Pembelajaran Luring Hilangkan Ancaman Lost Generation

Nur Farida Rahmawati
Praktisi dan pegiat literasi kesehatan. ASN pada sebuah institusi kesehatan. Alumni S1-Profesi Gizi Kesehatan dan S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Konten dari Pengguna
10 Juni 2021 15:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Farida Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah melakukan uji coba pembelajaran tatap muka, vaksinasi pada tenaga pendidik dan perangkat sekolah, dan sejumlah upaya persiapan, maka Pemerintah melalui Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek memantapkan diri untuk membuka sekolah kembali dengan pembelajaran luar jaringan (luring) atau tatap muka (PTM) secara terbatas mulai tanggal 15 Juli 2021.
ADVERTISEMENT
Skema yang ditawarkan tentu saja menyesuaikan adaptasi new normal. Pada masa uji coba, dilakukan skema kapasitas 50%, durasi 3-4 jam, dan 3 kali dalam 1 minggu. Sementara, Presiden Joko Widodo memberi arahan bahwa PTM hanya dilakukan dengan 25% kapasitas, durasi 2 jam, dan seminggu 2 kali. Dengan arahan baru tersebut, maka belum bisa dipastikan bagaimana skema PTM yang akan dilakukan.
Ilustrasi : Pembelajaran Luring di Masa Pandemi. Sumber : www.freepik.com

Ancaman Lost Generation

Efek dari pandemi Covid-19 telah mengubah konsep dan wajah dunia pendidikan di Indonesia. Permasalahan yang ditimbulkan akibat pembelajaran daring setahun terakhir sangatlah kompleks. Mulai dari ketidakmampuan dalam penataan sistem pembelajaran, kurikulum, teknologi, sarana prasarana, hingga SDM yang belum siap dan sigap. Permasalahan tersebut menimbulkan adanya ancaman Indonesia akan mengalami lost generation.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, pendidikan sejatinya bukan hanya tentang bisa membaca, menulis, atau berprestasi secara akademik. Namun, lebih dari itu, ada pesan moral yang harus tersampaikan, ada interaksi sosial yang dilakukan, ada pembelajaran tentang agama, sikap dan perilaku, yang tidak akan pernah bisa digantikan lewat media online. Pendidikan anak yang sedang mengalami tumbuh kembang baik secara fisik maupun mental yang tidak terfasilitasi dengan baik akan menyebabkan terjadinya lost generation.
Pengalaman keponakan penulis sendiri salah satu contohnya. Anak yang baru selesai menamatkan bangku pendidikan Taman Kanak-Kanak tersebut sejak awal masuk tahun ajaran baru hingga saat ini belum pernah menginjakkan kaki di kelas sekolah dasar.
Antusiasme belajar di sekolah saat itu langsung pupus saat adanya Pandemi COVID-19 memaksa untuk melakukan pembelajaran daring. Saat itu anak belum lancar membaca dan menulis. Bingung tidak tahu harus bagaimana ketika dihadapkan pada layar HP atau laptop. Guru menerangkan, namun dia masih bermain dan tidak fokus karena belum paham apa yang harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Untungnya pihak sekolah memberikan sedikit kelonggaran bahwa anak kelas 1 dapat bersekolah dengan cara membuat kelompok belajar. Kelompok belajar beranggotakan setidaknya 5 orang anak. Guru akan datang ke rumah, melakukan proses pendidikan.
Lain halnya dengan keadaan di luar kota. Penulis pernah berbincang dengan seorang guru SD yang berkarier di sebuah kabupaten. Menurut penuturan sang guru, pembelajaran daring tidak dapat dilaksanakan di sana.
Bukan karena guru tidak mampu, namun hampir tidak ada siswa yang join. Dari 40 siswa, hanya 5 yang mengikuti pembelajaran online. Alasannya tidak ada sarana dan keterbatasan kemampuan orang tua alias gaptek. Gagap teknologi.
Tidak optimalnya pembelajaran daring dapat dilihat dari pencapaian prestasi belajar siswa. Akan terjadi kesenjangan kualitas antara anak yang memiliki akses teknologi dan tidak. Kita harus sadar bahwa Indonesia sangat bervariasi ragam sosial ekonomi masyarakatnya. Handphone atau laptop bisa jadi bukanlah prioritas penduduk miskin, di saat untuk bertahan hidup saja susah.
ADVERTISEMENT
Seorang kerabat yang termasuk dalam keadaan ekonomi bawah menuturkan bahwa selama masa pembelajaran online sang anak ikut membantu kerja ayahnya yang berprofesi sebagai sopir mobil antaran. Berpindah dari satu kota ke kota lain. Entah mengikuti ‘sekolah’ dengan rajin atau tidak.
Hal ini menandakan bahwa pendidikan di rumah juga mempengaruhi kesuksesan pembelajaran daring. Pada keluarga dengan orang tua yang berpendidikan yang baik tentu akan mensupport. Namun tidak sedikit juga orang tua yang tidak siap dengan metode ini. Orang tua menjadi naik pitam saat harus menggantikan peran guru. Anak dan orang tua sama-sama tertekan dan jenuh.

