Konten dari Pengguna

Mentalitas Remaja Milenial: Ketika Budaya Asing Lebih Menarik dari Pancasila

Farrel Ravidinata
Sedang menempuh pendidikan di Universitas Jember, Fakultas Kedokteran. Menjadi seorang yang tak mudah menyerah.
7 April 2022 20:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farrel Ravidinata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Contoh budaya asing dari Korea. Foto: Foto pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Contoh budaya asing dari Korea. Foto: Foto pribadi
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai Pancasila, tentunya tidak asing di telinga kita sebagai warga negara Indonesia. Jika ditanya tentang Pancasila, hampir semua orang akan menjawab Pancasila adalah dasar negara yang berisi lima sila. Mereka tahu bahwa Pancasila adalah ideologi negara tapi tidak semua paham maksud dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Apalagi di era globalisasi, semua informasi dapat masuk tanpa tersaring semakin membuat generasi muda yang kini disebut sebagai remaja milenial tidak memahami secara jelas Pancasila sebagai identitas nasional.
ADVERTISEMENT
Memang benar, identitas nasional tak hanya Pancasila. Namun, mengapa Pancasila penting untuk dipahami dan direalisasikan dalam kehidupan setiap warga negara Indonesia? Karena Pancasila merupakan dasar untuk membentuk hukum di Indonesia. Selain itu, Pancasila juga harus menjadi pandangan hidup bangsa. Bahkan tak cukup hanya menjadi pandangan, tetapi harus bisa tercermin dalam setiap perbuatan dan sikap warga negara Indonesia.
Remaja milenial yang erat kaitannya dengan kecanggihan teknologi sangat berbeda jauh dengan remaja di awal selesainya Orde Baru. Budaya bangsa Indonesia dianggap sudah ketinggalan zaman, terlalu banyak aturan mengikat, hingga dirasa tidak keren dan tidak menarik layaknya budaya asing oleh remaja milenial. Sebagai contoh, dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, sering kita temukan kalimat untuk mencintai dan menggunakan produk lokal, bangga dengan beragam kesenian Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada kenyataannya, remaja sekarang memilih untuk mendengar lagu berbahasa Inggris daripada lagu daerah, bergaya seperti artis dan aktor Korea, ataupun mengikuti budaya negara Barat. Banyak generasi muda kini yang tidak tahu lagu daerah namun hafal setiap lirik lagu berbahasa Inggris dan Korea. Lebih parahnya lagi, mereka bangga ketika bisa memiliki barang artis dan aktor tersebut namun tidak mau mengenakan produk lokal karena malu. Beranggapan bahwa produk lokal bukan hal yang layak diperkenalkan ke khalayak.
Di era globalisasi yang kian menguat, nilai Pancasila semakin tak terlihat. Adopsi budaya asing tanpa bersekat membuat budaya sendiri tenggelam di tengah pudarnya semangat. Terpampang di depan mata semakin banyaknya generasi muda yang tidak hafal isi dari Pancasila. Bukan hanya itu, mereka juga tidak hafal lagu kebangsaan Indonesia Raya, mungkin juga tidak tahu apa lambang negara Indonesia. Jangankan merealisasikannya dalam kehidupan, mengerti isinya saja hanya setengah atau mungkin benar-benar tidak tahu. Miris memang, namun itulah kenyataannya.
ADVERTISEMENT
Mentalitas bangsa kini patut dipertanyakan. Bagaimana nasib Indonesia dalam 10 tahun ke depan jika generasi muda tidak peduli dengan perkembangan bangsanya? Bagaimana Indonesia akan tetap berdiri ketika mentalitas generasi muda adalah budaya asing dan menganggap budaya sendiri ketinggalan zaman? Hal ini sangat disayangkan mengingat jumlah penduduk Indonesia cukup mumpuni seharusnya untuk membangun negeri.
Memudarnya nilai-nilai Pancasila, membuat sebagian orang bertanya “Di manakah Pancasila saat ini?” atau “sudah matikah Pancasila di Indonesia?”. Pancasila akan selalu ada selama negara Indonesia berdiri. Namun pertanyaannya, sampai kapan Indonesia akan kokoh berdiri ketika nilai-nilai Pancasila semakin pudar di kalangan remajanya kini?