GBK yang Masih (Harus) Berbenah

Faridhian Anshari
Dosen dan Peneliti kajian Sport Communication. Founder dari Studialogy.com serta Creator KMB (Konferensi Meja Bola) Sebuah ajang diskusi sepakbola
Konten dari Pengguna
16 Januari 2018 19:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faridhian Anshari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gelora Bung Karno, Senayan (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gelora Bung Karno, Senayan (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Senja, Minggu, dan Hujan. Tiga hal yang seharusnya menggambarkan kenikmatan hakiki dari relaksasi yang sangat indah di kala weekend. Saya yakin sekitar 36 ribuan warga Indonesia di Jakarta juga ingin menikmati momen yang hanya dapat dirasakan satu hari dari kemungkinan 7 hari dalam seminggu. Namun, puluhan ribu orang yang disebutkan di atas (dan saya termasuk salah satunya) malah rela berhujan-hujanan ria, dan datang ke bilangan Senayan. Jawaban logisnya hanya satu: mereka ingin menyaksikan pertandingan sepak bola yang menampilkan Indonesia melawan Islandia (yang ketika tulisan ini dimuat, masih resmi terdaftar sebagai salah satu peserta Piala Dunia Russia 2018). Sekilas, orang awam yang tidak tahu sepak bola akan mengernyitkan dahi, dan berpikir, “Apa sih enaknya nonton bola timnas?”.
ADVERTISEMENT
Selintas, saya bertanya kepada beberapa orang yang kemarin juga ikut berdesak-desakan di Gelora Bung Karno. Jawabannya terbagi dalam dua pilihan. Yang pertama jelas, ingin mendukung tim nasional Indonesia. Siapa pun lawannya, timnas pasti bisa menang. Semangatnya bolehlah diacungi jempol. Walaupun skor akhir berkata lain (Indonesia harus menunduk lesu karena kalah empat satu), tetapi dorongan ingin mendukung timnas menjadi motor dari kenekatan mereka melewatkan kenikmatan romantisnya hujan di kala senja pada hari Minggu sambil minum cokelat hangat di beranda rumah.
Jawaban lain yang berhasil saya gali adalah rasa penasaran yang memuncak. Eits jangan salah, bukan penasaran sama permainan timnas di bawah Luis Milla (yang kemarin malam, lagi-lagi masih sering kehilangan pola dan formasi yang lebih sering terlihat bermain scramble, walau sudah orang Spanyol tulen yang mengajari kita di lapangan). Namun, rasa penasaran tersebut lebih kepada keinginan untuk melihat bentuk baru stadion kebanggan Gelora Bung Karno yang selesai direnovasi semenjak start di bulan Agustus 2016. Penantian yang cukup lama.
ADVERTISEMENT
Harapan akan stadion baru yang lebih berkelas memang benar-benar terealisasi. Sejak saya masuk, saya langsung kagum dengan kursi model single seat dan flip up, yang dulu pernah saya temukan di stasion luar Indonesia. Memori kursi kayu panjang zaman dulu yang menghiasi tribun penonton, langsung terhapus dengan wujud kursi yang terlalu cantik dan mulus untuk diinjak. Belum lagi soal lighting yang lebih wow dan sangat gemerlap untuk dipandangi semalaman suntuk. Layar raksasa yang menjadi ciri khas stadion besar (stadion utama sebuah negara) tampil dengan keadaan yang sangat kekinian. Adanya Kiss Cam layaknya NBA di Amerika Serikat (yang kali ini menampilkan video supporter yang kakinya naik ke atas bangku, hingga video sepasang kekasih yang sedang asyik bermesraan sambil ber-selfie ria) menambah lelucon tersendiri untuk penonton yang sudah duduk manis di dalam stadion satu jam sebelum pertandingan berlangsung.
