Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Menakar Pentingnya Berserikat pada Buruh: Bukan Sekadar Teriakan Massa
1 Mei 2025 20:44 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Fathan Muslimin Alhaq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Menakar pentingnya berserikat pada buruh bukan lagi urusan seremonial tiap Hari Buruh. Lebih dari spanduk dan peluit, serikat buruh jadi arena taktis yang bisa menentukan arah hidup pekerja.
ADVERTISEMENT
Di tengah algoritma kapitalisme yang semakin licin, berserikat bukan bentuk perlawanan usang. Justru, ia jadi senjata legal satu-satunya yang mampu menekan struktur kekuasaan dalam sistem kerja yang makin fleksibel tapi tak berpihak.
Menurut ILO, hanya 7% buruh di Indonesia yang aktif dalam serikat. Padahal, organisasi inilah yang bisa jadi tameng ketika aturan kerja berubah sepihak atas nama efisiensi.
Dalam realitas kerja digital saat ini, buruh tak hanya berasal dari pabrik. Kurir, driver ojek online, hingga content moderator adalah wajah-wajah baru yang minim perlindungan, tapi justru makin dibutuhkan.
Berserikat jadi urusan eksistensial, bukan sekadar administratif. Ini tentang siapa yang bisa tetap hidup layak ketika gaji dibekukan dan kontrak diputus semena-mena.
Dari Buruh Pabrik ke Platform Digital
Dulu, serikat lekat dengan buruh pabrik dan pekerja formal. Kini, ia mulai menyeberang ke dunia gig economy yang serba tak pasti.
ADVERTISEMENT
Ojek online seperti Gojek dan Grab punya jutaan mitra pengemudi. Namun, status “mitra” itu membuat mereka tak punya perlindungan kerja layaknya karyawan tetap.
Melalui serikat seperti Garda, para driver mulai merancang ulang relasi kuasa dengan platform. Mereka menuntut transparansi algoritma hingga pembagian insentif yang adil.
Hal serupa terjadi di luar negeri, seperti Amazon. Di Staten Island, gudang Amazon pertama di AS akhirnya berserikat pada 2022 setelah perjuangan panjang melawan union busting.
Menurut Vice News, kemenangan itu jadi simbol bahwa bahkan di tengah kultur kerja digital, solidaritas buruh tetap punya ruang untuk hidup. Ini bukti bahwa berserikat bukan relik masa lalu, tapi alat bertahan di masa depan.
Menolak Sunyi, Menulis Narasi
Media kerap menggambarkan buruh sebagai korban atau perusuh. Padahal, buruh juga penulis narasi yang ingin menentukan alur hidupnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Berserikat memungkinkan mereka menyusun agenda: dari perbaikan upah, jaminan sosial, hingga hak untuk cuti menstruasi atau waktu kerja yang manusiawi. Ini soal artikulasi, bukan hanya agitasi.
Sayangnya, pemerintah dan perusahaan kerap menstigma serikat sebagai hambatan produktivitas. Padahal, menurut Harvard Business Review, buruh yang merasa dilindungi justru lebih loyal dan produktif.
Serikat juga mengisi celah pendidikan hukum perburuhan yang tak diajarkan di bangku sekolah. Di situlah buruh belajar tentang kontrak kerja, PHK, hingga mekanisme pengaduan.
Di zaman ketika semua serba cepat dan kompetitif, serikat menawarkan jeda yaitu ruang kolektif untuk refleksi, resistensi, dan reorganisasi.
Jalan Panjang Menuju Solidaritas Baru
Menakar pentingnya berserikat pada buruh berarti juga membaca ulang lanskap ketenagakerjaan hari ini. Dunia kerja tak lagi linier; buruh bisa digital, temporer, atau transnasional.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menuntut bentuk serikat yang lebih lentur namun tetap militan. Bukan hanya soal demo, tapi juga strategi digital, kolaborasi lintas sektor, dan advokasi kebijakan.
Menurut Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC), pekerja era baru perlu serikat yang bisa bernegosiasi dalam sistem yang cair, bukan hanya menuntut di jalan.
Solidaritas tak lagi hanya bersifat lokal. Isu seperti upah murah, jam kerja berlebih, atau sistem kontrak terjadi serentak di banyak negara berkembang.
Dunia kerja boleh berubah, tapi prinsip kolektif tak lekang oleh zaman. Karena dibalik algoritma, target KPI, dan sistem shift malam, ada satu hal yang tetap: kebutuhan akan keadilan.
Referensi:
1. International Labour Organization (ILO). "Trade unions: Essential for workers’ rights," www.ilo.org
ADVERTISEMENT
2. Harvard Business Review. “Why Strong Employee Unions Can Be Good for Companies,” hbr.org