Konten dari Pengguna

Balada Rezim Energi, Penanak Nasi, dan Implementasi Setengah Hati

Farrel Ahmad Syakur
Mahasiswa S1 Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM
22 Juli 2024 17:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farrel Ahmad Syakur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tempo penghujung tahun lalu, Kementerian ESDM mengeluarkan Permen ESDM No.11 Tahun 2023 tentang Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik Bagi Rumah Tangga. Peraturan ini mengatur program pendistribusian AML berupa rice cooker ke rumah tangga yang memenuhi kriteria dengan tujuan mengurangi impor LPG, meningkatkan konsumsi listrik per kapita, dan mendorong pemanfaatan teknologi memasak energi bersih. Kebijakan ini mengundang banyak kontroversi, mulai dari persoalan urgensi, momentum, hingga kecacatan pada proses implementasi. Dalam kajian singkat ini, tulisan akan difokuskan pada analisis policy regimes serta kaitannya dengan proses dan outcomes implementasi kebijakan pendistribusian AML rice cooker tersebut.
ADVERTISEMENT

Membedah Policy Regimes di Sektor Energi

Rezim kebijakan atau policy regimes merupakan satu pisau analisis yang cukup tajam dalam melihat aspek institusional dari dinamika implementasi suatu kebijakan. Secara konseptual, definisi yang umum dari policy regimes mengacu kepada May & Jochim (2013) dalam artikelnya “Policy regime perspectives: Policies, politics, and governing” yang mendefinisikan policy regimes sebagai suatu tatanan pemerintahan yang mengatur penanganan masalah kebijakan, mencakup tiga elemen: (i) institutional arrangement, (ii) idea, dan (iii) interest. Lebih lanjut, May (2015) menambahkan bahwa diskursus terkait policy regimes ini merupakan aspek sentral dalam proses implementasi kebijakan yang berfunsi sebagai arena implementasi kebijakan, pengatur dinamika aktivitas, pendistribusian sumber daya, atau dapat pula menjadi pemberi beban pada implementasi kebijakan. Dalam konteks kasus ini, tulisan ini akan membedah polah policy regimes sektor energi Indonesia dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan Permen ESDM No. 11 Tahun 2023.
Gambar 1: Institutional Arrangement Rezim Kebijakan Sektor Energi Kelistrikan Indonesia (Marquardt, 2014)
Pertama, Marquardt (2014) dalam kajiannya “A Struggle of Multi-level Governance: Promoting Renewable Energy in Indonesia” menjelaskan aspek institutional arrangement dari rezim energi (terutama sektor kelistrikan) Indonesia terbentuk dalam suatu konstruksi multi-level governance yang melibatkan tiga aktor utama: Perusahaan Listrik Negara (PLN) selaku pengelola struktur pasar dan sistem kelistrikan, Pemerintah Pusat selaku penyedia kerangka kebijakan, dan Pemerintah Daerah selaku pemangku kepentingan koordinatif yang berwenang menerima/menolak suatu projek. Dalam peninjauan lebih lanjut, kajian Kennedy (2018) dalam artikel “Indonesia’s energy transition and its contradictions: Emerging geographies of energy and finance” menambahkan temuan penting bahwasanya PLN menjadi satu aktor yang paling mendominasi dalam kelembagaan rezim energi kelistrikan di Indonesia dan seringkali berbenturan pengaruh dengan Kementerian ESDM hingga menciptakan konstruksi kebijakan energi yang tidak stabil.
ADVERTISEMENT
Kedua, aspek idea dalam kasus ini merefleksikan komitmen rezim terhadap ide transisi energi bersih. Ide transisi energi bersih dalam kebijakan ini selaras dengan pernyataan dalam dokumen Permen ESDM No.11 Tahun 2023 yang menekankan tujuan pendistribusian rice cooker ini sebagai upaya pengurangan impor LPG dan peralihan teknologi energi bersih (listrik). Akan tetapi, idea tersebut juga tak bisa kita lepaskan dari aspek ketiga yakni aspek interest atau kepentingan rezim kebijakan. Dalam hal ini, konteks interest/kepentingan pengejaran profit penggunaan daya listrik dari rezim energi PLN menjadi hal yang tak bisa ditampik. Hal itu dibuktikan dengan fakta PLN yang tengah menghadapi persoalan oversupply atau kelebihan pasokan listrik tidak terserap hingga sebesar 40% atau setara 6 Giga Watt pada 2023 lalu. Berbagai data tersebut memicu dugaan pengamat kebijakan, Trubus Rahadiasyah, mengenai kepentingan tersembunyi program ini sebagai upaya koersif bagi masyarakat miskin untuk mau tidak mau meningkatkan konsumsi daya listriknya seiring eksistensi perabot listrik baru di rumah mereka masing-masing.
ADVERTISEMENT
Kombinasi antara kerapuhan institusi serta cacatnya konfigurasi kepentingan dari rezim energi tersebut pada akhirnya menghadirkan proses implementasi yang “setengah hati” pada program ini. Kecacatan pertama terdapat pada ketidaktepatan translasi policy desire/hasrat kebijakan transisi energi bersih. Dalam kasus kebijakan ini, hasrat transisi energi bersih kebijakan tersebut gagal diterjemahkan secara optimal dengan pemilihan instrumen rice cooker yang menurut pakar ekonomi energi, Fahmy Radhi, dinilai tidak efektif untuk pengurangan emisi karbon. Kecacatan selanjutnya terdapat pada ketidaksiapan proses administrasi yang menyebabkan mundurnya jadwal pendistribusian AML yang pada awalnya ditargetkan terlaksana pada November 2023 hingga baru tersampaikan pada Januari 2024. Terakhir, terdapat gelagat implementasi “setengah hati” yang ditemukan oleh Komisi VII DPR RI berupa ketidakjelasan akuntabilitas penyalur dan penerima serta ketidakhadiran Kementerian ESDM pada proses pengawasan pendistribusian AML di lapangan.
ADVERTISEMENT

