Konten dari Pengguna
Membuka Jalan: Fasilitas Pendidikan Inklusif sebagai Harapan Disabilitas
4 Juni 2025 7:51 WIB
·
waktu baca 3 menitKiriman Pengguna
Membuka Jalan: Fasilitas Pendidikan Inklusif sebagai Harapan Disabilitas
Inklusi bukan sekadar fasilitas, tapi soal keadilan. Saat akses dibuka, mimpi disabilitas tumbuh. Mari wujudkan ruang belajar yang setara, bebas stigma, dan ramah semua kemampuan.M Farouk Ubaidillah

Tulisan dari M Farouk Ubaidillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Namanya Hansel Samosir, seorang mahasiswa penyandang disabilitas yang berhasil meraih gelar Sarjana Psikologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Pencapaian Hansel bukan hanya menjadi kebanggaan pribadi, tetapi juga simbol harapan bagi ribuan penyandang disabilitas di Indonesia. Keberhasilannya membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk meraih mimpi, selama dukungan sistem pendidikan yang inklusif dan fasilitas yang memadai tersedia. Di Universitas Brawijaya, komitmen terhadap inklusi diwujudkan dalam bentuk nyata: jalur khusus kursi roda, lift aksesibel, hingga layanan pendamping belajar yang membuat kampus ini menjadi ruang yang setara bagi semua (Widodo, 2019, 95). Hansel adalah bukti nyata bahwa inklusi bukan sekadar jargon, melainkan kenyataan yang membuka jalan menuju kesetaraan.
ADVERTISEMENT
Kisah ini menjadi pintu masuk untuk memahami bahwa disabilitas bukan semata persoalan individu, melainkan juga konstruksi sosial yang membatasi—sebuah gagasan yang dijelaskan secara mendalam dalam Social Model of Disability. Disabilitas, menurut Social Model of Disability yang dipopulerkan oleh Michael Oliver, dipahami bukan sebagai akibat langsung dari kondisi tubuh atau keterbatasan fisik seseorang, melainkan sebagai hasil dari hambatan lingkungan dan sosial yang diciptakan oleh masyarakat (M. Anshari, 2020, 37). Model ini menegaskan bahwa yang membuat seseorang menjadi “disabilitas” adalah adanya penghalang fisik, sikap negatif, serta sistem sosial yang tidak inklusif—misalnya, bangunan tanpa akses ramah kursi roda, transportasi umum yang tidak dapat diakses, atau prasangka yang membatasi kesempatan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial (Yilmaz, 2023). Dengan demikian, Social Model of Disability menggeser fokus dari “memperbaiki” individu ke upaya menghilangkan hambatan yang ada di lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Pendekatan ini sangat kontras dengan Medical Model dan Charity Model yang lebih lama. Dalam jurnal “Medical Model vs Social Model of Disability” Australian Federation of Disability Organization, menjelaskan jika Medical Model melihat disabilitas sebagai masalah individu yang berasal dari “cacat” atau kekurangan fisik/mental yang harus diobati atau diperbaiki melalui intervensi medis, sehingga beban perubahan ada pada individu itu sendiri. Sementara itu, Yilmaz (2023) menegaskan jika Charity Model memandang disabilitas sebagai tragedi pribadi yang membutuhkan belas kasihan dan bantuan dari masyarakat, sehingga penyandang disabilitas seringkali diposisikan sebagai objek belas kasihan dan ketergantungan. Kedua pendekatan lama ini cenderung menyalahkan individu dan memperkuat stigma, sedangkan Social Model of Disability menekankan pentingnya perubahan sistemik dan sosial agar masyarakat menjadi lebih inklusif dan setara bagi semua orang, tanpa memandang perbedaan kemampuan.
