Menyantap Nasionalisme

Farikha Fitria Shabrilia
Mahasiswi Ilmu Sejarah Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
25 April 2022 13:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farikha Fitria Shabrilia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sutjiati Narendra saat Bertanding di PON XX Papua 2021. Foto: Instagram sutji.ritma
zoom-in-whitePerbesar
Sutjiati Narendra saat Bertanding di PON XX Papua 2021. Foto: Instagram sutji.ritma
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa hari terakhir, publik sempat dihebohkan oleh berita soal Sutjiati Narendra, atlet pesenam ritmik asal Indonesia kelahiran New York, yang mengungkapkan kekecewaannya di media sosial lantaran batal berangkat mewakili Indonesia di ajang SEA Games 2021.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Sutjiati mengaku dirinya dijanjikan akan didukung maju ke SEA Games hingga olimpiade mewakili Indonesia di cabor senam ritmik setelah berhasil menyabet dua emas dan satu perak pada perhelatan PON XX Papua tahun 2021.
Sayangnya, janji tersebut tidak terealisasi karena kemenpora memutuskan untuk tidak memasukkan cabor senam ritmik ke dalam salah satu cabor yang akan diberangkatkan bertanding di SEA Games dengan alasan cabor tersebut tidak memiliki rekam jejak prestasi.
Tentu keputusan tersebut mengecewakan banyak atlet yang tidak jadi diberangkatkan, termasuk Sutjiati meskipun dirinya sendiri mengaku siap merogoh kocek pribadi demi bisa mengharumkan nama Indonesia di cabor senam ritmik internasional.
Sontak hal tersebut menuai kritikan dari berbagai pihak. Ditambah lagi dengan fakta bahwa pada tahun 2018, Presiden Jokowi meminta Sutjiati dan beberapa anak muda berkewarganegaraan ganda lainnya untuk pulang ke Indonesia dengan dalih membangun negeri.
ADVERTISEMENT
Setelah menjadi warga negara Indonesia, keinginan Sutjiati untuk mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional lewat senam ritmik segara "dibanting" oleh kenyataan bahwa fasilitas, dukungan, hingga apresiasi pemerintah untuk para atlet, termasuk dirinya sangatlah minim.
Sebenarnya, permasalahan seperti ini bukanlah hal yang baru lagi di Indonesia. Tidak hanya menimpa para atlet, tetapi juga para peneliti yang menghasilkan banyak ide cemerlang lewat berbagai penemuannya.
Dalam banyak kasus, usaha dan ide mereka tidak difasilitasi ataupun diapresiasi oleh pemerintah. Padahal, melahirkan suatu ide cemerlang bukanlah proses yang mudah. Menjadi seorang profesional bukanlah bawaan lahir, tidak terjadi begitu saja dalam satu malam, melainkan ada karena latihan, fasilitas, dan dukungan yang memadai dari lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Tak jarang, para peneliti hingga atlet rela merogoh kantongnya sendiri untuk membawa nama Indonesia di banyak kompetisi internasional. Padahal, negaralah yang seharusnya punya andil besar memfasilitasi mereka mulai dari tahap persiapan hingga pascakompetisi nanti.
Absennya pemerintah dalam mendampingi wakil-wakilnya membawa nama Indonesia di liga internasional patut dipertanyakan. Hanya sampai di sinikah wujud keseriusan pemerintah merealisasikan janjinya mengembangkan negeri beserta sumber daya manusianya?
Dalam skala yang lebih kecil, bukankah hal semacam ini sama dengan sekolah yang sama sekali tidak memberikan fasilitas kepada siswanya yang hendak mengikuti lomba, tetapi ketika sang siswa memenangkan lomba mereka malah berlagak layaknya orang yang paling ikut mendanai sang siswa berlomba?
Sangat miris jika mengetahui karya, usaha, dan pemikiran anak bangsa tidak diapresiasi oleh pemerintah sendiri. Bagaimana mau mencapai Indonesia emas 2045 jika hal kecil, seperti memberi apresiasi pada temuan para peneliti dan pencapaian atlet saja tidak bisa. Sebenarnya, Indonesia tidak krisis orang-orang hebat, tetapi krisis orang-orang yang bisa mengapresiasi sebuah pencapaian.
ADVERTISEMENT
Dengan dukungan dan apresiasi yang baik dari pemerintah, tentu saja akan muncul banyak generasi hebat yang mampu mencipta dan mengembangkan ide-ide hebatnya untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa. Nyatanya, ide brilian yang lahir dari anak bangsa seringkali malah dibuang di negerinya sendiri dengan banyak alasan. Ide-ide tersebut malah mendapat pengakuan dan apresiasi dari negara lain. Jadi, mau sampai kapan pemerintah menyia-nyiakan potensi anak bangsa?
Tidak mengherankan jika banyak orang Indonesia yang pada akhirnya lebih memilih menetap atau berkarir di luar negeri karena merasa lebih dianggap dan diperhatikan ketimbang di dalam negeri.
Permasalahan itu pun tidak berhenti sampai di situ. Para peneliti ataupun atlet asal Indonesia yang lebih memilih tinggal dan berkarya di luar negeri seringkali “dijebak” dengan permintaan pulang dari pemerintah untuk ikut membangun negeri sebagai wujud nasionalismenya terhadap bangsa. Di sini, nasionalisme seakan-akan dijadikan kambing hitam.
ADVERTISEMENT
Besarnya permohonan pulang yang diungkapkan oleh pemerintah nyatanya tidak sebanding dengan fasilitas yang akan mereka berikan pada para peneliti yang mau pulang ke Indonesia untuk mengabdi.
Bagaimana mereka bisa memulai risetnya jika fasilitas yang ada tidak mendukung jalannya penelitian atau penciptaan suatu produk? Bukankah akan lebih sia-sia jika mereka pulang, tetapi tidak bisa memulai riset karena keterbatasan fasilitas dan anggaran dari pemerintah?. Kasarnya, ajakan pulang untuk mengabdi tanpa disertai pemberian fasilitas yang layak sama saja membiarkan anak bangsa menelan pahitnya nasionalisme saja.
Sebelum menyuruh para atlet dan peneliti pulang ke Indonesia dalam balutan kata-kata “membangun negeri”, alangkah baiknya pemerintah bisa menata ulang “sistem-sistem” yang masih semrawut dan mempersiapkan dukungan berupa fasilitas yang memadai. Tentu saja nasionalisme itu penting, tetapi kehidupan yang realistis dan terjamin jauh lebih penting.
ADVERTISEMENT
Jangan terlalu bergantung pada pemerintahan suatu negara yang tidak bisa memberikan jaminan pada para atlet dan penelitinya. Tidak ada yang bisa diharapkan dari pemerintah yang hanya dibutakan oleh perebutan kursi kekuasaan saja. Manfaatkan kesempatan studi dan berkarya di luar negeri dengan sebaik-baiknya untuk berkontribusi pada negara.
Sejatinya, tidak pulang ke Indonesia bukan berarti tidak nasionalis. Nasionalisme tidak bisa dilihat dari sedang di mana seseorang berada karena pejabat yang sedang berada di Indonesia saja berani menodai nasionalisme dengan tindakan-tindakannya yang amoral.