news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Endapan Kenangan Politik Identitas Aktivis Kampus

Nurul Fatta
Penulis, Pemerhati Demokrasi dan Ekonomi Politik sekaligus Anggota Divisi Pendidikan Pemilih JPPR
Konten dari Pengguna
12 Agustus 2022 14:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Fatta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Delapan tahun silam, tepatnya tahun 2015. Sewaktu masih jadi anak jalanan di Situbondo. Di sebuah kontrakan, saya mendengar percakapan teman saya. sebut saja Antok dan Kutsi. Keduanya berasal dari kepulauan Madura. Mereka berbincang tentang pencalonan Ketua Komisariat PMII.
ADVERTISEMENT
“Kamu harus nyalon ketua komisariat, saya nanti mau nyalon Presiden BEM. Dari dulu motor penggerak di kampus ini orang-orang Madura. Madura harus tetap berkuasa coy.”
Diam-diam saya menguping, dan kalimat itu sangat jelas keluar dari mulut Antok. Usai itu, saya bertanya kepada Kutsi perihal yang mereka bicarakan. Berhubung Kutsi sangat dekat dengan saya, dia pun menceritakan ulang apa yang dibicarakan Antok itu. Saya pun juga mempertegas ke Kutsi, kalau saya juga mau mencalonkan diri sebagai Ketua Komisariat PMII.
“Kamu mau nyalon ketua komisariat? Kalau iya, saya lawannya.” Gertak saya saat itu.
“Enggak… Saya masih butuh banyak belajar. Saya siap kawal suara kamu kok, bahkan meskipun diasingkan dari golongan saya sendiri” tegas Kutsi saat itu.
ADVERTISEMENT
“Kita sama-sama darah madura, bedanya saya lahir dan besar di Jawa. Itu saja kok!” kata saya kepada Kutsi.
Meski saya sudah punya beberapa tim pemenangan yang loyal dan solid, seperti Kutsi dan lainnya. Bagi saya itu belum cukup. Lalu, saya berpikir untuk menambah lebih banyak suara lagi. Layaknya politisi di negeri ini, segala pun cara dilakukan. Akhirnya saya memainkan narasi politik identitas di lingkungan internal organisasi saya itu. Percakapan Antok dengan Kutsi saya jadikan sumbu narasi politik identitas yang akan saya tabur di telinga-telinga mahasiswa berdarah Jawa.
Kemudian, saya mengadakan pertemuan dengan Rizki, bersama orang-orang dekatnya. Saya mulai menyampaikan apa yang keluar dari mulut Antok.
“Sekarang saatnya temen-temen Jawa ini bersatu. Terserah siapa yang mau dicalonkan, Ki. Kalau ini dibiarkan jadi momok untuk kaderisasi ke depan” kata saya meyakinkan Rizki.
ADVERTISEMENT
“Iya bener, Fat. Mungkin sudah merasa hebat dia.”
Akhirnya, dari pertemuan bersama Rizki, menemukan kesepakatan untuk mengonsolidasikan narasi politik identitas itu. Saat itu, seolah-olah saya tampil bagai politisi ulung di kampus. Keberanian saya mempraktikkan politik identitas Jawa-Madura saat itu, karena posisi saya secara massa unggul sebagai mahasiswa kelahiran Jawa. Dan, usaha saya beserta tim berhasil membakar emosional teman-teman Jawa lainnya.
Selain itu saya juga membuat tim yang netral, tidak berkubu-kubu. Dan, pembentukan tim itu tanpa sepengetahuan Antok dan Rizki, bahkan Kutsi. Tim netral ini lah yang saya gunakan untuk melihat suara kubu Antok. Tim netral, juga kami buat untuk mengroscek valid tidaknya dukungan suara dari tim lain untuk saya, termasuk dukungan dari kubu Rizki.
ADVERTISEMENT
Ternyata saya unggul dalam pemetaan suara saat itu. Sedangkan Antok unggul dalam hal lain. Antok memiliki banyak senior yang cukup strategis di tingkat kepengurusan cabang. Bahkan pada saat pemilihan, senior-senior Madura menjadi pimpinan sidang. Namun secara massa kami di atas angin. Praktik politik identitas Jawa-Madura yang dinarasikan berhasil memenangkan saya sebagai Ketua Komisariat PMII. Sedangkan Antok dan sahabat-sahabat yang lain, tidak sanggup melihat kenyataan. Mereka lebih dulu walkout dari forum persidangan saat itu.
***
Lantas apa yang terjadi setelah itu? Saya merasakan efek praktik politik identitas setelah kejadian itu. Pertama, polarisasi Jawa-Madura ditingkat kader semakin kuat. Sehingga mengganggu proses kaderisasi selama periode saya. Sampai konflik antar kader di internal organisasi berlanjut beberapa periode setelah saya. Persis seperti kasus praktik politik identitas Pilkada DKI 2017, yang efeknya terasa sampai pemilu 2019, bahkan sampai hari ini.