ADVERTISEMENT
Di balik segala perubahan yang bikin mata always melotot dan mulut tidak berhenti berdecak kagum, stadion GBK versi baru tetap masih menyimpan beberapa kekurangan yang saya rasa masih perlu dibenahi. Kenapa masih perlu dibenahi? Karena memang di dunia ini tidak ada yang sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan YME semata. Selain filosofi dasar tersebut, saya juga merasa pihak GBK perlu memonitori kekurangan yang saya berikan ini karena kelak ketika ASIAN GAMES pada bulan Agustus mendatang (jangan lupa, ini adalah alasan utama GBK direnovasi) akan banyak datang penonton dari luar Indonesia yang tentu belum paham bahasa dan kultur bahasa Indonesia kita. Jadi, demi nama bangsa Indonesia yang harus harum dari sisi penyambutan (kali ini dalam hal stadion) lebih baik dicermati dulu kritik saya ya.
Gelora Bung Karno, Senayan (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gelora Bung Karno, Senayan (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Pertama adalah dari posisi serta porsi parkir kendaraan. Enggak masalah penonton yang datang mau bawa kendaraan roda empat atau dua, bahkan tiga sekalipun, yang penting adalah konsistensi dalam penempatan dan posisi lahan parkir. Cukup unik, ketika beberapa penonton yang datang pada pukul empat sore, berhasil memasuki lahan parkir motor dengan terburu-buru dan ada di barisan paling pinggir karena diteriaki “slot terakhir” oleh para panitia parkir. Namun mirisnya, ketika pertandingan usai dan penonton ingin pulang tiba-tiba lahan parkir yang awalnya sudah dilihat padat, menajdi tambah padat. Malahan tambah sumpek.
ADVERTISEMENT
Panitia yang tadi pada pukul empat sudah menutup gerbang parkir, harusnya tetap konsisten dengan jatah parkir yang memungkinkan untuk ditampung. Jangan ketika ada penonton yang memohon atau karena desakan kekurangan lahan, maka area parkir dibuka kembali. Bayangkan, area parkir yang (misalnya) harusnya cukup untuk menampung 1.000 kendaraan roda dua, tiba-tiba ketika peluit akhir malah terlihat menampung 1.500 kendaraan beroda dua. Pergerakan untuk keluar juga menjadi sempit, karena tidak seusai dengan porsi yang seharusnya. Urusan macet mah biasa, namun soal parkiran panitia harus konsisten dengan jatah dan possibility yang sudah dipikirkan di awal. Jika kelak berhadapan dengan orang asing, konsistensi adalah kuncinya.
Kedua, yang menjadi sorotan adalah jaminan barang bawaan yang disita. Oke, panitia dan pihak stadion sudah jauh-jauh hari memberikan informasinya di media mengenai apa saja barang yang boleh dan tidak boleh untuk dibawa ke dalam stadion. Puluhan spanduk yang menampilkan info tersebut juga terpampang jelas hampir di beberapa sudut dalam maupun luar stadion. The forbidden things ini lagi-lagi masih saja dilanggar oleh beberapa penonton. Masih banyak yang kedapatan membawa botol minum, kotak makan, hingga payung (ukuran kecil dan besar). Namun, menurut saya pihak penonton tidak sepenuhnya salah. Masalahnya adalah, ketika penonton diwajibkan untuk menyerahkan seluruh barang yang tidak diperbolehkan (yang kemudian disita oleh petugas), pihak stadion tidak menyimpan barang-barang sitaan tersebut dengan benar dan selayaknya.
