Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Konflik Agraria: Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit, Dampak Negatif di Indonesia
11 Juni 2024 12:09 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 2 Juli 2024 7:47 WIB
Tulisan dari Farkhan Fardian Syah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit, Konflik Agraria, Perusahaan Besar, Investasi, Dampak Negatif
ADVERTISEMENT
Beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah tagar yang cukup menarik di Instagram. Tagar tersebut saya temukan pada unggahan salah satu kolega saya di Instagram. Isi tagar tersebut adalah #guegenerasisawit dan #generasisawit. Tagar ini mengampanyekan kepada masyarakat, khususnya kawula muda, dengan framing bahwa kelapa sawit merupakan komoditas adidaya. Dari kedua tagar tersebut, sebenarnya sudah jelas arah dan maksudnya. Sawit diframing sebagai komoditas yang manfaatnya sangat berguna bagi kehidupan.
Harus diakui, sawit memang memiliki daya ekonomis yang cukup tinggi. Industri sawit saat ini juga menjadi salah satu penyumbang devisa negara. Hal ini tidak lepas dari posisi industri kelapa sawit yang menjadi salah satu komoditas internasional dan kebutuhan pasar internasional. Karena nilai ekonomis dari produk kelapa sawit ini terbilang menjanjikan, negara dalam beberapa tahun terakhir menggenjot pembangunan di sektor perkebunan kelapa sawit.
ADVERTISEMENT
Untuk memenuhi kebutuhan investasi kelapa sawit, negara membuka karpet merah bagi perusahaan-perusahaan, baik milik negara, swasta, maupun transnasional. Perusahaan-perusahaan besar seperti Jardine Matheson Group melalui PT Astra Agro Lestari Tbk, DSN Group melalui PT Dharma Satya Nusantara Tbk, Tanjung Lingga Group melalui PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk, Sampoerna Group melalui PT Sampoerna Agro Tbk, Rajawali Group melalui PT Eagle High Plantations Tbk, dan lain-lain, saat ini menguasai ekspansi kelapa sawit di tanah air.
Indonesia menjadi penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan produksi mencapai 48,68 juta ton (angka sementara) pada 2018. Jumlah tersebut terdiri atas 40,57 juta ton minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) dan 8,11 juta ton minyak inti sawit (Palm Kernel Oil/PKO). Luas kebun sawit Indonesia yang digenjot pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta, dan petani-petani sawit, dicanangkan mencapai 20 juta hektare pada tahun 2025. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, lahan sawit Indonesia mencapai 14,23 juta hektare (ha). Angka tersebut terdiri atas 5,8 juta ha perkebunan rakyat, 635 ribu ha perkebunan besar negara, dan 7,88 juta ha perkebunan besar swasta.
ADVERTISEMENT
Banyak orang mungkin berpendapat bahwa hasil dari olahan kelapa sawit memiliki profitabilitas yang sangat tinggi. Namun, di balik itu terdapat berbagai dampak negatif dari ekspansi kelapa sawit di Indonesia. Konflik agraria adalah salah satu dari sekian banyak dampak buruk dari industri kelapa sawit. Berdasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria, konflik agraria di sektor perkebunan selama tahun 2018 saja mencapai sedikitnya 144 kasus (35 persen), yang merupakan yang tertinggi dari konflik agraria di sektor lain. Dari 144 konflik agraria itu, 83 kasus atau 60 persen terjadi di perkebunan kelapa sawit. Konflik agraria paling banyak tersebar di provinsi Riau, yakni sebanyak 42 kasus. Posisi Riau kemudian disusul Jawa Timur dengan 35 kasus, Sumatera Selatan dengan 28 kasus, Jawa Barat dengan 28 kasus, Lampung dengan 26 kasus, Sumatera Utara dengan 23 kasus, Banten dengan 22 kasus, Aceh dengan 21 kasus, Kalimantan Tengah dengan 17 kasus, dan DKI Jakarta dengan 17 kasus.