ADVERTISEMENT
Kedua, tidak lagi mengusung kepentingan yang sama. Seharusnya, setiap kader memiliki haluan yang sama untuk mencapai tujuan yang sama. Namun sejak kejadian itu, kader Jawa-Madura memiliki kepentingan yang tidak subtansial dalam proses kaderisasi, yaitu memperebutkan jabatan semata. Sehingga menghilangkan tujuan-tujuan utama dalam organisasi, seperti penguatan intelektualitas kader, kapabilitas kader, tanggungjawab antar kader dan semacamnya.
Ketiga, struktur kepengurusan menjadi tidak utuh. Sebab itu, banyak program organisasi yang dirancang tidak berjalan maksimal. Sehingga merugikan banyak kader.
***
Menurut saya, potensi terbentuknya politik identitas di atas disebabkan beberapa faktor. Adanya aktor yang ambisius terhadap kekuasaan dapat menjadi sumbu terbakarnya isu-isu politik identitas. Karena baginya, kekuasaan itu memiliki nilai yang menguntungkan untuk diperebutkan atau dipertahankan. Oleh karena itu, segala cara akan dilakukan demi tercapainya kepentingan. Aktor politik identitas semacam itu, cenderung membawa isu-isu populis yang seola-olah membawa kepentingan “rakyat” untuk melawan kepentingan “elit”.
ADVERTISEMENT
Misal, ini hanya contoh ya. PKB atau PPP -meskipun keduanya tidak sejalan ya- tiba-tiba membawa isu Gerakan Nahdliyin Bersatu dalam rangka menyatukan aspirasi homogen dari kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) untuk mengusung capres potensial dari kader NU sendiri di Pemilu 2024 nanti. Misal ya. Sehingga para tokoh NU berkampanye di mana-mana akan persatuan tersebut. “Sudah saatnya orang NU bersatu, karena kita memiliki kader NU yang potensial menjadi capres. Kenapa harus mendukung yang lain? Betul apa betul?!” kira-kira seperti itu gambaran narasi-narasi yang ditabur untuk politik identitas. Sekali lagi, itu sekadar contoh. Jangan serius-serius amat.
Selain itu, nararasi yang mengarah pada praktik politik identitas cenderung berangkat dari kalangan mayoritas. Seperti kasus politik di kampus yang saya alami di atas. Saya berani membakar sumbu narasi politik identitas, karena memang kader PMII di kampus saya, mayoritas kelahiran Jawa.
ADVERTISEMENT
Persis seperti politik identitas yang terjadi dalam pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Di mana ada dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, yang kemudian menjadi sumbu awal bergulirnya narasi politik identitas menjelang Pilkada DKI. Bahkan kampanye pilkada pada saat itu gencar mengatas namakan agama dan etnis. Semata-mata untuk merebut kekuasaan dari pempimpin non-muslim, yakni Ahok. Tensi politik pilkada DKI makin panas, isu penistaan agama tersebut tidak hanya membakar emosional masyakat muslim DKI, bahkan hal itu mengundang massa umat muslim dari berbagai daerah. Sehingga gerakan politik identitas itu mampu menumbangkan kepemimpinan Ahok, sampai ia ditetapkan sebagai tersangka dan masuk penjara. Jelas, akhir dari praktik politik identitas ini dimenangkan oleh elit politik, bukan masyarakat muslim. Lantas apa yang didapat masyarakat muslim setelah itu? Tidak ada! Keduanya antara masyarakat muslim dan non-muslim sama-sama dirugikan. Dari kasus tersebut, elit politik lah yang mendapat nilai keuntungan.
ADVERTISEMENT
Faktor lain penyebab politik identitas dalam kasus saya tadi adalah adanya narasi yang dapat menyinggung perasaan, menyentuh emosional kelompok lain, etnis, suku, ras dan agama. Dalam kasus saya kelompok yang tersinggung adalah etnis Jawa. Sehingga lahirkan gerakan kader Jawa bersatu. Aktornya adalah saya sendiri. Yang dirugikan kader-kader Madura, karena tidak maksimal dalam mengikuti proses kaderisasi selama kepemimpinan saya. Meskipun saya berusaha merangkul mereka. Tapi tensi ketersinggungan antar kader Jawa-Madura tetap terasa hangat, tidak dinamis dan cair.
Nah, praktik-praktik politik identitas itu lah yang akan dapat mengacaukan kerukunan antar sesama, dan menjadi ancaman terhadap proses demokrasi yang sedang dalam tahap konsolidasi ini, baik itu dalam skala kecil atau pun skala besar seperti negara. Dan, kira-kira seperti itu lah gambaran politik identitas.
ADVERTISEMENT
Politik identitas yang terjadi delapan tahun lalu hanya sebatas residu kenangan seorang aktivis saja. Tak lebih mengerikan dari politik identitas yang menjadi mainan elit politik negeri ini. Akan kah pemilu 2024 kembali diwarnai politik identitas?