Agama, Relevansi, dan Tantangannya di Zaman Homo Deus

M Fatah Mustaqim
Penulis Lepas. Pernah Bergiat di Komunitas Omah Aksara Yogyakarta. Alumnus Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (ISIPOL) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
20 April 2023 14:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Fatah Mustaqim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi simbol beberapa Agama. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi simbol beberapa Agama. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Is religion still relevant?”
Apakah agama masih relevan? Kalimat singkat itu merupakan ungkapan retoris dari sebagian kaum muda yang mempertanyakan relevansi agama. Apakah hari ini agama masih relevan? Bagi sebagian umat beragama, bisa jadi kalimat itu tidak lebih dari ungkapan yang mencemooh ajaran agama mereka. Bagi saya sendiri kalimat itu memang mengandung cemooh sekaligus kritik yang membuka realitas dan gugatan dari sebagian kaum muda terhadap eksistensi agama.
ADVERTISEMENT
Mengapa kini banyak orang terutama kaum muda yang mempertanyakan relevansi agama? Pertanyaan ini saya pikir menjadi sangat penting dijawab karena berkaitan dengan eksistensi agama itu sendiri di tengah realitas umatnya hari ini. Umat agama yang hidup di zaman yang sangat berbeda tantangannya dari masa lalu di mana idiom dan kodifikasi hukum agama disusun dalam realitas masyarakat yang homogen.
Yaitu ketika konservatisme masih menjadi pilihan yang tidak begitu sulit dijalankan. Namun hari ini di tengah kehidupan kosmopolitan di mana hedonisme kian merebak dalam era global ini maka menjalankan nilai-nilai agama yang asketik menjadi hal yang sangat berbeda dan tidak mudah tantangannya dibandingkan dengan masa silam.
Maka alih-alih menganggap kalimat itu semata sebagai cemoohan, kaum agama mesti melihatnya sebagai otokritik. Bahwa sudah saatnya umat beragama lebih aktif mendialogkan transendensi keimanan dengan realitas kekinian. Sudah saatnya kaum agama, terutama para elite agama keluar dari “Goa Plato” kesadaran normatifnya dan kembali berada di dalam kesadaran realitas kekinian yang sesungguhnya untuk menjawab berbagai persoalan pelik yang dihadapi umatnya.
ADVERTISEMENT
Cara agama sebagai sandaran keimanan dan institusi nilai-nilai menjawab berbagai persoalan aktual dan fenomenologis seperti krisis lingkungan, ketimpangan ekonomi hingga kekhawatiran akan distopia kemajuan teknologi yang di luar kendali moralitas. Cara agama menjawab berbagai problema objektif itu menurut keyakinan transendental dan rasionalitas agama itu sendiri. Hingga cara agama menjawab dan mengakhiri dikotomi berlebihan antara ajaran agama dan persoalan profan yang mereduksi substansi ajaran agama itu sendiri.
Jika elite agama konsekuen menolak sekularisme (pemisahan ajaran agama dengan urusan profan) maka agama juga semestinya dihadirkan di tengah persoalan materil umatnya. Agama tidak hanya menjadi “obat penenang” atas ketidakadilan dan penindasan seperti yang dikatakan Karl Marx tetapi menjadi solusi yang praktis dan membebaskan bagi problem keseharian umatnya. Agama bukan hanya dihadirkan sebagai doktrin dan ajaran sakral yang didakwahkan secara vertikal tetapi juga harus menjadi kode etik dan strategi hidup yang praktis bagi umatnya yang tentu saja bersumber dari ajaran inti agama itu yang kudus.
ADVERTISEMENT
Di masa kini, sesungguhnya semua agama menghadapi tantangan yang sama. Tantangan yang mengancam inti ajaran agama itu sendiri, yaitu keringnya spiritualitas di zaman Homo Deus yang menuhankan materialisme teknokratis yang cenderung eksploitatif dan menindas manusia. Tetapi pokok persoalan ini hingga kini tidak pernah dilihat sebagai problem serius.
Alih-alih kaum agama dan elitenya justru masih berkutat pada persoalan ritus dan perebutan klaim kebenaran normatif dari ajaran agama masing-masing. Padahal sesungguhnya hanyalah persoalan ranting (khilafiyah) yang tidak perlu dipertengkarkan di antara sesama saudara seiman.
Namun untuk menghadapi tantangan itu, kaum agama juga mengemban tantangan ke dalam diri mereka sendiri untuk menjawab kesalahpahaman mengapa kini agama telah dianggap terlampau kuyup dengan klaim politik. Bahkan disangka telah menjadi bahan bakar kebencian dan biang peperangan akibat politisasi ajarannya.
ADVERTISEMENT
Mengapa kaum agama telah dijauhkan dari substansi ajaran agamanya sendiri? Hingga pada akhirnya kaum agama telah dijauhkan dari persoalan objektif seperti bagaimana mengadvokasi umat yang membutuhkan bantuan untuk mengangkat derajat hidup mereka sebagaimana fungsi yang sejati dari agama sebagai pembebas bagi manusia.
Fungsi agama sebagai pembebas manusia justru tidak begitu tampak dibandingkan wajah artifisial agama sebagai legitimasi politik elektoral. Wajah agama terlihat compang-camping karena politisasi ajarannya sehingga membikin tidak sedikit kaum muda merasa muak dan memilih menjadi sekular bahkan agnostik karena manipulasi itu. Maka berkaca dari persoalan itu bisa jadi sekularisme merebak bukan karena faktor dekadensi yang datang dari luar ajaran agama sebagaimana selama ini disangkakan. Bisa jadi sekularisme justru agaknya bermula dari kaum agama itu sendiri yang gagal menghadirkan ajaran agamanya sebagai rahmat dan pembebas bagi umatnya.
ADVERTISEMENT
Ajaran agama di masyarakat tersisa sebatas formalisme dan ritus-ritus kesalehan individual. Padahal inti ajaran agama adalah spiritualitas dan gerakan pembebasan bagi umat manusia. Maka kaum agama semestinya menjadikan ajaran agama sebagai katalisator pembebasan manusia dari persoalan-persoalan objektif dan universal seperti krisis lingkungan, kemanusiaan, problem kesejahteraan hingga kode etik dan protokol akan utopia dan distopia kemajuan teknologi.

