Konten dari Pengguna

Student Loan: Relevansi Bagi Mahasiswa di Era Krisis dan Ketimpangan

Fathan Muslimin Alhaq
Content Writer (Freelance) - Journalism Student at Esa Unggul University - Writer Enthusiast
3 Mei 2025 15:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathan Muslimin Alhaq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Mahasiswa Menggunakan Student Loan | IUnsplash/Tim Gouw
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mahasiswa Menggunakan Student Loan | IUnsplash/Tim Gouw
ADVERTISEMENT
Student loan atau pinjaman mahasiswa bukan sekadar solusi finansial, tapi juga cerminan struktur pendidikan yang belum merata. Di tengah krisis ekonomi dan ketimpangan akses, konsep ini layak dipertanyakan ulang, siapa sebenarnya yang diuntungkan?
ADVERTISEMENT
Di beberapa negara maju, student loan adalah keniscayaan bagi generasi muda. Namun di negara berkembang seperti Indonesia, wacana ini sering terbentur stigma dan kekhawatiran akan jebakan utang.
Fenomena ini menuntut refleksi bahwa apakah pinjaman pendidikan adalah tiket mobilitas sosial, atau justru mesin pencetak beban baru? Sebuah pertanyaan yang semakin relevan saat biaya kuliah melambung tanpa jaminan lapangan kerja setelah lulus.
Menurut laporan The World Bank tahun 2023, lebih dari 40 juta mahasiswa di dunia memiliki utang pendidikan aktif. Jumlah itu bukan hanya angka, tapi realitas yang menentukan arah hidup pasca wisuda.
Melihat tren ini, muncul tantangan penting yaitu bagaimana membuat student loan tetap relevan dan berkeadilan bagi semua lapisan mahasiswa?
ADVERTISEMENT

Student Loan Bukan Sekadar Utang

Narasi klasik menyebut student loan sebagai investasi masa depan. Namun, ketika jurusan dan pekerjaan tidak sinkron, investasi itu bisa berubah jadi liability jangka panjang.
Mahasiswa dari keluarga menengah ke bawah paling rentan terhadap jebakan ini. Mereka sering mengambil pinjaman demi gelar, meski prospek kerjanya belum tentu menjanjikan pengembalian.
Realitas hari ini menunjukkan bahwa ijazah bukan lagi jaminan stabilitas ekonomi. Justru, banyak sarjana yang akhirnya tersangkut cicilan tanpa kepastian penghasilan tetap.
Menurut OECD Education at a Glance 2023, tingkat pengembalian investasi pendidikan semakin menurun, khususnya di negara-negara dengan biaya kuliah tinggi. Ini menegaskan bahwa pinjaman pendidikan adalah zona abu-abu antara harapan dan kenyataan.
Artinya, student loan bukanlah solusi netral. Ia bisa menyelamatkan atau menjerat, tergantung dari sistem pendukung yang mengelilinginya.
ADVERTISEMENT

Ketika Keadilan Sosial Jadi Pertaruhan

Keadilan Sosial yang Berkaitan dengan Perdamaian | Unsplash/Kalea Morgan
Sistem student loan yang tidak inklusif bisa memperdalam ketimpangan. Mahasiswa dari keluarga mapan tak perlu pinjaman, sementara yang lain harus berjudi dengan masa depan.
Di negara-negara dengan sistem welfare kuat, seperti Norwegia atau Jerman, biaya pendidikan ditekan agar tak memerlukan pinjaman besar. Ini membuktikan bahwa solusi hutang bukan satu-satunya jalan.
Di Indonesia, wacana student loan masih sporadis, hadir melalui program seperti KIP Kuliah yang sifatnya lebih selektif ketimbang universal. Sementara itu, biaya hidup dan kuliah terus naik tanpa peredam struktural.
Jika student loan diterapkan tanpa kontrol sosial, bisa muncul dualisme pendidikan yaitu kampus elit untuk yang mampu, dan kampus utang untuk yang lainnya. Sebuah skenario yang harus dihindari jika ingin pendidikan jadi alat pemutus rantai kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Di tengah ketimpangan itu, reformasi kebijakan diperlukan agar sistem pinjaman tak memperlebar jurang sosial antar generasi.

Butuh Model Baru

Student loan perlu model yang lebih adaptif, bukan hanya soal pengembalian dana, tapi juga pengembangan potensi penerima. Bayangkan jika pinjaman dikaitkan dengan proyek sosial, wirausaha, atau kontribusi komunitas.
Beberapa universitas di India dan Kenya mulai mengembangkan skema “income-share agreements”, dimana mahasiswa membayar pinjaman berdasarkan persentase pendapatan setelah lulus. Ini menciptakan sistem yang lebih fleksibel dan manusiawi.
Alih-alih hanya mengejar pengembalian uang, pendekatan baru ini memberi ruang bagi pertumbuhan dan inovasi mahasiswa. Utang jadi bagian dari proses, bukan akhir dari perjuangan.
“Pendidikan tidak boleh menjadi sumber utang, melainkan jembatan menuju peluang,” tulis UNESCO Global Education Monitoring Report 2023. Kutipan ini menggarisbawahi pentingnya rethinking student loan sebagai kebijakan yang hidup.
ADVERTISEMENT
Model yang adil bukan hanya soal angka, tapi juga tentang bagaimana pinjaman bisa menjadi kendaraan perubahan sosial.

Edukasi Finansial dan Literasi Sosial

Sebagian besar mahasiswa tak dibekali literasi keuangan yang memadai sebelum mengambil pinjaman. Padahal, tanpa pemahaman yang kuat, utang bisa berubah jadi bumerang psikologis.
Edukasi soal konsekuensi, bunga, dan skema pembayaran harus diajarkan sejak awal masuk kuliah. Literasi finansial bukan bonus, tapi syarat utama bagi generasi utang.
Selain itu, perlu ada pendampingan sosial untuk mahasiswa penerima pinjaman agar tak merasa sendirian dalam prosesnya. Rasa berdaya bisa mengurangi beban mental yang ditimbulkan oleh utang.
Kampus juga punya peran sebagai fasilitator bukan hanya akademik, tapi juga kesejahteraan mahasiswa. Sistem pinjaman yang ideal harus disertai jaminan keseimbangan antara hak belajar dan hak hidup.
ADVERTISEMENT
Jika student loan ingin relevan, maka harus hadir sebagai ekosistem, bukan sekadar transaksi keuangan.