Ketika Partai Politik Tak Memiliki Fungsi Lagi

Nurul Fatta
Penulis, Pemerhati Demokrasi dan Ekonomi Politik sekaligus Anggota Divisi Pendidikan Pemilih JPPR
Konten dari Pengguna
27 Agustus 2022 11:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Fatta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Belakangan ramai dugaan pencatutan nama dan nomor induk kependudukan (NIK) masyarakat sebagai anggota dan pengurus partai politik (parpol) tertentu. Juga ditemukan dugaan pencatutan terhadap 275 pengawas pemilu oleh parpol. Fenomena itu mencuat ke publik sejak dimulainya proses tahapan pendaftaran peserta pemilu 2024 melalui sistem informasi partai politik (Sipol).
ADVERTISEMENT
Sipol merupakan platform berbasis web yang digunakan untuk menginput data parpol, seperti profil, kepengurusan, domisili, dan keanggotaan. Melalui Sipol, masyarakat pemilih dapat melakukan pengecekan data pribadinnya, dengan cara memasukkan NIK ke kolom pengecekan. Kemudian akan terlihat apakah data pribadi kita terdaftar atau tidak di dalam Sipol sebagai anggota parpol tertentu.
***
Senin sore saya juga mendapat pesan dari salah satu sahabat pemantau pemilu di Kalimantan Barat. Sebut saja namanya Mustakim. “Papol tidak beres!” katanya, saat mengadukan namanya telah dicatut oleh parpol baru yang tidak dia tahu. Dia menceritakan, awalnya identitasnya tidak terdaftar di dalam Sipol, namun di hari yang berbeda, ujuk-ujuk namanya tertera sebagai anggota salah satu parpol baru, yang juga tidak lolos pendaftaran.
ADVERTISEMENT
“Sebelum membunyikan soal itu di media, coba sampean mencari data tambahan dari kolega atau dari partner sampean, Mas” kata saya memberikan saran. Sehari kemudian, sahabat saya memberi info terbaru, bahwa tetangganya juga dicatut namanya. Sedangkan tetangga dia itu sangat awam tentang keartaian. “Waduh, itu benar-benar tidak beres!” kata saya. Saya pun memintanya untuk melaporkan kasus tersebut dengan data-data yang ada melalui formulir tanggapan masyarakat, yang disediakan oleh penyelenggara pemilu.
Selain pencatutan nama, data ganda keanggotaan partai politik juga ditemukan dibeberapa daerah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banyuwangi, menemukan 5 ribu keanggotaan partai politik yang ganda. Dan beberapa daerah lain (baca: data ganda parpol).
Apakah hal itu sudah menjadi hal biasa terjada dalam internal partai politik?
ADVERTISEMENT
Beragam Modus
Kasus di atas mengingatkan saya pada satu kejadian di Situbondo. Pada saat itu, seorang ustadz mendatangi Bu Jaja, tetangga saya, untuk meminta fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Ustadz tersebut merupakan anggota partai politik di tingkat ranting atau tingkat bawah. Alasannya, dokumen tersebut akan digunakan untuk pengajuan bantuan sembako. Namanya orang kampung, pasti sangat senang dijanjikan apapun yang berbau-bau bantuan, apalagi emak-emak kampung.
Namun menjelang beberapa bulan, sebagian warga memprotes kepada ustadz tersebut, terkait bantuan yang dijanjikan. Pasalnya, hanya sebagian yang diberi sembako dari sekian warga yang diminta dokumen pribadinya. Setelah telisik, ternyata warga yang mintai kartu identitasnya itu, dimasukkan sebagai anggota partai politik tertentu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, saya juga pernah mendengar cerita dari seorang Ketua Rukun Tetangga (RT), namanya Pak Opek di Desa Sekarputih. Pak Opek ini pernah diiming-imingi sejumlah uang oleh beberapa pengurus partai politik, jika mau meminjamkan data-data dokumen warganya hanya sekadar untuk digandakan. Menurutnya, beberapa ketua RT melakukan hal yang sama.
“Tak hanya itu, bahkan ketua kelompok tani banyak juga yang bermain ini, Mas. Pura-pura minta data warga untuk dijadikan syarat pendataan anggota kelompok tani. Padahal data warga itu dijual ke pengurus partai politik.” Tutur Pak Opek saat itu.
Dalam kasus-kasus di atas yang saya temui, beragam modus yang dilakukan pengurus parpol di level bawah. Hal itu, tidak menutup kemungkinan juga terjadi di daerah lain.
