news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pengalaman Sehari-Hari Menjadi Murid Pertukaran Pelajar SMA di Jepang.

Farrell Hamzah Syuhada
Mahasiswa Studi Kejepangan di Universitas Airlangga. Saya tertarik untuk mengetahui tentang Jepang mulai dari sejarah, hobi, hingga budaya.
Konten dari Pengguna
14 Oktober 2022 20:25 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farrell Hamzah Syuhada tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Halaman depan sekolah. Foto: Dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Halaman depan sekolah. Foto: Dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
Jepang merupakan salah satu negara dengan destinasi wisata yang banyak sekali diincar oleh warga Indonesia maupun asing. Selain sebagai destinasi wisata, Jepang juga menjadi incaran bagi para pelajar yang ingin menimba ilmu ataupun pekerja yang ingin bekerja di Negeri Matahari Terbit tersebut.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri sudah lama memimpikan untuk merasakan rasanya sekolah di Jepang dan syukur mendapatkan kesempatan untuk dapat mengunjungi dan belajar di salah satu SMA negeri yang ada di Osaka, Jepang selama sebelas bulan.
Kehidupan sebagai seorang murid pertukaran pelajar di SMA di Jepang ternyata tidak begitu berbeda dengan di Indonesia. Tentu saja ada beberapa hal yang cukup berbeda dan membuat saya sedikit terkejut saat mengetahuinya.
Sekilas Mengenai SMA di Jepang
Sama seperti di Indonesia, di Jepang pendidikan juga dibagi menjadi tiga. Mulai dari SD, SMP, dan SMA. Lamanya pendidikan di SMA pun juga mencapai tiga tahun. Perbedaannya di Jepang wajib sekolah hanya sampai kelas sembilan alias kelas tiga SMP. Bagi orang yang tidak menginginkan masuk SMA atau sederajat juga tidak masalah. Namun, akan sulit menemukan pekerjaan bagus jika hanya sekedar lulusan SMP.
ADVERTISEMENT
1. Transportasi Umum
Saya sendiri tinggal di Prefektur Osaka di mana prefektur tersebut termasuk yang cukup padat. Kepadatan tersebut yang membuat prefektur ini mempunyai transportasi umum yang sangat bagus untuk menunjang kehidupan masyarakat Jepang.
Berbeda dengan murid SD dan SMP yang kebanyakan berjalan kaki, murid SMA di Jepang sudah diperbolehkan untuk mengendarai sepeda sendiri ke sekolah. Selain sepeda, kebanyakan murid SMA juga menaiki kendaraan umum seperti kereta maupun bus bagi yang rumahnya cukup jauh. Namun, murid SMA di Jepang tidak boleh membawa kendaraan seperti motor ataupun mobil sendiri ke sekolah. Selain karena lahan parkirnya yang tidak cukup, murid SMA juga masih dirasa terlalu kecil untuk membawa kendaraan motor ataupun mobil sendiri.
ADVERTISEMENT
Karena jarak antara tempat tinggal dan sekolah yang jauh, saya harus mengendarai sepeda sampai ke stasiun dan lanjut menaiki kereta api. Setelah tiba di stasiun terdekat dari sekolah, saya lanjut berjalan kaki selama sekitar tujuh menit. Rata-rata waktu yang ditempuh dari tempat tinggal menuju sekolah adalah sekitar dua puluh tujuh menit.
2. Pelajaran
Suasana di dalam kelas. Foto: Dokumentasi pribadi
Sekolah saya sendiri dimulai pukul setengah sembilan pagi. Sebelum pelajaran dimulai, wali kelas akan terlebih dahulu masuk dan memberikan homeroom kepada para siswa di kelas tersebut. Homeroom sendiri adalah kegiatan di mana wali kelas memberikan informasi, ataupun hanya sekedar menyapa dan memberikan semangat kepada para siswa untuk menjalani pembelajaran di sekolah. Setelah homeroom selesai maka akan langsung dilanjut ke pelajaran sekolah. Sama seperti di Indonesia, guru mata pelajaran tersebut akan datang ke kelas dan menyampaikan pelajarannya.
