Konten dari Pengguna

Ngobrol Campur Bahasa: Apa Pengaruhnya ke Psikologi Kita?

Farrel Firjatullah
Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta
10 Desember 2024 17:12 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farrel Firjatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi orang mengobrol (sumber: pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang mengobrol (sumber: pexels)
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda mendengar seseorang berbicara dua bahasa sekaligus? Dalam masyarakat bilingual atau multilingual, fenomena ini sering terjadi, yang disebut code-switching atau code-mixing. Mengapa hal ini terjadi, dan apa yang menyebabkan orang beralih dari satu bahasa ke bahasa lain dengan mudah?
ADVERTISEMENT
Blackburn (2018) menjelaskan kalau otak bilingual punya kemampuan luar biasa buat ngobrol dalam lebih dari satu bahasa sekaligus. Proses ini melibatkan kerja otak yang cukup rumit, seperti mengatur fokus dan memori, supaya kita bisa pilih kata dan tata bahasa yang pas dengan situasi.
Lewat artikel ini, kita akan membahas apa itu ngobrol campur bahasa dan apa pengaruhnya pada psikologis orang yang mengobrol dengan mencampurkan bahasa.
Apa itu Ngobrol Campur Bahasa?
Ngobrol campur bahasa atau code-mixing adalah saat seseorang pakai dua atau lebih bahasa dalam satu percakapan, baik sengaja maupun tidak. Menurut Blackburn (2018), otak manusia punya kemampuan unik buat ngatur beberapa bahasa sekaligus. Hal ini bikin kita bisa pindah atau mencampurkan bahasa dengan mudah. Prosesnya nggak cuma soal bahasa, tapi juga melibatkan kerja otak, seperti mengatur fokus dan ingatan, supaya kita bisa pilih bahasa yang paling pas sesuai situasinya.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini sering banget ditemui di masyarakat yang bisa dua bahasa atau lebih. Campur-campur bahasa biasanya jadi cara yang efektif buat menyampaikan ide, perasaan, atau biar maksudnya lebih jelas. Kebiasaan ini bisa muncul karena banyak hal, seperti konteks ngobrol, kebiasaan sehari-hari, atau mungkin karena kurang tahu kosakata di salah satu bahasa.
Campur Bahasa dalam Konteks Sosial dan Budaya
Ngobrol campur-campur bahasa itu nggak Cuma soal bahasa, tapi juga ada hubungannya dengan aspek sosial dan budaya. Dalam kehidupan sehari-hari, nyampur bahasa sering dipakai buat menunjukkan identitas, rasa kebersamaan, atau kedekatan dengan kelompok tertentu. Menurut Blackburn (2018), otak bilingual bisa menyesuaikan diri dengan konteks sosial dan budaya, sehingga kita otomatis pakai bahasa yang paling cocok sama lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Dampak Psikologis dari Ngobrol Campur Bahasa
Ngobrol campur bahasa punya dampak psikologis yang cukup rumit, baik yang positif maupun negatif. Dari sisi positif, Blackburn (2018) mengatakan kalau bilingualisme, termasuk code-mixing, bisa bikin otak lebih fleksibel, meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, dan membantu kontrol perhatian. Karena otak terus-menerus beralih antara dua bahasa, ini juga melatih bagian depan otak yang mengatur pengendalian diri.
Tapi, di sisi lain, ada tantangan psikologis, misalnya rasa minder atau stigma yang dirasakan beberapa orang. Ada yang menganggap campur bahasa itu berarti nggak bisa berbahasa dengan baik, yang bisa bikin orang kurang percaya diri. Blackburn sendiri mengatakan penting untuk mengerti kalau campur bahasa itu bagian alami dari bilingualisme dan seharusnya dianggap sebagai kemampuan, bukan kelemahan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Dalam kehidupan sehari-hari, ngobrol campur bahasa bisa bikin komunikasi lebih gampang, nunjukin kedekatan, atau sesuaikan suasana. Secara psikologis, ini punya banyak manfaat, seperti melatih otak buat lebih fleksibel, meski terkadang bisa bikin muncul stigma negatif. Intinya, campur bahasa itu bagian alami dari kehidupan bilingual yang nunjukin kemampuan hebat otak manusia.
Referensi
Blackburn, A. M. (2018). The bilingual brain. In J. Altarriba & R. R. Heredia (Eds.), An introduction to bilingualism: Principles and processes (2nd ed., pp. 107–138). Routledge/Taylor & Francis Group.