ADVERTISEMENT
Sumber Utama
Banyak sumber utama yang menjadi sasaran parpol untuk mendapat data pribadi masyarakat. Sumber utama berasal dari masyarakat itu sendiri. Lantaran masyarakat akar rumput ini masih mudah terpikat dengan janji-janji berupa bantuan. Dengan begitu, pengurus parpol mudah mendapat data pribadi masyarakat.
Padahal menukar data pribadi dengan bantuan sembako bukan transaksional yang seimbang nilainya. Ketika data pribadi kita tukar, yang didapat hanya sembako, kira-kira harganya senilai seratus ribu rupiah. Akan tetapi data kita yang sudah berada ditangan orang lain bisa bernilai satu juta rupiah. Bahkan lebih.
Selanjutnya, perangkat desa dan Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) khususnya ketua RT (Rukun Tetangga) merupakan lumbung data pribadi masyarakat di tingkat masyarakat bawah. Sehingga tidak menutup kemungkinan elemen tersebut menjadi sumber parpol untuk mendapatkan data pribadi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Potensi selanjutnya yang menjadi incaran parpol adalah platform digital. Sebab banyak kasus di mana tata kelola perlindungan data pribadi oleh platform digital belum maksimal yang berpotensi mengalami kebocoran data. Sehingga hal itu dimanfaatkan oleh partai politik. Atau bisa saja parpol mendapatkan data tersebut secara langsung dari penyelenggara platform digital.
Terakhir, pada saat pendaftaran menjadi peserta pemilu, partai politik yang diberi kesempatan memperbaiki kelengkapan berkasnya, dapat mengambil data keanggotaan dari partai politik lain yang sudah lolos tahap pendaftaran.
Makanya jangan heran kalau ada data ganda dalam internal atau antar eksternal partai politik. Lantas mengapa hal itu terjadi? Jawabannya, karena kehadiran partai politik tidak berjalan sebagaimana fungsinya.
Kehilangan Fungsinya
Dari bukunya Ramlan Surbakti (2010), saya pernah membaca bahwa salah satu fungsi partai politik yakni pemadu kepentingan. Bahkan itu menjadi fungsi utama partai politik yang paling menonjol sebelum mencari dan mempertahankan kekuasaan. Kepentingan masyarakat yang berbeda-beda mesti mampu dipadukan oleh partai politik, yang kemudian dijadikan tujuan dan program politiknya untuk diperjuangkan oleh parpol tersebut ke depan. Akan tetapi, jika data keanggotaan parpol hasil manipulasi atau hasil mencatut data pribadi masyarakat, lantas kepentingan masyarakat mana yang akan diperjuangkan? Atau kepentingan apa yang mesti dipadukan?
ADVERTISEMENT
Mestinya, sebelum mencari dan mempertahankan kekuasaan, parpol melakukan dua fungsi lain yakni sosialisasi politik dan rekrutmen politik (Ramlan Surbakti,2010). Partai politk yang sudah mencatut data pribadi masyarakat dan menggandakan data keanggotaannya, sudah pasti melompati dua fungsi ini. Ketika partai politik kehilangan fungsinya, sudah jelas parpol tersebut hadir hanya untuk kepentingan elit parpol, bukan menjunjung tinggi kepentingan mayarakat.
Oleh karena itu, parpol politik mesti membenahi sistem internal kepartaiannya. Jelas, di sini sistem internal partai memang tidak mendukung. Kenyataannya, masih banyak partai politik tidak siap untuk memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu 2024. Dari 43 akun partai politik di Sipol, yang mendaftar hanya 40 parpol. Dari 40 parpol, ada 16 parpol tidak lolos dan 24 parpol lolos mengikuti verifikasi faktual. Dari 24 parpol, belum tentu lolos semua, bisa saja banyak yang rontok.
ADVERTISEMENT
Terakhir, parpol sedapat mungkin menyiapkan kaderisasi secara matang, tanpa harus menunggu ajang lima tahunan (Pemilu). Dengan memiliki kader yang matang di semua tingkatan, mereka dapat mengenalkan nilai, norma, simbol dan ideologi partai politiknya kepada masyarakat atau konstituennya. Sehingga masyarakat tertarik untuk bergabung menjadi pengurus dan anggota partai politik tersebut. Dan, tidak perlu lagi mencatut data pribadi masyarakat secara diam-diam. Sebab kasus pencatutan data diri masyarakat ini benar-benar sangat merugikan. Semestinya parpol hadir sebagai pembawa solusi bukan justru membawa masalah. Salah satu masalahnya adalah parpol telah merampas hak milik dan hak suara masyarakat.