Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pengkategorian Buruh: Bukan Hanya Pekerja Kasar
30 April 2025 20:49 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fathan Muslimin Alhaq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pengategorian buruh sering kali disalahartikan hanya sebagai pekerjaan kasar tanpa keterampilan. Padahal, klasifikasi buruh dalam dunia industri sudah dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
ADVERTISEMENT
Penting untuk memahami bahwa istilah "buruh" bukan sekadar label sosial, melainkan memiliki cakupan profesional yang luas. Dalam konteks modern, buruh tak melulu berkeringat di lapangan—mereka juga bisa bekerja di balik layar sistem digital dan manajemen.
Stereotip yang melekat pada buruh sebagai kelompok yang minim keahlian sebetulnya telah usang. Zaman sudah berubah, dan klasifikasi buruh pun ikut menyesuaikan diri dengan dinamika industri 4.0.
Melihat buruh hanya dari sisi fisik kerja adalah cara pandang yang menyederhanakan kompleksitas dunia kerja. Justru, memahami kategorinya bisa membuka ruang dialog baru untuk keadilan tenaga kerja.
Kini saatnya memutar haluan dari pandangan konvensional menuju pemahaman yang lebih adil dan progresif tentang buruh dan perannya di industri.
Ragam Kategori Buruh Menurut Undang-Undang
Menurut Pasal 1 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003, buruh atau pekerja adalah setiap orang yang bekerja dan menerima upah. Ini berarti buruh bisa bekerja di berbagai bidang, tidak hanya pekerjaan kasar.
ADVERTISEMENT
UU ini kemudian membagi buruh dalam kategori berdasarkan sifat, waktu, dan status hubungan kerja. Ada buruh harian, borongan, tetap, kontrak, dan lepas—semuanya punya hak dan perlindungan hukum yang sama.
Menariknya, pengelompokan ini tak berhenti di level administratif saja, melainkan juga menjadi landasan untuk menentukan kesejahteraan mereka. Termasuk upah minimum, jaminan sosial, dan hak mogok kerja.
Salah satu poin penting adalah pengakuan terhadap buruh sektor informal yang kini mulai dilibatkan dalam kebijakan ketenagakerjaan. Perlindungan mereka menjadi kunci penguatan ekonomi akar rumput.
Menurut Direktur Pengawasan Norma Kerja Kemnaker, Yuli Adiratna, "Seluruh pekerja berhak atas perlindungan hukum, termasuk buruh informal seperti driver ojek online dan pekerja rumahan".
Buruh Terampil: Antara Inovasi dan Produksi
Tak semua buruh bekerja dengan otot—banyak juga yang mengandalkan otak dan kreativitas. Misalnya, teknisi pabrik, operator mesin CNC, hingga quality control di pabrik farmasi.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan mereka menuntut ketelitian tinggi, sertifikasi keahlian, bahkan kemampuan teknologi yang mutakhir. Namun tetap masuk dalam kategori buruh karena sistem pengupahannya bersifat hubungan kerja.
Di sisi lain, ada juga buruh kreatif di sektor digital seperti desainer UI/UX dan operator media sosial. Mereka pun sering kali berada dalam struktur kerja yang tidak jauh berbeda dari pabrik.
Ironisnya, meskipun disebut buruh terampil, stigma "pekerja kelas dua" masih membayangi status sosial mereka. Hal ini perlu diluruskan agar pengakuan terhadap skill bisa sejalan dengan nilai kerja.
Profesor Payaman Simanjuntak, pakar ketenagakerjaan, pernah menyatakan dalam jurnalnya (Jurnal Ilmu Sosial, 2022) bahwa "pengakuan atas keterampilan buruh adalah kunci produktivitas nasional".
Perluasan Makna Buruh di Era Digital
Di era gig economy, batas antara buruh dan pekerja lepas semakin kabur. Banyak pekerja freelance yang bekerja layaknya buruh, tapi tanpa status resmi dan perlindungan hukum.
ADVERTISEMENT
Mereka mengerjakan tugas berulang, dibayar berdasarkan hasil, dan tetap dalam kendali platform atau perusahaan. Namun, label "buruh" tidak dilekatkan pada mereka karena stigma masih menempel.
Padahal secara fungsi, mereka memenuhi ciri pekerja sebagaimana diatur UU Ketenagakerjaan. Ketimpangan ini menciptakan celah hukum dan diskriminasi sosial.
Karenanya, redefinisi buruh perlu dilakukan agar semua bentuk pekerjaan bisa mendapatkan hak yang setara. Tak peduli apakah bekerja di depan layar atau di balik palu dan obeng.
Sudah saatnya sistem ketenagakerjaan menyapa para pekerja digital sebagai bagian dari keluarga besar buruh Indonesia.
Menggeser Paradigma, Membangun Keadilan
Mengubah cara pandang terhadap buruh bukan sekadar wacana akademik, melainkan kebutuhan sosial. Masyarakat perlu memahami bahwa buruh bukan kasta terbawah dalam hierarki kerja.
ADVERTISEMENT
Buruh adalah pondasi utama roda ekonomi, baik itu di sektor manufaktur, layanan, teknologi, hingga informal. Mereka adalah wajah produktivitas yang sering kali luput dari sorotan.
Pengategorian yang jelas dan adil bisa mendorong kebijakan yang lebih inklusif dan progresif. Termasuk upah layak, akses pelatihan, dan jaminan kerja jangka panjang.
Kesadaran kolektif harus dibangun agar buruh tak lagi dipandang sebagai "pekerja kasar," tapi sebagai profesi yang pantas dihormati.
Jika pengusaha, pemerintah, dan masyarakat bisa melihat buruh dari lensa yang lebih luas, maka keadilan industrial bukan hanya utopia. Ia bisa jadi kenyataan.