ADVERTISEMENT
Mungkin sebagian penonton membayangkan barang mereka yang disita akan ditempatkan di sebuah lemari, atau at least kotak besar yang nanti kelak akan dikembalikan lagi kepada mereka seusai pertandingan. Bayangan yang masih masuk akal, layaknya menitipkan barang ketika masuk mal atau bisokop. Ironisnya adalah ketika pertandingan usai di menit ke-90 dan penonton berhamburan keluar stadion, mereka yang barangnya tadi disita akan otomatis mencari barang mereka. Para penonton dibayangkan oleh janji manis petugas yang mengatakan kalau barang mereka aman, namun kenyataannya barang mereka dikumpulkan semua menjadi satu tumpukan besar menggunung yang berisi barang-barang sitaan yang berupa payung, kotak makanan, hingga tempat minum. Dan semuuanya disatukan dengan kurang lebih ratusan barang sitaan lainnya. Dapat dipastikan penonton yang barangnya disita akan pusing mencari di mana barang mereka, belum lagi 90% kemungkinan barangnya (bila bagus) sudah diambil orang lain terlebih dahulu. Sekelibat saya mendengar nada-nada sebal dari kerumunan penonton yang marah dan tidak sudi mengambil barangnya, mereka mengatakan “kita bukan pemulung”. Kekecewaan menjadi memuncak dari hilangnya petugas (yang tadi sudah berjanji) dari pandangan. Mungkin, next time diberikan semacam karcis penitipan kali ya.
ADVERTISEMENT
Dan yang terakhir adalah perihal keramahan panitia. Ini menjadi sangat penting, dan termasuk hal yang perlu dikembangkan dan di-"training” secepat mungkin. Ada banyak aspek jika berbicara keramahan. Jika besok penonton ASIAN GAMES yang datang berasal dari luar Indonesia, maka panitia stadion (baik itu di garda depan hingga level masuk arena) at least harus bisa satu-dua kata bahasa Inggris. Jangan sampai tidak memahami istilah paling gampang “YES” atau “NO”. Jika memang sangat kesulitan mencari petugas yang ready, yang dan bisa sedkit berbahasa inggris, maka tempatkanlah setidaknya satu orang yang lancar berbahasa Inggris dalam setiap gate atau pintu masuk. Hal ini disebabkan, jika ada penonton dari luar yang berdebat soal barang yang dibawanya, pihak panitia masih dapat menjawab dan memberikan alasan dengan sopan, bukan sekedar mengatakan “NO”.
ADVERTISEMENT
Aspek yang lain adalah 3S: Senyum, Sapa, dan Salam. Elemen tersebut menjadi super penting. Apalagi mengingat citra bangsa kita di mata luar yang sering diceritakan ramah dan bersahabat. Jika menilik dari perlakuan panitia ketika pertandingan kemarin, masih saja timbul “dorongan” kepada pihak penonton yang sebenarnya tidak bermasalah. Saya pun menangkap, panitia sangat tegang dan tidak ada senyuman yang diberikan kepada penonton yang hadir. Entah itu karena RI 1 juga ikut hadir, atau memang bawaan mereka yang kurang dilatih untuk tersenyum dan menyapa penonton. Saya pun menangkap, jika ada penonton yang salah memasukan tiket ke dalam barcode dan pintu masuk bergerigi, masih ada panitia yang dengan “sedikit bentakan” memberikan pengarahan. Lah wajarlah, wong ini kan GBK model baru, penonton juga banyak yang belum tahu. Harusnya sih menurut saya, lebih ramah. Ingat loh Pak, Bu, Mas, dan Mbak panitia, senyum adalah ibadah.
ADVERTISEMENT
Overall, GBK memang sudah banyak berbenah. Namun masih tetap harus diperbaiki sampai mendekati kemungkinan 100% siap untuk menyambut penonton yang akan banyak hadir dalam ASIAN GAMES nanti. Jangan lupa, ketika banyak penonton asing yang hadir dan mereka dibuat terpesona oleh penyambutan dan situasi stadion GBK, otomatis mereka akan mempostingnya dalam media sosial atau memberikan berita baik kepada rekan mereka di negara asal. Siapa yang akan terkena dampaknya? Kita semua, warga Indonesia. Itu semua bisa terwujud, asal kritik dari saya sebagai bagian terkecil dari penikmat stadion GBK didengarkan. Semua itu demi nama harum Indonesia.