ADVERTISEMENT
Dalam satu hari terdapat enam mata pelajaran. Sebelum lanjut mata pelajaran berikutnya akan ada break selama 10 menit untuk menyiapkan barang-barang untuk pelajaran berikutnya atau ke kamar kecil sebentar.
3. Jam Istirahat
Jam istirahat yang saya gunakan untuk bermain sepak bola. Foto: Dokumentasi pribadi
Setelah menyelesaikan empat mata pelajaran, pukul setengah satu para siswa diberikan waktu istirahat selama empat puluh lima menit. Waktu istirahat ini dapat digunakan untuk makan siang, bermain, atau tidur di dalam kelas. Semua boleh dilakukan asal masih di dalam sekolah dan tidak diperbolehkan untuk keluar dari sekolah tanpa izin.
Untuk makan siang, SMA di Jepang menjual makanan di kantin sekolah, tetapi jika tidak ingin membeli di kantin, para siswa juga boleh sekali membawa bekal dari rumah. Berbeda dengan tingkat SD di mana sekolah yang menyediakan makanan untuk siswa, untuk SMA para siswa tidak lagi diberikan makan siang dari sekolah dan diperbolehkan memilih untuk makan siangnya sendiri.
ADVERTISEMENT
4. Kegiatan setelah sekolah.
Kegiatan ekstrakurikuler seni. Foto: Dokumentasi pribadi
Sekolah berakhir di pelajaran keenam pada pukul tiga sore. Setelah jam tiga sore para siswa sudah dapat diperbolehkan untuk keluar dari sekolah. Ada beberapa siswa yang masih harus di sekolah karena ada kegiatan ekstrakurikuler, ataupun pelajaran tambahan dari guru mereka jika masih ada yang tidak paham mengenai materi yang disampaikan.
Ada banyak sekali pilihan ekstrakurikuler mulai dari basket, sepak bola, bulu tangkis, musik, kaligrafi, ataupun yang hanya sekedar hobi seperti klub anime dan manga. Saya sendiri mengikuti kegiatan ekstrakurikuler kesenian di mana keseharian kami adalah menggambar. Selain menggambar terkadang kami juga mempunyai proyek untuk memamerkan lukisan kami di pameran luar sekolah.
5. Festival Sekolah dan Wisata Sekolah
Suasana ketika festival kebudayaan di halaman sekolah. Foto: Dokumentasi pribadi
Di sekolah-sekolah Jepang juga mengadakan kegiatan tahunan seperti festival kebudayaan dan juga festival olahraga. Dalam festival kebudayaan, para siswa membuat berbagai macam kreasi atau pun pentas seni seperti tarian, menyanyi, drama, atau mengubah kelas mereka menjadi ruangan bermain. Lalu ada juga festival olahraga di mana para siswa akan membuat tim dan bertanding olahraga dengan tim lainnya. Kelas saya sendiri pada saat festival kebudayaan menampilkan tarian modern. Untuk ekstrakurikuler kesenian, saya menampilkan beberapa pajangan lukisan yang pernah saya lukis dan memamerkannya di sekolah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, SMA di Jepang juga mengadakan kegiatan wisata sekolah. Beberapa di antaranya adalah kegiatan saat awal bulan pertama masuk sekolah di mana satu angkatan akan memanggang daging bersama dengan wali kelas mereka di luar sekolah. Lalu ada juga kegiatan wisata ke luar kota atau pun keluar negeri bersama satu angkatan. Namun, sayang sekali untuk yang kegiatan wisata saya tidak bisa ikut karena memang biaya untuk ikut cukup mahal dan siswa harus menanggung sendiri biayanya. Sekolah saya sendiri saat itu memilih Taiwan sebagai destinasi wisata.
