Sebuah Refleksi Demokrasi Kita

Nurul Fatta
Penulis, Pemerhati Demokrasi dan Ekonomi Politik sekaligus Anggota Divisi Pendidikan Pemilih JPPR
Konten dari Pengguna
14 September 2022 19:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Fatta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Menjejaki bulan yang banyak memberikan harapan bagi sumber kehidupan. Ada sinyal optimisme yang diberikan di bulan ini. Hampir semua manusia di Bumi Ibu Pertiwi ini tak menolak anugerah Tuhan yang jatuh di bulan ini. September. Namun ada sisi lain, di mana banyak harapan yang kian dihilangkan di Bumi Ibu Pertiwi ini. Sebuah fakta banyak berbicara tentang kenyataan. Kenyataan tentang bagaimana sebuah kekuasaan menghilangkan hak-hak subtansial yang sangat dasar bagi bangsanya. Mulai hak hidup, hak kebebasan, hak kepemilikan, hingga hak politik, sosial dan ekonomi bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali bangsa ini terlibat dalam tawar-menawar tentang kehidupan yang lebih baik dengan sebuah konsepsi demokrasi. Mulai demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, bahkan hingga saat ini. Demokrasi hanya sebuah wacana untuk melegitimasi kekuasaan elit politik saja.
Lantas apa lagi yang diharapkan dari demokrasi ini?
***
Meski baru-baru ini, Presiden Joko Widodo dalam wawancaranya dengan Pimpinan Redaksi TvOne, Karni Ilyas, telah menegaskan penilaiannya terhadap demokrasi Indonesia saat ini, yang menurutnya sudah sangat liberal.
“Ah, kebebasan apa yang masih kurang?....Demokrasi yang sangat liberal sekali kita ini….” Kata Jokowi dalam potongan video yang ditampilkan di akun resmi Instagramnya.
Tapi apa iya? Toh, demokrasi bukan sebatas pemahaman seorang Kepala Negara. Ada suara-suara sumbang yang secara tersirat menuntut kehidupan yang lebih baik dalam kubangan demokrasi. Namun sayang, suara-suara itu tidak terekam sampai ke Istana Negara.
ADVERTISEMENT
“Rasa-rasanya kehidupan makin rumit, serba susah. BBM naik, makin susah hidup ini, Pak!” kata pengemudi Ojek Daring saat mengantar saya ke Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat. Menurut saya, keluhan ini bukan masalah pribadi. Ada banyak Ojek Daring yang juga senasib dengannya. Kenyataannya, mereka mengeluhkan dan melakukan demonstrasi menuntut penyesuaian tarif.
Mestinya pemerintah tidak membiarkan masalah ini berlarut-larut. Jangan salah, masalah yang dihadapi para pengemudi ini adalah masalah demokrasi. Sebab, hal itu berkaitan dengan pekerjaan warga negara yang berhubungan dengan hak hidup setiap individu. Mestinya konsep kedaulatan rakyat itu tidak banyak mengundang gelombang demonstrasi, yang tampak mengemis atas haknya, baik di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat maupun di depan Istana Negara.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, betapa banyak beban yang harus mereka tanggung, mulai dari persoalan dengan aplikator, biaya parkir, BBM, dan lain-lainnya. Mereka hanya berharap kepada negara agar hadir untuk mengatur itu semua. Sehingga tidak menghilangkan amanat UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2 yang menyatakan “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Selain itu, baru-baru ini potongan video wawancara ditampilkan oleh Instagram @narasinewsroom tentang beberapa anak putus sekolah. Di mana anak-anak ini bertempat tinggal tidak jauh dari kaki Monas, namun mereka mengeluhkan persoalan yang sama tentang pendidikannya, yaitu putus sekolah gara-gara keterbatasan ekonomi. Sangat ironis!
“Kelas enam!” pemuda berkacamata itu, mengaku sudah berhenti sekolah sejak kelas enam Sekolah Dasar.
ADVERTISEMENT
Negara di mana? Demokrasi apa ini, kok membiarkan anak kota dan pinggiran kota hilang masa depan pendidikannya? Bagaimana dengan nasib anak-anak kampung pelosok yang jauh dari perkotaan?
Mengapa keterbatasan ekonomi masih menjadi alasan putus sekolah? Apakah itu hak mereka mau sekolah atau tidak? Atau mungkin karena kelalaian negara (pemerintah) yang tidak memenuhi hak pendidikan mereka? Padahal itu sudah menjadi amanat UUD 1954, bahkan diatur secara khusus dalam Pasal 31 Ayat 1 yang berdalih “Setiap warga negara berhak mendapat Pendidikan....”
Belum lagi, masalah hak hidup individu. Dimana mutakhir ini jagat maya, dibanjiri dengan informasi kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang Jendral Polisi, Ferdy Sambo. Sebuah kasus dramatis. Kasus penembakan terhadap Brigadir Yosua, yang melibatkan banyak tersangka. Entah kenapa motif kasus ini belum bisa diungkap kepastiannya, atau mungkin sengaja disembunyikan. Seakan-akan bermain petak umpet. Entah kenapa perampasan hak dasar atas jiwa seseorang yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kuasa kerap terjadi dan akan hilang dengan sendirinya. Misal kasus masa lalu atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), atau kasus KM 50 yang menewaskan 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) dan beberapa kasus lainnya.