Hormati Semua Agama Karena Telah Memberimu Banyak Hari Libur

Saya tidak membaca kalimat yang diunggah akun Katholik Garis Lucu di media sosial itu sekadar lucu-lucuan. Meskipun saya tidak merasa perlu marah dan berteriak agar tidak menjadikan agama sebagai bahan candaan. Saya membaca kalimat itu sebagai satire yang memang lucu. Bagi saya, membaca kalimat satire tentu tidak cukup dipahami hanya secara linear. Sebab justru maknanya biasanya bersifat kebalikan.
ADVERTISEMENT
Saya membaca kalimat itu dengan interpretasi bahwa hari ini, khususnya bagi sebagian kaum muda yang jumlahnya tidak sedikit, agama tidak dirasakan kehadiran dan manfaatnya kecuali telah memberimu banyak hari libur, tidak lebih. Jika kita memaknai demikian maka kalimat itu juga mengandung cemoohan (karena agak berlebihan) namun sekaligus membuka realitas bahwa peran agama barangkali kian tidak dirasakan di tengah problem nyata umatnya dalam realitas keseharian di masa kini.
Namun kembali pada sikap saya di awal tulisan ini, kita tidak perlu merasa tersinggung secara berlebihan. Justru sekali lagi kalimat itu perlu menjadi bahan otokritik bagi kaum agama bahwa jangan-jangan memang agama kini semakin tidak dirasakan kehadiran dan manfaatnya khususnya di kalangan generasi muda.
ADVERTISEMENT
Tentu jika kita melihat realitas bahwa ajaran agama belum sepenuhnya dihadirkan dengan baik di tengah mereka bahkan tidak jarang tampil menyeramkan maka tidak mengherankan jika mereka melihat agama tidak lebih sebagai bahan parodi dan satire daripada menjunjungnya sebagai ajaran yang suci dan membebaskan.