Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Krisis Rasionalitas dalam Demokrasi: Suara Rakyat Untuk Negri
24 April 2024 18:47 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Fathin Fadhilla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belum lama ini media masa kembali menyorot kasus kritik berujung pelaporan pada pihak kepolisian, seorang kritikus politik yang dilaporkan atas tuduhan menghina presiden, mari berdiskusi. Pembahasan dimulai dari konsep Indonesia sebagai negara demokrasi dengan azas kedaulatan berada ditangan rakyat, dari rakyat untuk rakyat. Jika azas tersbut diimplementasikan dengan baik dan benar, seharusnya dalam menjalankan demokrasi, rakyat tidak dibatasi untuk mengutarakan pendapat ataupun mengkritik kinerja pemerintah, selama kitik tersebut murni ditujukan kepada jabatan yang diduduki dan tidak menyinggung permasalahan pribadi seorang politisi. Sejalan dengan hal tersebut hak kebebasan berpendapat bagi kita sebagai rakyat Indonesia telah diatur dalam pasal 28 UUD tahun 1945 yang berbunyi “ Kemerdekaan berserikat, dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
ADVERTISEMENT
Jika undang-undang jelas mengatur hal tersebut, lalu pertanyaannya ialah mengapa tetap ada batasan bagi rakyat untuk beraspirasi, bukankah sebagai negara yang demokratis sudah sewajarnya kalau seorang pemimpin itu dikritisi, mungkinkah kita telah mengalami kemunduran dalam menjalankan demokrasi, bahkan jika kita perhatikan, tidak sedikit kritikus politik ataupun rakyat biasa sekalipun, dilaporkan ke pihak berwajib karena dinggap menghina pejabat publik dan pemerintah, apakah hak kebebasan berpendapat kita telah dibatasi, sebegitu takutkah pemerintah dikritik oleh rakyatnya sendiri? Apakah rakyat akan selalu dibayangi oleh bui ketika menyampaikan keluh kesahnya pada kinerja pemerintah?
Indonesia masa kini merupakan era dimana sudah banyak forum ataupun media yang dapat digunakan untuk menyampaikan aspirasi, meskipun tetap ada aturan yang harus kita patuhi, terutama dalam penggunakan bahasa yang tetap berlandaskan pada kepatuhan terhadap nilai dan norma yang ada, intinya dalam mengkritik kita harus tetap memikirkan apakah kepatutan dalam hal memilih bahasa ataupun istilah yang kita gunakan. Penggunaan Bahasa yang baik ini tentunya bertujuan untuk mencegah kesalahpahaman maksud kritik serta mencegah agar nantinya kritik yang kita sampaikan tidak dianggap sebagai suatu penghinaan.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus terbaru, seorang pengamat politik yang terkenal dengan kritikan pedasnya pada pemerintah, sekarang malah terancam dipenjara karena dianggap telah menghina presiden Joko Widodo, kasus yang bermula dari pernyataan Rocky Gerung dalam sebuah wawancara , dalam acara tersebut bung Rocky menggunakan istilah “bajingan tolol” cukup menuai pro dan kontra disemua kalangan, mulai dari politikus, pengamat politik hingga masyarakat umum. Bagi saya pribadi, penggnaan istilah semacam itu sangat wajar mendapatkan kotroversi dimasyarakat, tetapi dalam kasus ini kita perlu melihat konteks dari opini yang disampaikan oleh Rocky ini kemana, apakah tertuju kepada pribadi seorang Jokowi atau kepada jabatan beliau sebagai presiden atau tokoh public, dalam pernyataannya, pemilihan istilah yang digunakan rocky memang cenderung agak kasar, tetapi kembali lagi, setelah adanya klarifikasi oleh pihak Rocky terhadap pernyataan ini, bahwa yang beliau kritik bukanlah sosok Jokowi secara individu tetapi kritik tersebut ditujukan kepada jabatan dan kekuasaan yang saat diembannya sebagai presiden, hal inilah yang kemudian memberikan titik terang bagi penyelesaian kasus ini.
ADVERTISEMENT
Ada satu prinsip yang sudah seharusnya dipegang oleh seluruh pihak yang terlibat dalam praktik politik terutama bagi pejabat publik serta para kelompok-kelompok yang pro terhadap tokoh yang berkuasa, prinsip tersebut ialah, dalam menjalankan kekuasaan kita harus bisa melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang, tapi yang perlu kita ingat dalam mendukung ataupun membela seorang tokoh yang dalam hal ini adalah pejabat publik, tentu tokoh tersebut akan senantiasa mendapatkan kritik ataupun saran dari masyarakat sebagai bentuk input dari kebijakan serta kekuasaan yang mereka jalankan, dan hal tersebut tidak bisa dihilangkan dalam sistem pemerintahan negara Indonesia yang sangat menjunjung tinggi demokrasi, kritik serta saran yang disampaikan tersebut tidak akan pernah bermaksud untuk menghina personalitas tokoh tersebut, tujuan dari kritik tersebut ialah agar sang tokoh dapat melakukan upaya yang lebih baik untuk mencapai tujuan dari jabatan yang sedang mereka pegang. Selain itu sebelum mengambil langkah dalam memberikan respon balik terhadap kritikan yang disampaikan masyarakat, saran saya pemerintah perlu melakukan analisis serta peninjauan kembali, agar tidak salah mengartikan kritik yang disampaikan. Menjadi pemimpin dinegara demokrasi bukan sekedar menjalankan kekuasaan, siap menerima respon serta aspirasi rakyat demi pemerintahan yang lebih baik adalah faktor penting dalam berdemokrasi. Terkadang memang diperlukan “tamparan keras” jika ingin menjadi lebih baik. Selain menerima nikmat kekuasaan, seorang tokoh juga harus siap dengan resiko yang ada jika menduduki jabatan. Penggunaan istilah yang cenderung kasar memang tidak dapat dibenarkan, tapi kembali pada sudut pandang kita sebagai seorang pribadi, mungkinkah sebuah kritik akan didengar ketika bahasa yang kita gunakan sangat sopan, kritik pedas dapat diartikan sebagai rasa “frustasi” rakyat, dimana banyak permasalahan didunia pemerintahan yang tidak kunjung teratasi.
