aspek modal yang bisa dikolaborasikan antara lain sharing teknologi, perkembangan teknologi cukup cepat sekali, sehingga hanya pihak-pihak bermodal besar saja yang memiliki kemampuan untuk mengupdate perkembangan teknologi. Bagaimana media-media mainstream memberikan kesempatan kepada media-media online baru untuk berkolaborasi dari aspek sharing teknologi, manajemen, konten dan perlindungan hukum menjadi penting. Dalam hal perlindungan hukum, bagaimana media saling mendukung antar awak lintas media ketika ada awak media lain terjerat hukum. Pola-pola kolaborasi seperti Ini penting dipikirkan agar media-media tidak hanya dikuasai oleh media mainstream besar yang memang memiliki kekuatan modal yang cukup. Keberimbangan penyebaran media juga menjadi penyeimbang demokrasi.
ADVERTISEMENT
Untuk menciptakan ekosistem bisnis yang sehat juga memerlukan peran pemerintah untuk melindungi industri media nasional dan lokal dari gempuran industri platform global yang saat ini menguasai industri informasi. Beberapa negara yang sudah memulai untuk mengeluarkan regulasi perlindungan industri informasi antara lain Australia, Uni Eropa, dan Prancis. Prancis merupakan negara pertama yang mengadopsi regulasi tentang hak cipta di Uni Eropa. Regulasi itu bertujuan memberikan perlindungan hak kepada penerbit berita, juga memastikan mereka mendapat kompensasi yang adil atas penyebaran konten secara online di Google maupun platform lain. Selain Prancis, tahun lalu Australia memaksa Google dan Facebook untuk membayar hak penerbit saat menampilkan konten mereka.
Melalui pidato Joko Widodo di Hari Pers Nasional 2022 ini menyampaikan bahwa pemerintah mendukung inisiatif regulasi mengenai “publisher right” untuk melindungi industri media atas nama “menjaga marwah kualitas jurnalisme”. Dalam agenda pembentukan regulasi tersebut perlu di cermati bersama jangan sampai regulasi tersebut hanya memberikan keuntungan kepada media mainstream bermodal besar saja agar marwah jurnalisme berkualitas juga didapatkan oleh media-media yang tidak bermodal besar.
ADVERTISEMENT
Ketiga, bersama sama seluruh awak insan media untuk berkomitmen mengembalikan kembali fungsi media sebagai “clearing house of information” di tengah gempuran media sosial. Menurut Lippmann (1922), salah satu masalah yang paling mendasar dari media di dalam demokrasi adalah keakuratan berita dan perlindungan narasumber. Sehingga fungsi media menjaga demokrasi dapat dilakukan jika media bertugas sebagai penjaga kebenaran dengan cara menyajikan informasi yang valid dan terverifikasi. Saat ini semua orang bisa menjadi pembuat konten di sosial media namun tidak semua pihak dapat menyajikan konten berbasis riset yang kuat. Agar tetap bertahan di tengah gempuran sosial media, media mainstream harus dapat menghasilkan konten-konten berkualitas, antara lain konten yang telah melalui berbagai tahapan riset dan validasi sehingga dapat menyajikan informasi yang dapat mengajak publik berpikir kritis.
ADVERTISEMENT
Untuk itu industri media perlu didorong memiliki litbang yang kuat, fungsi litbang tidak hanya mengukur impact dari pemberitaan yang dikeluarkan media dan pengukuran nilai ads, namun litbang harus diperkuat dengan kemampuan untuk melihat prospek bidang jurnalis ke depan dengan perkembangan teknologi yang cukup dinamis. Dengan kemampuan itu diharapkan industri media dapat segera beradaptasi dengan perkembangan zaman. Tentu penguatan litbang lain yang tidak kalah adalah kemampuan litbang menyediakan data dan informasi yang akan dibutuhkan jurnalis untuk menghasilkan konten yang dapat menghubungkan antar peristiwa dan konteks serta konten-konten klarifikasi interpretasi bukan hanya sekadar konten fact checking.
Media yang berhasil bertahan adalah media yang menghasilkan karya jurnalis yang bergerak dalam koridor fakta dan data sehingga akan membentuk truth dan akhirnya media tersebut akan mendapatkan trust dari publik. Untuk mendapatkan trust tersebut media harus memainkan peran cover both side, klarifikasi dan validasi. Mari kita yakini, bahwa pada akhirnya publik akan membutuhkan informasi kredibel, hanya saja media perlu berbenah dan berjuang bersama agar equilibrium tersebut tercapai. (FDM)
ADVERTISEMENT