Kebebasan Berekspresi yang Dibatasi Regulasi

Faris Atillah
Ungraduate Public Administration Student at Airlangga University
Konten dari Pengguna
19 Juni 2021 10:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faris Atillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pwmbungkaman. Photo by unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pwmbungkaman. Photo by unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banyak orang yang merasa takut untuk mengkritik sesuatu pada media sosial. Mulai dari mengkritik lembaga, instansi pelayanan, hingga pemerintah. Apakah kamu salah satunya? Hal ini bisa terjadi karena banyaknya korban kriminalisasi oleh regulasi dalam UU ITE. Dalam UU ITE terdapat banyak pasal yang bisa dikatakan ambigu.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang menjamin dipenuhinya HAM atau Hak Asasi Manusia sudah seharusnya Indonesia juga menjamin hak kebebasan berekspresi. Hal ini sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kebebasan berekspresi juga diregulasi dalam UUD 1945 pada Pasal 28E Ayat 3 tentang kebebasan, Pasal 28F tentang Informasi, dan lain-lain.
Sebelum masuk ke pembahasan yang lebih jauh kita harus tahu dulu tentang definisi kebebasan berekspresi dan UU ITE. Menurut Amnesty Indonesia, Kebebasan berekspresi pada dasarnya adalah hak yang dimiliki setiap orang dalam mencari, menerima, dan menyebarkan informasi serta pemikiran dalam segala bentuk. Bentuk dari kebebasan berekspresi dapat dalam bentuk kebebasan bererikat, kebebasan berkumpul, dan lain-lain. Selanjutnya, UU ITE menurut DSLA adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang pada dasarnya adalah hukum yang mengatur tentang segala Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik. Data elektronik dapat dikategorikan sebagai informasi elektronik yang mencangkup tulisan, gambar, peta suara, surel, dan lain-lain. Transaksi elektronik pada dasarnya adalah perbuatan hukum yang menggunakan media elektronik seperti komputer.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, UU ITE dianggap memiliki banyak celah yang dapat digunakan sebagai tindak kriminalisasi. Terdapat banyak pasal “karet” yang ada dalam UU ITE. Pasal 27 ayat 3 yang terdapat pada UU ITE tentang defamasi yang berpotensi mengkriminalisasi warga yang mengkritik lembaga negara, pemerintah, dan lain-lain. Pasal 27 ayat 3 UU ITE berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Dapat sangat mudah dijadikan bahan untuk mengkriminalisasi seseorang. Hal ini disebabkan tidak adanya kejelasan tentang perbedaan kritik serta pencemaran nama baik.
Pasal ini akan membuat kebebasan berekspresi di Indonesia semakin terbatas. Dengan adanya pasal yang ambigu dapat dengan mudah mengkriminalisasi seseorang yang menjadikannya sebagai pelanggaran terhadap hak kebebasan berekspresi.
ADVERTISEMENT
Menurut Amnesty Indonesia, terdapat sedikitnya 119 kasus pelanggaran hak kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE. Contohnya, dikutip dari Tempo.co Stella Monica (konsumen salah satu klinik kecantikan di surabaya) sebelumnya ia mengunggah permasalahan kulit yang dialami setelah memakai obat yang disarankan oleh dokter di suatu klinik kecantikan pada kanal Instagramnya pada 27 Desember 2019, selanjutnya ia mendapatkan surat somasi pada tanggal 21 Januari 2020.
Sementara itu, harusnya stella mendapatkan perlindungan dari UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini membuktikan jika perumusan revisi UU ITE sudah seharusnya menjadi suatu agenda setting.
Tak hanya itu, terdapat polemik pembatasan kebebasan berekspresi oleh regulasi lainnya. Misalnya saja, RUU KUHP yang menjadi kontroversi akhir-akhir ini tentang penghinaan kepada Presiden, Wakil Presiden serta Lembaga Negara lainnya. Jika RUU ini sampai disahkan menurut detik.com penghina Presiden atau Wakil Presiden akan dikenai hukuman penjara maksimal selama 4,5 tahun serta penghina lembaga negara lainnya misalnya DPR akan diberi sanksi penjara maksimal selama 2 tahun.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, dengan semua yang telah dipaparkan sudah seharusnya sebagai pemangku kebijakan pemerintah harus bisa membuat regulasi yang minim celah. Dalam regulasi yang terdapat polemik seharusnya dibuat batasan-batasan agar seseorang tidak menyalahgunakannya untuk mengkriminalisasi atau membungkam orang lain. Harus terdapat diferensiasi yang jelas antara kritik serta penghinaan. Setiap UU yang multitafsir seperti UU ITE Pasal 27 harus dilakukan penjabaran yang jelas di dalamnya.