ADVERTISEMENT
Belum selesai masalah Ferdy Sambo, rakyat dihadapkan dengan persoalan lain. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mengundang sunami protes dari masyarakat. Sayang, teriakan rakyat hanya bisikan tak berarti di telinga penguasa. Program populis pun diguyurkan, sebuah bantuan yang sifatnya sementara, dan sekali pakai untuk meredam gelombang protes dari kalangan masyarakat akar rumput. Negara hadir layaknya pemadam kebakaran, namun api yang belum padam sudah ditinggal lagi. Padahal BBM ini kan kebutuhan sehari-hari yang berdampak pada semua aspek kehidupan dan keberlangsungan hidup masyarakat.
Tak mungkin saya urai satu per-satu persoalan demokrasi di negara ini, yang mestinya menjadi pembahasan dan indikator ketercapaian konsolidasi demokrasi selama ini. Bicara demokrasi, tidak hanya terbatas pada konsepsi demokrasi prosedural, seperti pemilihan umum yang hanya dinanti-nanti elit politik dalam ajang lima tahunan itu.
ADVERTISEMENT
***
Mengutip dari The Economist Intelligence Unit (EIU, 2021) tentang laporan Indeks Demokrasi Dunia, yang menempatkan Indonesia berada pada peringkat ke-52. Dengan begitu, Indonesia dikelompokkan ke dalam negara dengan menyandang status demokrasi “cacat” (flawed democracy). Disebutkan, negara dengan demokrasi cacat ini sebenarnya sudah lumayan baik. Karena sistem pemilu yang bebas dan adil serta menghormati kebebasan sipil.
Sayangnya, negara yang menyandang ‘cacat’ ini masih memiliki masalah fundamental yang sering terjadi. Misal, rendahnya kebebasan pers, budaya politik antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal.
Ketercapaian peringkat tersebut dengan skor rata-rata 6.71 itu memang perlu kita apresiasi, karena ada peningkatan skor dibandingkan tahun 2020, yang menempatkan Indonesia berada di peringkat ke-64 dengan skor 6.30.
ADVERTISEMENT
Fakta-fakta tersebut disuguhkan sebagai evaluasi bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan kualitas demokrasi. Namun itu hanya sebatas penilaian secara umum terdahap permukaan demokrasi di negara ini. Dan, belum menyentuh ke ranah paling terdalam, dari segela macam persoalan nyata yang dihadapi bangsa ini.
***
Anda dan saya tidak pernah tahu, kapan rakyat benar-benar merasakan kehidupan yang lebih baik. Khususnya masyarakat pinggiran, masyarakat akar rumput.
Tampaknya konsepsi demokrasi tidak serumit kenyataan-kenyataan yang dihadapi bangsa ini. Mungkin, memang nasib bangsa ini mesti menerima kenyataan yang sangat memilukan. Meski negara sudah menumpuk banyak birokrat yang berkutat pada hal-hal administratif, belum juga mampu mengatasi hak-hak rakyat yang sudah terjamin oleh negara, seperti pendidikan, kelaparan, kemiskinan dan semacamnya.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan selanjutnya, ketika masyarakat sudah sejarhtera, kemiskinan dan kelaparan lenyap atau tingkat sosial ekonomi masyakat sudah ideal, apakah kondisi seperti itu akan membawa demokrasi lebih baik?
***
Berdasarkan pengalaman saya, dari hasil membaca, ada pernyataan seorang ahli politik bernama Seymour M. Lipset (Sorensen, 1993), yang menyatakan bahwa semakin kaya suatu bangsa maka akan semakin besar peluang negara tersebut untuk melangsungkan demokrasi.
Pernyataan tersebut, tampak dibenarkan oleh hasil penelitian yang dilakukan pengamat politik lain, Rober Dahl, yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat sosial ekonomi suatu negara akan semakin mungkin bagi masyarakat untuk menjadi demokratis.
Teori tersebut didukung kenyataan, bahwa lingkungan sosial ekonomi yang mapan juga dapat melahirkan lingkungan yang kondusif dengan masyarakat yang berpendidikan dan dapat mendukung keberlangsungan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah fakta yang lain, argumen-argumen pengamat di atas dapat terbantahkan secara empiris sebagaimana yang telah terjadi di beberapa negara. Bahwa kemakmuran dan kesejahteraan belum tentu menjadi jaminan absolut akan keberlangsungan implementasi konsep demokrasi.
Beberapa negara, seperti Argentina yang pada saat itu bangsanya cukup makmur secara ekonomi, dengan tingkat pendapatan perkapita rakyatnya yang relatif tinggi. Namun tetap saja, praktek politik otoritarianisme terjadi bertahun-tahun di negara tersebut. Kasus tersebut juga dialami Korea Selatan dan Taiwan.
Pembangunan ekonomi yang sangat cepat dengan distribusi pendapatan yang cukup merata ditunjukkan oleh Korea Selatan, namun hal itu juga tidak berbanding lurus dengan keberlangsungan praktek demokratisasi di sana.
***
Dalam konteks Indonesia, pemerintah mesti fokus pada kebijakan pembangunan sosial ekomoni dengan tidak menyentuh pada ranah hak-hak masyarakat dan mengganggu kondusifitas sosial, politik masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kajian ini menjadi refleksi bersama untuk menentukan arah demokrasi yang betul-betul berorientasi pada kepentingan publik. Bersama-sama menyadarkan masyarakat untuk tidak mendorong pemimpin-pemimpin yang mengabdi pada kekuasaan. Yang kemudian kekuasaan itu kian merampas hak-hak masyarakat itu sendiri. Selebihnya, aktor-aktor politik tetap terus mengawal keberlangsungan demokrasi di negeri ini.
Nurul Fatta, Penulis, Pemerhati Demokrasi