Kontroversi Pembelajaran Tatap Muka

Berdasarkan survei yang dilakukan PGRI, 78% guru dan 75% orang tua ingin PTM segera diselenggarakan. Sisanya, sebanyak 15% orang tua tetap ingin daring, sedangkan sisanya menyatakan tidak tahu.
ADVERTISEMENT
Meskipun PTM akan dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat, tetap tidak menghilangkan kekhawatiran akan penyebaran virus Covid-19. Bahkan tidak sedikit yang menyayangkan keputusan tersebut karena nyawa anak menjadi taruhannya.
Kekhawatiran semakin menjadi lantaran berita seorang guru yang anosmia, hilangnya fungsi indera penciumannya, memaksa mengajar dan menyebabkan 37 orang terpapar Covid-19 di Pekalongan. Miris memang, ketika takut dipotongnya tunjangan menjadi pembelaan sang guru tetap mengajar.

Siasati Kebijakan PTM

Menurut penulis, kebijakan PTM tentunya tidak bisa diambil secara serampangan. Banyak sisi positif dari PTM, namun kita juga perlu memperhatikan sisi negatifnya, terlebih jika kondisi penyebaran Covid-19 masih belum terkontrol.
Pelaksanaan PTM terbatas ini sebaiknya bersifat dinamis. Pelaksanaan kebijakan ini perlu memperhatikan kondisi daerah dan institusi pendidikan secara real time. Penyebaran Covid-19 di daerah menjadi dasar pertimbangan. Selain itu, jika ditemukan kasus Covid-19 di sekolah, maka PTM terbatas harus ditinjau ulang, apakah tetap lanjut atau dihentikan.
ADVERTISEMENT
Koordinasi antara Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Satgas Covid-19 dan Perhimpunan Profesi, terutama IDI menjadi upaya dalam penentuan apakah suatu daerah bisa melakukan PTM. Pun dengan sekolahnya, kesiapan dari segi SDM dan sarana prasarana juga perlu mendapat perhatian, termasuk tervaksinasinya guru dan seluruh perangkat sekolah.
Pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat merupakan syarat mutlak dilaksanakannnya PTM. Jika perlu, bentuk satgas level sekolah yang mengawasi dan menindak adanya pelanggaran prokes. Euforia akan masuk sekolah pasti akan terjadi pada siswa, sehingga prosedur pencegahan pelanggaran prokes harus dipersiapkan.
Ilustrasi : Pengecekan Suhu Tubuh Sebelum PTM. Sumber : www.freepik.com
Sebaiknya ada kebijakan pelarangan masuk bagi pihak sekolah maupun siswa yang sakit. Kebijakan sekolah ini juga mengatur apakah ada pemotongan tunjangan atau tidak bagi guru yang tidak mengajar karena terjangkit Covid-19.
ADVERTISEMENT
Kapasitas maksimal pembelajaran harus diperhatikan. Setting ulang ruangan kelas sehingga ada jarak yang memadai antar siswa serta dengan guru. Perhatikan ventilasi ruangan. Jika memungkinkan, sekolah dapat memanfaatkan taman atau lapangan sekolah sebagai ruang pembelajaran.
Selain itu, durasi dan frekuensi pembelajaran juga menjadi prioritas. Kebijakan selama uji coba atau arahan Presiden menjadi pertimbangan. Dengan waktu pembelajaran yang singkat, tentunya kurikulum dan metode pembelajaran harus disesuaikan.
Kemudian, ada baiknya pelaksanaan PTM memperhatikan pendapat dari orang tua. Orang tua memiliki opsi untuk melakukan PTM terbatas, PJJ, atau keduanya. Menurut penulis, keberhasilan pelaksanaan pendidikan yang baik dan aman tidak hanya menjadi tanggung jawab satu pihak.
Seluruh pihak, baik pemerintah, pihak sekolah, masyarakat, orang tua, maupun siswa sendiri memiliki andil yang sama besar terhadap pendidikan dan keselamatan, serta kesehatan anak. Teringat dengan tujuan negara ini didirikan, untuk mencerdaskan bangsa.
ADVERTISEMENT