Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
FC Barcelona: Pesakitan yang Dahulu Menjadi Raja Spanyol dan Eropa
21 April 2022 13:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Fariz Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bagi FC Barcelona, musim 2021-2022 berjalan begitu menyedihkan. Bagaimana tidak, klub yang ditangani Xavi tersebut terancam mengalami paceklik gelar. Harapan untuk meraih trofi Copa del Rey dan Europa League telah musnah. Sementara di ajang La Liga, Blaugrana tertinggal jauh dengan pemuncak klasemen-Real Madrid-meskipun memiliki dua laga simpanan lebih banyak.
ADVERTISEMENT
Melihat Barcelona yang sekarang membuat hati ingin menapak tilas ke masa lampau. Kira-kira ke dekade 2000-an akhir hingga 2010-an. Pada masa-masa tersebut, Blaugrana pernah menjadi tim yang begitu ditakuti di Spanyol dan juga Eropa. Banyak tim lawan yang begitu ketakutan saat mendengar nama Barcelona.
Tahun 2009 menjadi tonggak awal Barcelona meraih puncak kejayaannya. Pada saat itu, klub asal Catalunya tersebut sukses meraih tiga trofi alias treble winners di semua kompetisi musim 2008-2009. Mulai dari Liga Champions, La Liga, hingga Copa del Rey. Namun, ada pencapaian yang lebih gila dari itu.
Saat tahun 2009 telah menutup bukunya, Barcelona berhasil meraih 6 trofi dari 6 kompetisi! Selain treble winners, Barcelona juga sukses meraih UEFA Super Cup, Piala Super Spanyol, dan Piala Dunia Antar Klub.
ADVERTISEMENT
Pep Guardiola adalah otak di balik kedigdayaan Barcelona di tahun 2009. Meskipun sempat diragukan di awal, mantan pelatih Barcelona B tersebut berhasil menjawab skeptisisme dari publik. Klub-klub kuat sekelas Real Madrid, Bayern Munchen, hingga Manchester United berhasil dipecundanginya.
Selain raihan trofi yang begitu melimpah, Barcelona di era Guardiola juga dikenal dengan gaya permainan tiki-taka. Pada dasarnya, tiki-taka merupakan gaya permainan yang berfokus pada penguasaan bola yang super tinggi dan umpan-umpan pendek yang super akurat. Hal ini juga yang pada akhirnya membuat banyak lawan memilih untuk bermain defensif saat menghadapi Barcelona.
Selepas Pep Guardiola hengkang pada tahun 2012, Barcelona sempat mengalami penurunan performa. Meskipun demikian, setidaknya Blaugrana mampu meraih minimal satu trofi di setiap musimnya.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2015, Barcelona kembali menggebrak jagad sepak bola di Eropa. Pada akhir musim 2014-2015, Luis Enrique berhasil membawa Barcelona menjuarai tiga kompetisi yang berbeda alias treble winners. Bahkan Enrique hampir saja menyamai catatan Guardiola di tahun 2009 andai tak dipecundangi oleh Athletic Bilbao pada ajang Piala Super Spanyol.
Selepas kampanye tahun 2015 yang terbilang luar biasa, performa Barcelona tidak lagi garang seperti sebelumnya. Klub ber-jersey biru merah tersebut kesulitan untuk meraih trofi Liga Champions kembali. Untungnya, Barcelona masih mampu meraih trofi di level domestik.
Pada musim 2019-2020, Barcelona benar-benar mengalami momen yang begitu mengerikan. Selain mengalami puasa gelar, Barcelona juga melakukan pemecatan pelatih untuk pertama kalinya sejak 2003. Dua pelatih, yakni Ernesto Valverde dan Quique Setien, menerima pemecatan pada tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Pada musim 2020-2021, Ronald Koeman ditunjuk sebagai pelatih baru Barcelona. Selama menjadi pelatih, kiprah Koeman sendiri sebenarnya terbilang cukup baik. Setidaknya satu trofi Copa del Rey 2020-2021 berhasil diraihnya.
Sayangnya, Koeman juga harus mengalami nasib apes seperti dua pendahulunya, yakni dipecat. Memasuki musim 2021-2022, mantan pelatih Southampton tersebut gagal membawa Barcelona ke papan atas klasemen La Liga. Kekalahan melawan Rayo Vallecano menjadi akhir karirnya sebagai pelatih di Barcelona.
Roda kehidupan bagi Barcelona sekarang memang tidak semanis sebelumnya. Dahulu berkuasa, kini menjadi pesakitan. Jika ditelaah lebih dalam, ada dua faktor besar yang mungkin menyebabkan performa Barcelona turun drastis saat memasuki dekade 2020-an ini.
Pertama, "Messidependencia" alias ketergantungan yang tinggi terhadap sosok Lionel Messi. Sewaktu Messi masih ada di Camp Nou, sosoknya nyaris atau bahkan tak tergantikan di Barcelona. Pemain asal Argentina tersebut kerap menjadi pemain inti sekaligus juru selamat bagi tim. Dengan demikian, tidak mengherankan jika Blaugrana sempat limbung di awal musim 2021-2022 pasca ditinggal Messi.
ADVERTISEMENT
Kedua, regenerasi pemain yang lambat. Selama dekade 2010-an, Barcelona terlihat kesulitan untuk mempromosikan atau mendatangkan pemain muda yang sesuai dengan kebutuhan tim. Kebanyakan pemain muda yang datang hanya terkesan seperti numpang lewat saja. Sebut saja Malcom, Jean-Clair Todibo, Junior Firpo, dan sebagainya. Padahal sebagian dari mereka didatangkan dengan harga yang tidak murah.
Saat ini, Barcelona tengah memasuki era baru di bawah Xavi sebagai pelatih dan juga Joan Laporta sebagai presiden klub. Perlahan namun pasti, Barcelona yang pernah terpuruk di awal La Liga musim 2021-2022 sukses merangkak ke dalam jajaran empat besar klasemen. Semoga saja hal ini menjadi pertanda bangkitnya Barcelona di masa mendatang.