Putus Mata Rantai Stunting dengan Peningkatan Peran Keluarga

Nur Farida Rahmawati
Praktisi dan pegiat literasi kesehatan. ASN pada sebuah institusi kesehatan. Alumni S1-Profesi Gizi Kesehatan dan S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Konten dari Pengguna
29 Juni 2021 12:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Farida Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Keluarga Bahagia. Sumber : freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Keluarga Bahagia. Sumber : freepik.com
ADVERTISEMENT
“Keluarga Keren Cegah Stunting” adalah tema yang yang diambil pada peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) pada tahun ini, tepatnya pada tanggal 29 Juni. Tema ini diambil atas dasar kekhawatiran akan dampak stunting yang tidak teratasi pada masa golden period.
ADVERTISEMENT
Stunting atau kerdil sendiri merupakan masalah gizi yang timbul sebagai akibat dari kekurangan gizi secara kronis. Besarnya masalah stunting ditandai dengan jumlah anak stunting di dunia sebanyak 155 juta pada tahun 2016.
Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi anak balita stunting sebesar 30,8%. Angka ini menunjukkan penurunan prevalensi stunting dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2013 sebesar 37,2%. Meskipun demikian, persentase stunting di atas 30% masih tergolong prevalensi tinggi dari masalah kesehatan masyarakat.
Dampak stunting antara lain dapat menyebabkan penurunan konsentrasi, kerusakan memori, penurunan daya belajar dan prestasi sekolah, penurunan fungsi kognitif, gangguan perkembangan motorik anak, serta memiliki dampak jangka panjang berupa penurunan produktivitas yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan kemiskinan antargenerasi.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, tema yang diambil oleh BKKBN tersebut sangat menarik karena peran keluarga sangatlah krusial dalam mengentaskan dan memutus mata rantai stunting di masyarakat. Tema stunting ini juga mengingatkan penulis pada penelitian yang dilakukan beberapa tahun yang lalu.
Saat itu penulis bersama tim meneliti tentang beberapa aspek yang terkait dengan kejadian stunting di keluarga miskin, terutama pada penerima PKH (Program Keluarga Harapan). Hasil penelitian tersebut secara rinci dapat dibaca pada Jurnal Gizi Klinik Indonesia Vol. 17 No.1, Juli 2020.
Stunting pada balita merupakan indikator terbaik pertumbuhan anak dan merefleksikan ketidaksetaraan sosial (social inequalities). Pada beberapa penelitian, bahkan sudah dipatenkan oleh UNICEF bahwa salah satu akar masalah penyebab stunting adalah faktor ekonomi, sosial, dan politik.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai bagi anggota keluarganya, terutama pada balita. Menariknya, tidak semua anak yang lahir dari keluarga miskin mengalami stunting.
Positive deviance atau penyimpangan positif, begitu sebutannya, istilah yang secara khusus digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan atau status gizi baik pada anak-anak yang hidup dalam keluarga miskin di lingkungan miskin, padahal sebagian besar anak lain mengalami gangguan pertumbuhan dan gizi kurang.
Hal yang menarik pada saat penulis melakukan penelitian adalah bagaimana peran keluarga, terutama ayah sebagai pencari nafkah utama, ibu sebagai care giver atau pengasuh balita, serta peran anggota keluarga yang lain dalam pola pengasuhan dapat memberi pengaruh yang besar atas pertumbuhan balita.
ADVERTISEMENT
Meskipun sama-sama memiliki keterbatasan penghasilan, namun pada kasus positive deviance, keluarga memiliki peran yang lebih dominan dibandingkan dengan keluarga yang memiliki balita stunting.
Hasil penelitian menemukan bahwa ibu yang memiliki pendidikan yang rendah (kurang dari SMA) mempunyai kecenderungan memiliki anak stunting sebesar 7,2 kali dibandingkan ibu dengan pendidikan yang tinggi.
Dalam hal tumbuh kembang anak, ibu memiliki peran penting memberikan pola asuh yang baik, terutama pemberian makanan balita. Ibu membentuk kebiasaan makan anak, mulai dari pemilihan bahan makanan, persiapan, pengolahan, dan penyajian serta pemberian makanan bagi balita.
Ibu yang mendampingi anak dan memberikan asupan zat gizi yang baik tentu akan berpengaruh positif bagi pertumbuhan anak, sekaligus meningkatkan bonding antara ibu dan anak tersebut.
ADVERTISEMENT
Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung lebih baik dalam pemilihan jenis makanan karena mengerti bahwa asupan zat gizi pada balita sangat penting bagi pertumbuhan. Namun pengetahuan saja tidak cukup, harus diikuti dengan sikap, keterampilan, kemauan, serta praktik yang membawa perbaikan gizi balita.
Ilustrasi dua saudara anak laki-laki bermain. Foto: Shutter Stock
Al-ummi madrasatul ula, ibu adalah sekolah utama. Bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik. Hal tersebutpun sejalan dengan pendapat seorang aktivis pendidikan Greg Monterson, penulis buku best seller Three Cups of Tea, “Once you teach a boy, they leave the villages and go to search for work in the cities, but if you want to change the community, the answered is to educate girls.” Sedemikian peran ibu dalam membangun sebuah generasi.
ADVERTISEMENT
Lalu, apakah ayah tidak memiliki peran yang penting bagi tumbuh kembang anak? Meskipun ayah bukanlah care giver utama, namun beberapa penelitian menemukan bahwa ayah sebagai pencari nafkah memiliki peran dalam pemenuhan kebutuhan gizi balita.
Daya beli makanan yang rendah tentu dapat mengakibatkan ketersediaan makanan tidak dapat dipastikan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, sehingga dapat menyebabkan masalah kesehatan pada balita.
Peran ayah dan anggota keluarga lain adalah memberikan support kepada ibu, terutama berbagi peran pengasuhan balita. Ketika sang pengasuh utama tidak ada, maka jangan sampai lalai dan anak menjadi terbengkalai. Perhatian, rasa nyaman, dan kasih sayang juga sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan balita.
Pola asuh dalam keluarga, seperti kebiasaan pemberian makan, kebiasaan pengasuhan, kebiasaan kebersihan, dan kebiasaan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dapat mengurangi kecenderungan anak untuk mengalami stunting.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan pemberian makan yang baik dapat dimulai dari sejak bayi baru lahir diberikan colostrum dan ASI eksklusif hingga bayi berumur 6 bulan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian MP-ASI (makanan pendamping-ASI) yang tepat.
Pemberian ASI dapat dilanjutkan hingga anak berusia 2 tahun atau lebih. Pemberian makanan harus memperhatikan kebutuhan anak serta pemberian jenis, waktu, bentuk, dan cara makan disesuaikan dengan usia anak. Kegiatan makanpun diupayakan secara menyenangkan, sehingga anak tidak merasa dipaksa untuk makan.
Peran keluarga sedini mungkin juga akan memberikan rasa aman pada anak. Interaksi yang positif dengan keluarga akan berperan dalam emosi dan psikologis anak sehingga akan menciptakan tumbuh kembang anak yang normal.
Memutus mata rantai stunting tentu saja bukanlah kewajiban individu semata, namun komunitaslah penggeraknya. Keluarga yang merupakan komunitas terkecil di masyarakat memiliki peran yang sangat penting untuk lebih aware dan care akan masalah gizi balita, terutama stunting. Keluarga menjadi motor penggerak terciptanya generasi yang produktif di masa depan.
ADVERTISEMENT