Empat Fakta Mengenai SMA di Jepang
1. Boleh Tidur di Kelas
Teman sekelas yang tertidur di kelas. Foto: Dokumentasi pribadi
Tentu tidak semua sekolah, tetapi kebanyakan dan juga di sekolah saya sendiri, banyak guru yang mengizinkan muridnya tidur di kelas asal tidak mengganggu murid lain belajar. Hal ini lumrah karena guru mengetahui betapa lelahnya belajar hingga sore hari. Selain itu belum tentu para siswa akan langsung pulang, kebanyakan dari mereka akan pergi bekerja paruh waktu atau mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Karena itu para guru tidak seberapa memperhatikan jika muridnya tidur atau ketiduran di kelas, asal tidak mengganggu kegiatan pembelajaran.
ADVERTISEMENT
2. Seragam Sekolah Yang Keren, Namun Mahal
Tentu kita sering melihat baju-baju seragam SMA di Jepang yang terlihat keren dan lucu, tetapi ternyata harga dari seragam tersebut sama sekali tidak murah. Kira-kira harga satu set seragam tersebut mencapai empat hingga lima juta rupiah. Karena itu tidak semua sekolah mewajibkan penggunaan seragam. Ada beberapa SMA di Jepang yang memperbolehkan siswanya menggunakan pakaian bebas asal sopan. Untuk sekolah saya sendiri, para siswa wajib membeli seragam sekolah yang telah disediakan dan wajib untuk digunakan saat datang ke sekolah.
3. Masih Menggunakan Papan Tulis Kapur
Seberapa modern pun sekolahnya, seberapa mahal pun fasilitasnya, di Jepang sekolah masih menggunakan kapur. Walaupun SMA saya di Jepang adalah sekolah yang cukup tua, tetapi sudah banyak teknologi yang sudah dipasangkan di sekolah seperti proyektor, ruang komputer, dan lain-lain. Namun, di setiap kelas masih menggunakan kapur. Awalnya saya bingung mengapa tidak menggunakan spidol saja seperti di Indonesia. Namun, saya baru memahami setelah saya sudah berbulan-bulan belajar di SMA di Jepang. Kapur ternyata jauh lebih efektif. Selain membuat tulisan lebih tebal, kapur juga lebih nyaman dipakai dibandingkan spidol. Jika menggunakan spidol maka beberapa menit setelah spidol tersebut terpakai maka semakin lama akan semakin berkurang tingkat kegelapannya, kita harus mengistirahatkan spidol tersebut terlebih dahulu agar bisa dipakai lagi. Hal itu tidak akan terjadi jika kita menggunakan kapur karena selama kapur tersebut masih ada, maka tulisan yang dibuat di papan tulis akan tetap terlihat dan tidak memudar seperti spidol.
ADVERTISEMENT
4. Aturan Yang Ketat Mengenai Telepon Genggam
Aturan-aturan yang ada di SMA di Jepang juga sangat ketat dan jika kita melanggar maka dapat membuat kita menerima konsekuensi yang berat. Contoh saja di SMA saya saat di Jepang, sekolah tidak mengizinkan muridnya membawa telepon genggam masuk ke ruangan kelas. Telepon genggam diharuskan ditaruh di loker. Namun tentu saja ada beberapa siswa yang tidak patuh dan membawa masuk telepon genggam ke ruangan kelas. Pernah ada suatu kejadian yang saya alami di kelas di mana ada yang tidak sengaja lupa mematikan telepon genggamnya sehingga tidak sengaja keluar bunyi notifikasi. Seketika kelas langsung terdiam dan guru enggan melanjutkan pelajarannya sampai ada yang mengakui siapa yang membawa telepon genggamnya ke sekolah. Namun aturan seperti ini tidak diterapkan di semua sekolah. Hanya beberapa sekolah saja yang mempunyai aturan ketat mengenai telepon genggam.
ADVERTISEMENT
Kisah di atas adalah beberapa pengalaman yang saya alami saat menjadi murid pertukaran pelajar selama sebelas bulan di SMA di Jepang pada tahun 2019 lalu. Masih banyak hal-hal menarik dan edukatif lainnya mengenai pendidikan di Negeri Sakura tersebut. Saya berharap Indonesia juga dapat mencontoh nilai-nilai positif dari sekolah-sekolah di Jepang.