ADVERTISEMENT
Konflik agraria struktural ini bisa terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya adalah alih fungsi lahan. Dengan alasan pembangunan, pemerintah mengalihfungsikan lahan seperti sawah, ladang, dan kebun yang jumlahnya mencapai ribuan hektare demi pembangunan sektor perkebunan kelapa sawit. Pengalihfungsian lahan ini tentu berdampak kurang baik, pasalnya lahan-lahan pertanian yang semestinya dapat berproduksi menjadi tergeser oleh dominasi kelapa sawit. Belum lagi jika perkebunan kelapa sawit berada di dekat pemukiman warga, ekspansi perkebunan kelapa sawit tidak hanya akan membuat warga kehilangan lahan mereka, tetapi juga akan terserap sebagai tenaga kerja murah. Hal semacam ini jelas akan menimbulkan kesenjangan ekonomi antara perusahaan dengan penduduk sekitar perkebunan kelapa sawit.
Selain itu, dalam proses pembangunan perkebunan kelapa sawit juga seringkali terjadi akuisisi lahan secara sepihak oleh korporasi kelapa sawit. Akuisisi lahan atau pengalihan hak guna ulayat oleh korporasi kelapa sawit seringkali menggeser sistem kepemilikan tanah oleh masyarakat adat. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya kebijakan dari negara yang melindungi hak ulayat milik masyarakat. Negara justru turut ambil bagian dalam korporasi. Alhasil, berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh negara tidak memihak kepada rakyat kecil dan masyarakat adat, melainkan untuk menunjang kepentingan korporasi. Mempertentangkan kepemilikan tradisional dan bahkan menghilangkan sama sekali hak guna tradisional serta menggantinya dengan sistem hukum formal justru kontraproduktif (Angelsen, dkk., 2010) dan berpotensi menimbulkan konflik sosial (Haug, 2007).
ADVERTISEMENT
Pemberian izin/hak/konsesi oleh pejabat publik (Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, Kepala BPN, Gubernur, dan Bupati) yang memasukkan tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan sekelompok rakyat ke dalam konsesi badan-badan usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun konservasi sangat rentan mengalami konflik perebutan lahan (Rachman, 2007). Melalui sistem HGU yang diberikan pemerintah kepada korporasi sawit, berbagai perusahaan kelapa sawit dengan mudah mencaplok tanah adat milik warga. Ruang hidup rakyat menyempit, yang diiringi berkurangnya kemandirian rakyat untuk memenuhi kebutuhan pangan utamanya akibat eksklusi tersebut. Hal semacam inilah yang kemudian menimbulkan perlawanan dari masyarakat. Konflik agraria akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit akan terus terjadi dan berkepanjangan selama belum ada kebijakan yang mengakomodasi kepentingan rakyat.
Tema konflik tidak pernah beranjak dari perebutan tanah antara petani melawan negara dan kaum pemodal serta adanya kebijakan yang merugikan rakyat kecil (Zunariyah, 2012). Reforma agraria yang sejak beberapa tahun silam digembar-gemborkan hingga kini juga belum memihak pada kepentingan rakyat kecil. Pemerintah bersama korporasi terlalu bergantung terhadap industri kelapa sawit dan menganggap perkebunan kelapa sawit sebagai sektor ekonomi yang menjanjikan. Atas dasar dampak negatif yang salah satunya adalah konflik agraria, maka perlu kiranya persoalan ekspansi kelapa sawit ini kita kritisi bersama.
ADVERTISEMENT
Referensi
1. Zunariyah, S. (2012). Dilema Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. eprints.uns.ac.id. Vol 20(4).
2. Angelsen, A. (Ed.). (2010). Mewujudkan REDD+: Strategi Nasional dan Berbagai Pilihan Kebijakan. Bogor: Center for International Forestry Research.
3. Rachman, N. F. (2013). Rantai Penjelas dari Konflik-konflik Agraria yang Kronik, Sistematik, dan Meluas di Indonesia. Bhumi. Vol 12 (37).
4. Haug, M. (2007). Kemiskinan dan Desentralisasi di Kutai Barat: Dampak Otonomi Daerah terhadap Kesejahteraan Dayak Benuaq. Bogor: Center for International Forestry Research.
5. Thomas, V. F. (2019). KPA: Konflik Agraria di Sektor Perkebunan Tinggi karena Sawit. Diakses dari https://tirto.id/kpa-konflik-agraria-di-sektor-perkebunan-tinggi-karena-sawit-ddcL pada 18 Juli 2020.
6. Konsorsium Pembaruan Agraria. (2018). Masa Depan Reforma Agraria Melampaui Tahun Politik. Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria.
ADVERTISEMENT
#Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia