Konten dari Pengguna

Neo-Tribalism: Ketika Anak Muda Balik Lagi ke Simbolisme Suku Asli

Fathan Muslimin Alhaq
Content Writer (Freelance) - Journalism Student at Esa Unggul University - Writer Enthusiast
27 April 2025 12:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathan Muslimin Alhaq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Komunitas Skateboard | Unsplash/Liza Pooor
zoom-in-whitePerbesar
Komunitas Skateboard | Unsplash/Liza Pooor
ADVERTISEMENT
Neo-Tribalism sedang booming di kalangan anak muda, membawa semangat baru untuk balik lagi ke akar budaya dan simbolisme suku asli. Fenomena ini bukan sekadar tren estetik, melainkan sebuah panggilan batin yang terasa lebih personal di tengah dunia serba digital dan seragam.
ADVERTISEMENT
Generasi Z dan milenial belakangan ini mulai meromantisasi nilai-nilai tradisional sebagai bentuk perlawanan terhadap globalisasi kaku. Di tengah algoritma yang memproduksi "konten kembaran", mencari identitas lewat neo-tribalisme terasa seperti menemukan mata air di gurun branding korporat.
Simbolisme suku asli seperti tato tribal, aksesoris etnik, hingga upacara adat modern, menjadi semacam "kode rahasia" baru. Bukan sekadar bergaya, melainkan sinyal bahwa dunia butuh lebih banyak kedalaman daripada sekadar viralitas sepintas lalu.
Gerakan ini bukan nostalgia yang cengeng, melainkan evolusi rasa. Bagaimana teknologi dan tradisi bertabrakan dan malah menciptakan bahasa baru untuk memberontak dengan penuh cinta. Anak muda hari ini sedang menulis ulang makna "belonging" — dengan tangan yang penuh warna-warni warisan leluhur.
ADVERTISEMENT

Neo-Tribalism dan Hausnya Akan Identitas Asli

Punk Jalanan di London, Inggris | Unsplash/Steve Barker Y
Neo-Tribalism lahir dari rasa lapar akan identitas yang tidak diproduksi massal. Dunia yang penuh "template" membuat banyak jiwa muda merindukan rasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih tua dari zaman.
Keterhubungan yang terlalu instan malah membuat koneksi terasa hampa, seolah semua orang jadi copy-paste satu sama lain. Dalam kondisi seperti ini, ikatan suku tradisional menawarkan rasa "rumah" yang lebih otentik.
Simbolisme suku asli menghidupkan kembali nilai kolektif yang sudah lama terkubur di bawah beton modernitas. Ada rasa bangga saat memakai simbol yang punya sejarah panjang, bukan sekadar ikut-ikutan trending.
Gerakan ini bukan soal eksklusifitas atau nostalgia romantis melainkan ini soal menemukan diri di reruntuhan kapitalisme budaya. Dan menariknya, anak muda hari ini melakukannya dengan cara yang kreatif, penuh remix dan reinterpretasi.
ADVERTISEMENT

Dari Tato hingga Festival, Simbolisme Diperbarui

Di era Neo-Tribalism, tato tribal tidak lagi sekadar gambar di kulit, melainkan manifestasi spiritual baru. Setiap garis dan lengkungan seperti mantra personal yang membungkus tubuh dengan makna.
Festival budaya seperti "Return to Roots" dan "Tribal Gathering" menjadi ajang sakral, bukan cuma festival musik biasa. Orang-orang berkumpul, menari, dan berkomunikasi lewat simbol-simbol yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.
Musik Rock Jalanan | Unsplash/Evgeniy Smersh
Fashion etnik juga mengalami reinkarnasi seperti kain tenun, motif batik, atau aksesori rotan dipadukan dengan sneakers dan jaket kulit. Perpaduan ini menciptakan estetika baru yang liar, berani, dan out of the box.
Neo-tribalism mengajarkan bahwa warisan budaya bukan museum mati, tapi bahan bakar kreatif untuk membangun masa depan yang lebih berakar. Bagi banyak anak muda, pakai kalung manik-manik atau ikat kepala bukan cosplay, tapi pernyataan eksistensi.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, simbolisme suku asli malah hidup lebih keras di TikTok, Instagram, bahkan Metaverse — di tempat-tempat yang dulunya dianggap lahan steril budaya.

Momen Neo-Tribalism di Era Digital: Ironi atau Evolusi?

Melihat neo-tribalism mekar di dunia serba online memang terasa sedikit ironis, tapi di situlah letak magisnya. Anak muda berhasil menggunakan alat modern untuk membangkitkan jiwa kuno.
Identitas suku tidak lagi terjebak di desa atau pulau tertentu, melainkan melintasi server dan jaringan global. Suku-suku baru lahir di Discord, di komunitas-komunitas underground, di NFT berbentuk artefak digital.
Neo-tribalism menunjukkan bahwa akar budaya bisa tumbuh bahkan di tanah yang paling artifisial. Spirit itu bergerak, menari bebas di antara pixel, emoji, dan metadata.
ADVERTISEMENT
Bagi generasi ini, menjadi suku bukan soal darah atau garis keturunan saja, tapi soal pilihan sadar untuk belong dengan lebih bermakna. Neo-tribalism bukan sekadar gaya hidup — ini adalah sebuah puisi tentang siapa yang berani kembali ke akar, sambil tetap menatap langit masa depan.