Konten dari Pengguna

Favoritisme Sekolah: antara Meratakan atau Merayakan

Farrel Ryandanendra Putra
Mahasiswa Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada yang tertarik pada isu sosial dan kreatif.
13 Desember 2023 9:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farrel Ryandanendra Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pembelajaran siswa dalam kelas di sekolah (sumber: UNICEF)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembelajaran siswa dalam kelas di sekolah (sumber: UNICEF)
ADVERTISEMENT
Menjalankan dua belas tahun wajib belajar di Kota Pelajar justru seolah membuka mata akan kompleksitas dalam dunia pendidikan. Seorang kawan teringat akan momen di wisuda kelulusan pendidikan menengah pertamanya sekitar lima tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Di hadapan auditorium yang meriah lengkap dengan hadirin berpakaian Jawa formal dan kebanyakan berkalung samir, seorang figur publik diundang untuk naik ke atas panggung untuk memberikan sambutan di hadapan wisudawan, guru, dan para wali.
Sambutannya, "Jangan khawatir setelah lulus dari sini, jalur suksesnya pindah ke SMA sebelahnya, kemudian kuliahnya ya geser dikit ke utara," disampaikan dengan semangat menggebu ala motivator, tetapi, secara tidak langsung mencitrakan sebuah jalur pendidikan yang tampaknya telah "ditata" dengan rapi.
Sebagai sekelompok siswa yang baru saja menyelesaikan tahap pendidikan menengah pertama, impian yang sama untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya tentu ada. Namun, realitasnya tidaklah seindah kata-kata sambutan yang kami dengar. Tidak semua dari kami memiliki kesempatan yang sama untuk melanjutkan ke "SMA sebelah", bahkan sampai universitas yang terletak "sedikit ke utara" itu.
Ilustrasi wisuda. Foto: Shutter Stock
Tatapan harap pada masa depan yang cerah seringkali tercipta di hadapan para siswa pada momen penting seperti wisuda. Namun, dalam banyak kasus, harapan tersebut tidaklah merata bagi setiap individu. Sambutan semangat di acara wisuda, yang menggambarkan jalur sukses yang tampaknya sudah “disiapkan”, seringkali mewakili keyakinan bahwa sekolah-sekolah tertentu memiliki jalur yang lebih "pasti" menuju kesuksesan, sementara yang lain dianggap kurang berharga atau tidak sepadan.
ADVERTISEMENT
Hal ini mengambrukkan pandangan terhadap keberagaman pengalaman pendidikan. Setiap siswa memiliki potensi dan kemampuan unik yang tidak dapat disederhanakan menjadi jalur yang telah ditentukan oleh faktor sekolah. Polemik struktural dalam pendidikan telah menjadi sorotan dalam berbagai wacana. Upaya reformasi, mulai dari penghapusan kelas Cerdas Istimewa, penghapusan pengumuman peringkat siswa, hingga sistem kebijakan zonasi sekolah, mencoba menghadapi permasalahan ini. Namun, hasilnya masih belum memuaskan.
Singkat cerita, pandemi Covid-19 menjadi pukulan berat bagi dunia pendidikan, terutama dalam pengukuran kemampuan dan seleksi siswa. Penghapusan Ujian Nasional pada tahun 2020 menyempitkan ruang penilaian lulus siswa hanya pada nilai rapor dan ... nilai akreditasi sekolah. Pertanyaannya, mengapa harus nilai akreditasi sekolah? Bukankah ini memperkuat keterbatasan akses dan peluang bagi siswa yang terkekang oleh kriteria tertentu dalam persaingan mendapatkan pendidikan lanjutan?
ADVERTISEMENT
Meskipun standarisasi sekolah dinilai sebagai penjamin kualitas yang seharusnya menyokong pemerataan pendidikan, kenyataannya, ada kompleksitas yang tidak bisa diremehkan. Siswa dari latar belakang pendidikan yang beragam sering dihadapkan pada tantangan yang tidak selalu teratasi oleh prestise semata.
Tidak semua siswa memiliki akses yang sama ke lembaga pendidikan yang dianggap superior dalam pandangan masyarakat. Oleh karena itu, esensi dari pencapaian akademis dan profesional tidak selalu terpaut pada institusi tempat mereka belajar. Penting untuk mengakui peran penting setiap institusi pendidikan dan meresapi nilai dari pencapaian siswa di berbagai lingkungan pendidikan.
Kesuksesan siswa tidak boleh diukur semata dari nama sekolah yang mereka hadiri. Siswa dari sekolah-sekolah yang mungkin kurang bergengsi juga menghadapi tantangan dan berjuang dengan tekun untuk meraih keberhasilan yang sama dalam karier mereka.
ADVERTISEMENT
Menghargai perbedaan pengalaman pendidikan dan memberikan kesempatan yang setara bagi semua siswa, tidak peduli dari mana asal mereka, adalah esensi utama dari pemerataan pendidikan yang sejati. Dengan memperluas pandangan dan menghormati perjuangan serta prestasi siswa dari beragam latar belakang pendidikan, perbedaan dapat dirangkul untuk memeratakan pendidikan yang lebih menyeluruh.
Kenyataannya, ironis bahwa pendidikan, yang seharusnya menjadi alat transformatif bagi pertumbuhan individu, justru menjadi objek stereotip dalam masyarakat. Ketika pandangan bahwa sekolah favorit merupakan lingkungan di mana kesuksesan adalah satu-satunya hasil yang dapat diterima, siswa di sekolah yang lain justru dicap sebagai siswa “buangan” yang pantas untuk masuk sekolah dengan stigma pinggiran karena kurang potensial.
Ibarat segregasi antara surga dan neraka, mereka merasa harus memenuhi harapan sosial untuk masuk ke sekolah yang dianggap favorit sebagai jalan menuju keberhasilan. Ini mengakibatkan banyak siswa memilih jalur pendidikan yang dianggap "terbaik" oleh masyarakat, tanpa mempertimbangkan minat atau bakat masing-masing padahal sejatinya, pendidikan menjadi alat yang membuka peluang, bukan batasan yang membatasi pertumbuhan dan perkembangan siswa.
ADVERTISEMENT

Mengubah Pandangan, Membangun Harapan: Arah Baru dalam Pendidikan

Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek
Sikap komprehensif harus diambil dalam menerima keragaman pengalaman pendidikan, memperluas pandangan tentang apa yang sesungguhnya merupakan kesuksesan, dan memastikan bahwa setiap siswa memiliki akses yang adil dan setara terhadap pendidikan berkualitas.
Inklusivitas, keadilan, dan penghargaan terhadap nilai-nilai individu dalam pendidikan adalah fondasi yang diperlukan agar pendidikan dapat menjadi alat pembebasan yang merata bagi semua siswa, bukan hanya bagi sebagian kecil dari mereka.
Dengan demikian, kunci utama bagi pendidikan tidak cukup hanya untuk memberi kebebasan secara merata, tetapi juga memberdayakan generasi mendatang untuk mencapai aktualisasi potensi tertinggi mereka. Namun, pertanyaan besar datang, apakah kita siap, sebagai masyarakat, untuk “merayakan” setiap pengalaman belajar siswa dan segala peluang unik yang akan datang kepada mereka?
ADVERTISEMENT