ADVERTISEMENT
Di tengah upaya mendorong pendidikan yang inklusif dan berkeadilan, Universitas Brawijaya (UB) terus menunjukkan komitmennya sebagai kampus ramah disabilitas dengan menyediakan berbagai fasilitas yang mendukung aksesibilitas bagi mahasiswa difabel. Mulai dari jalur khusus kursi roda, lift yang mudah dijangkau, hingga layanan pendampingan belajar, UB menjadikan inklusi bukan sekadar wacana, melainkan praktik nyata yang memberi harapan serta ruang yang setara bagi semua kalangan. Selain itu, UB juga mengadaptasi kurikulum dan menyediakan jalur masuk khusus bagi calon mahasiswa disabilitas melalui program seleksi afirmatif, yang menunjukkan perhatian serius terhadap kebutuhan mereka agar mendapatkan kesempatan yang setara dalam pendidikan tinggi (Nugroho, 2024). Komitmen ini juga mendapat pengakuan luas, sebagaimana dilaporkan dalam laman resmi FMIPA UB: UB menerima penghargaan dari Komisi Informasi Pusat (KIP) sebagai Kampus Ramah Disabilitas pada tahun 2023, meraih peringkat ke-4 dunia dalam pemeringkatan UNESA-Dimetric kategori universitas ramah disabilitas pada 2022, serta penghargaan internasional dari Zero Project yang diselenggarakan di markas PBB, Wina, pada 2020 atas inovasi kebijakan pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas. Dengan demikian, langkah-langkah yang dilakukan oleh UB sejalan dengan prinsip Social Model of Disability yang menekankan pentingnya perubahan sistem dan lingkungan guna menciptakan kesetaraan dan inklusi bagi semua individu tanpa menyalahkan kondisi tubuh individu tersebut (Nugroho, 2024).
ADVERTISEMENT
Gagasan ini menjadi simbol harapan dan kekuatan bagi mahasiswa penyandang disabilitas, bahwa dengan adanya fasilitas dan kebijakan pendidikan yang mendukung inklusivitas, mereka mampu untuk meraih prestasi akademik dan berkontribusi secara aktif dalam kehidupan kampus. Lingkungan inklusif tidak hanya akan mendorong peningkatan kepercayaan diri, tetapi turut memperluas jejaring sosial, dan menumbuhkan semangat untuk terus berprestasi (Aliah, 2024). Adanya situasi ini, menjadi peluang besar bagi seluruh pihak—mulai dari pimpinan universitas, dosen, staf, mahasiswa, hingga masyarakat luas—untuk bersama-sama mendukung transformasi sosial menuju kampus yang benar-benar inklusif dan ramah bagi semua. Dukungan kolektif ini penting agar hambatan yang tersisa dapat dihapuskan secara menyeluruh, sehingga penyandang disabilitas dapat menikmati hak dan kesempatan yang setara dalam pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Pendidikan inklusif bukanlah soal belas kasihan atau sekadar tindakan amal, melainkan merupakan kewajiban struktural yang harus dipenuhi untuk menciptakan kesetaraan bagi semua individu, termasuk penyandang disabilitas. Pendekatan Social Model of Disability memberikan kita cara pandang baru yang revolusioner, yaitu bahwa solusi atas disabilitas tidak terletak pada upaya memperbaiki tubuh individu, melainkan pada memperbaiki sistem dan menghilangkan hambatan sosial serta lingkungan yang menghalangi partisipasi penuh mereka. Oleh karena itu, sudah saatnya kita bersama-sama mendorong perubahan yang nyata dan berkelanjutan, karena inklusi bukanlah pemberian, melainkan pengakuan hak sebagai manusia seutuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aliah, V. H. (2024, Januari 4). Empowerment Melalui Inklusif: Peran Pendidikan Inklusif dalam Membangun Kepercayaan Diri Siswa Berkebutuhan Khusus. Ruang Kelas. https://www.kompasiana.com/viaaliah/6596e2c8de948f6a2e4f642b/empowerment-melalui-inklusif-peran-pendidikan-inklusif-dalam-membangun-kepercayaan-diri-siswa-berkebutuhan-khusus?page=2&page_images=2
ADVERTISEMENT
FMIPA Universitas Brawijaya. (n.d.). UB Terima Penghargaan Sebagai Kampus Ramah Disabilitas. Berita. https://mipa.ub.ac.id/ub-terima-penghargaan-sebagai-kampus-ramah-disabilitas/
M. Anshari. (2020, Juni 2). Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur. Jurnal Pendidikan dan Islam Kontemporer, 1(1), 35-40.
Nugroho, A. D. (2024, Juni 04). Universitas Brawijaya Berkomitmen Mewujudkan Kampus Ramah Disabilitas. Postingan. https://retizen.republika.co.id/posts/311095/universitas-brawijaya-berkomitmen-mewujudkan-kampus-ramah-disabilitas
Widodo, C. S. (2019). Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif Pada Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya. 1-139.
Yilmaz, G. (2023, Juli 15). Theoretical Models of Disabilities: Part 7 –Understanding the Charity Model of disability. Accessbility. https://blogs.perficient.com/2023/07/15/theoretical-models-of-disabilities-part-7-understanding-the-charity-model-of-disability/