Hipokrisi: Ketimpangan antara Kata dan Tindakan

FATA AZMI
Guru Sekolah Dasar, Fasilitator Kelas Peradaban, Mahasiswa Magister Aqidah dan Filsafat Islam Pascasarjana STFI SADRA,
Konten dari Pengguna
8 Januari 2024 12:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FATA AZMI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : canva
zoom-in-whitePerbesar
sumber : canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hipokrisi, sebagai suatu fenomena yang sering kali tersembunyi di balik perilaku manusia, mencakup ketidaksesuaian antara apa yang kita katakan dan apa yang kita lakukan. Ini tidak hanya relevan pada tingkat individu, melainkan juga meresap dalam struktur sosial dan institusional, membentuk pola perilaku yang mengakar dalam tatanan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pertama-tama, perlu ditekankan bahwa kata "hipokrisi" berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti berakting atau berpura-pura, seiring waktu mengalami evolusi makna hingga mencakup ketidaksesuaian antara pernyataan dan tindakan. Dalam esensi, hipokrisi mencerminkan perbedaan antara retorika yang dinyatakan dan realitas yang dialami sebagai kontradiksi kehidupan manusia.
Seorang individu seringkali terjerat dalam hipokrisi ketika mereka berupaya menjaga citra positif di mata orang lain, tanpa mempertimbangkan sejauh mana tindakan mereka sesuai dengan nilai-nilai yang mereka klaim. Sebagai contoh, seseorang bisa menampilkan sikap ramah dan penuh perhatian di depan publik, namun di belakang layar, perilaku mereka mungkin jauh dari yang ditampilkan, bahkan menunjukkan tanda-tanda ketidakpedulian atau keangkuhan.
Ketidaksesuaian antara ucapan dan perilaku bukanlah hal yang terbatas pada tingkat individu saja. Kita dapat melihatnya tercermin dalam struktur sosial dan bahkan institusional. Misalnya, Di tengah sorotan panggung politik saat ini, terdapat pertunjukan dramatis yang dimainkan oleh para elite. Secara jelas mereka menegaskan dirinya sebagai pelopor demokrasi, sebuah wahana tempat suara rakyat dihargai dan dihormati. Ucapan-ucapan yang merdu tentang partisipasi warga dan keadilan sosial bergema di seluruh koridor kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Namun, belakangan ini, semakin sulit untuk mengabaikan kontras tajam antara kata-kata yang terucap dan realitas yang terungkap. Dibalik tirai retorika politik terdapat pola perilaku yang tidak selaras. Prinsip-prinsip demokrasi, yang dianggap sebagai pilar pondasi negara ini, tampaknya hanya menjadi dekorasi indah di dinding-dinding kekuasaan. Dalam teater hipokrisi politik ini, masyarakat tidak hanya disajikan dengan pertunjukan palsu, tetapi juga diberi pelajaran pahit tentang ketidaksesuaian yang mencolok antara ucapan dan perilaku.
Menggerus Hipokrisi
Dalam mengatasi hipokrisi, kesadaran adalah kunci utama. Individu dan masyarakat perlu secara aktif mengenali ketidaksesuaian ini dan berkomitmen untuk melakukan introspeksi. Langkah pertama adalah mengakui perbedaan antara nilai yang dipegang dan tindakan sehari-hari yang dilakukan. Hal ini memerlukan kecermatan dan kejujuran diri untuk mengidentifikasi area di mana hipokrisi mungkin merajalela.
ADVERTISEMENT
Introspeksi individu bukanlah tugas yang bisa diemban sepenuhnya oleh seseorang. Sebaliknya, diperlukan upaya bersama dalam membentuk pondasi yang kuat untuk membangun kesadaran diri dan integritas kolektif. Masyarakat sebagai suatu kesatuan perlu menanamkan budaya transparansi dan akuntabilitas sebagai pilar utama, memastikan bahwa nilai-nilai yang diakui secara deklaratif tidak hanya menjadi slogan kosong, tetapi tercermin dalam tindakan nyata sehari-hari. ini tidak terkecuali dalam pemerintah atau organisasi non-pemerintah, semua harus berkomitmen untuk menghilangkan hipokrisi dari operasional mereka.
Transparansi dan akuntabilitas bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk menciptakan perubahan sosial positif sehingga menjadi individu yang berintegritas. Penerapan langkah-langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat untuk menciptakan lingkungan di mana hipokrisi tidak diterima sebagai norma. Ini dapat mencakup perubahan kebijakan, reformasi institusional, penegakan hukum yang setara dan pendidikan yang mendorong pemahaman tentang implikasi hipokrisi dalam kehidupan bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Dengan menjadikan kesadaran, transparansi, dan akuntabilitas sebagai pilar perubahan, kita dapat mengurangi dampak negatif hipokrisi dalam kehidupan sosial. Tentu proses ini bukanlah perjalanan singkat. Dibutuhkan ketekunan dan tekad untuk merobohkan tembok hipokrisi yang terkadang menyamar sebagai norma. Namun, inilah langkah yang diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang sesuai dengan hati nurani, sebagaimana yang tercermin dalam kata-kata bijak dalam lirik lagu "Hio" karya Sawung Jabo. "Aku hanya tahu, bahwa orang hidup agar jangan mengingkari hati nurani."