ADVERTISEMENT
Jika rakyat terus-menerus diberikan bayangan bui jika mengkritisi maka secara tidak langsung demokrasi Indonesia akan mengalami kemunduran, kasus rocky gerung merupakan satu dari sekian banyak kasus yang membuktikan bahwa meskipun kebebasan berpendapat diatur undang-undang, tidak ada jaminan bahwa setiap kritik yang kita sampaikan akan diterima dan dijadikan bahan masukan bagi para pemegang kekuasan sebaliknya, kritik dapat membawa kita kebalik jeruji besi. Kasus rocky memang berakhir dengan permintaan maaf dan klarifikasi, tetapi yang akan selalu menjadi tanda tanya ialah , apakah demokrasi Indonesia akan terus berjalan seperti ini, apakah hanya dengan berkuasa kita dapat beropini tanpa dibayangi bui? Kondisi seperti ini tentu akan menimbulkan kebingungan dimasyakat, apakah mereka harus takut jika mengkritisi atau mereka harus terima dengan kekuasaan sesuka hati?
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab pertanyaan diatas, saya mengutip sebuah pernyataan dari Fahri Hamzah ada perbedaan mendasar antara kritik terhadap pribadi presiden, dalam kasus Rocky Gerung , ada makna tersirat dalam kritik dalam yang dinilai sebagian masyarakat yang didominasi oleh pejabat menghina presiden, yang dikritik seorang rocky adalah kekuasaan atau jabatan presiden bukan pribadi seorang presiden, seharusnya pihak pelapor bisa membedakan mana yang urusan pribadi mana yang urusan berkaitan dengan jabatan sebagai pejabat publik yang sudah seharusnya dikritisi. Jika para pejabat ataupun tokoh ingin membantah kritisi, maka mereka harusnya menggunakan jabatan mereka pula sebagai pejabat dengan menggunakan data-data yang jelas, disini yang ditekankan ialah dalam kasus seperti seharusnya para pejabat merespon bukan sebagai pembela pribadi presiden, karena dari sekian banyak pembelaan pribadi tersebut, sebagian lainnya ada pihak-pihak yang sependapat dengan Rocky Gerung, hal itu dibuktikan dengan adanya aksi demonstrasi yang bertujuan mendukung kritik Rocky dalam menghadapi kasus ini.
ADVERTISEMENT
Opini itu bisa dimaknai dari berbagai sisi, bisa positif dan bisa juga negatif, tetapi dalam menjalankan demokrasi yang sesungguh, baik pemerintah maupun kita sebagai rakyat tidak harus memiliki satu pemikiran, demokrasi akan berjalan ketika adanya hubungan timbal-balik antara kedua belah pihak dan mengkritisi merupakan cara rakyat untuk berinteraksi dalam demokrasi, jika hak itu dibatasi maka apakah Indonesia masih bisa dikatan negara demokrasi? Kuncinya adalah, tanpa menyudutkan pihat manapun, baik rakyat maupun pemerintah harus bisa membedakan mana yang urusan pribadi mana yang urusan publik, karena hal ini nantinya juga akan ikut mempengaruhi sudut pandang kedua belah pihak dalam menanggapi suatu opini maupun peristiwa.
Era digital tidak mengharuskan kita untuk beropini diujung jari, era ini juga tidak mewajibkan kita untuk selalu menuai kontroversi dalam beropini, tapi faktanya sekarang , jika kita ingin didengar maka buatlah “kontroversi”, yang dalam hal ini menuntut masyarakat untuk sama-sama berfikir serta turut menganalis suatu peristiwa yang terjadi terutama berkaitan dengan kelangsungan demokrasi, kita sebagai rakyat Indonesia sudah seharusnya ikut berpartisipasi dalam menjalankan demokrasi, demokrasi memang dijalankan dengan sistem perwakilan, tetapi jika para wakil kurang bisa mewakili, maka tugas rakyat untuk beraspirasi. Jika pemimpin disebuah negara demokrasi ingin membalas kritik yang tertuju pada jabatan mereka maka buka laporan polisi solusinya, tetapi pembantahan dengan data yang akurat dan pasti merupakan solusi dari permasalahan yang terjadi.
ADVERTISEMENT