Menakar Implementation Outcomes

Beranjak pada poin analisis berikutnya, diperlukan suatu analisis untuk melihat policy outcomes dari kecacatan policy regimes dan implementasi kebijakan pendistribusian rice cooker tersebut. Dalam hal ini, kajian policy outcomes akan dilakukan berdasarkan framework May & Jochim (2013) yang merumuskan efek umpan balik dari policy regimes terhadap outcomes yang terdiri dari: (i) policy legitimacy yaitu tingkat penerimaan institusi terhadap kebijakan; (ii) policy coherency yaitu tingkat konsistensi pelaksanaan kebijakan; dan (iii) policy durability yaitu tingkat keberlanjutan komitmen pelaksanaan kebijakan.
Berdasarkan framework May & Jochim (2013) tersebut, dapat dilihat bahwa implementasi kebijakan pendistribusian AML ini gagal memberikan outcomes yang optimal dari sisi kelembagaan. Pertama, kebijakan pendistribusian rice cooker ini tidak terlegitimasi dan hasil implementasinya justru dihadapkan pada resistensi dari Komisi VII DPR yang berdasarkan berbagai kecacatannya hingga memunculkan tuntutan audit BPK. Kedua, kebijakan ini gagal terlaksana secara koheren dibuktikan dengan ketidakjelasan administrasi dan pengawasan serta realisasi yang hanya mencapai 68,5% target unit. Ketiga, kebijakan ini juga tidak berlangsung secara berkelanjutan. Hal tersebut terlihat jelas dari penghentian penyaluran rice cooker oleh Kementerian ESDM pada Januari 2024 yang lalu, bahkan penghentian tersebut diteken sebelum pelaksanaan di lapangan mencapai target 500 ribu unit.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan dan Catatan Kebijakan

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa policy regimes Indonesia di sektor energi masih berada pada posisi yang tidak ideal dan akhirnya memberi beban pada proses implementasi serta outcomes kebijakan pendistribusian AML. Adapun rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan temuan masalah ini, antara lain:
1. Perbaikan tatanan institusional policy regimes di sektor energi untuk menciptakan tata kelola multi-level governance yang sinergis dan meminimalisasi orientasi “profit-driven” dalam kebijakan publik di sektor energi sesuai amanat Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945.
2. Persiapan statute implementasi kebijakan yang lebih matang, evidence-based, dan memberikan kejelasan yang rinci terkait mekanisme implementasi dari level atas hingga bawah.
3. Peningkatan kedisiplinan lembaga terkait dalam proses monitoring dari tahap pendataan hingga pendistribusian untuk memastikan implementasi kebijakan yang tepat sasaran.
ADVERTISEMENT