Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Realitas Tujuan Hukum di Indonesia dalam Konteks Keadilan dan Kesetaraan
7 Juli 2023 15:05 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Fathin Fadhilla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Manifestasi penegakan hukum di Indonesia, sebuah topik yang selalu menjadi pembahasan yang menarik di tengah masyarakat, mulai dari kasus-kasus pelanggaran hukum terkini, skandal para pejabat, hingga pada penegakan hukum itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Untuk lebih rincinya, saya akan mencoba membahas sedikit mengenai suatu konsep utama dalam penegakan hukum secara umum, konsep yang disebut “equality before the law” yang bermakna kesetaraan perlakuan dimata hukum.
Bagi saya pribadi konsep ini tentu dapat dipandang sebagai konsep yang sangat baik dengan tujuan yang mulia. Tetapi yang menjadi tanda tanya di sini ialah apakah dalam penerapannya, konsep ini bisa seindah itu?
Sejak dari bangku SD kita sudah diajarkan bahwa hukum di Indonesia itu dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai dua fondasi utamanya. Selain itu kita juga diajarkan bahwa hukum itu bertujuan untuk menciptakan keadilan serta menjaga ketentraman di masyarakat.
Sejalan dengan hal itu, adanya konsep equality before the law semakin menggambarkan bahwa hukum sebagai sarana mencapai keadilan tanpa pandang bulu terutama di Indonesia, konsep ini membuat masyarakat memiliki harapan bahwa siapapun mereka, dari manapun mereka berasal, di mata hukum mereka akan tetap mendapatkan perlakuan yang sama.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah ekspektasi, mungkin memang konsep ini sangat indah. Tetapi mari kita mengkaji berdasarkan realitas terutama pada zaman sekarang ini. Bagaikan ekspektasi yang tidak sesuai dengan realita, dalam pengimplementasiannya sendiri, konsep kesetaraan itu cenderung tidak berlaku bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kekuasaan apapun.
Kita pasti sering mendengar istilah hukum itu ibarat tombak yang terbalik, tumpul ke atas tapi runcing ke bawah. Hal itu diperkuat dengan adanya beberapa kasus seperti seorang nenek di Situbondo dihukum 1 tahun 3 bulan penjara dan denda sebesar Rp 500 juta hanya karena terbukti mencuri kayu milik Perhutani.
Di sisi lain kita sebagai rakyat Indonesia kembali dikejutkan dengan dengan pasal 603 RKUHP yang menyatakan bahwa hukuman minimal bagi para koruptor justru diturunkan dari yang awalnya empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Dari kedua kasus ini yang dapat kita pelajari ialah adanya perbedaan tipis dalam hal penentuan masa hukum di kedua kasus yang tentunya memiliki perbedaan yang signifikan. Bagaimana bisa seorang koruptor yang sudah merugikan negara sekian besarnya, tetapi minimal masa hukumannya sama dengan pelaku pencurian kayu yang jika dihitung, tentu kerugiannya begitu kecil dibandingkan uang rakyat yang sudah dikorupsi para koruptor.
Selain penjabaran kasus di atas, saya juga ingin menyoroti perihal kelemahan dalam hal penegakan hukum di Indonesia. Seperti yang dikutip dari laman situs DosenPPKN.com, salah satu kelemahan dari hukum Indonesia ialah adanya campur politik yang seakan menghambat proses pelaksaan penegakan hukum.
Biasanya campur tangan politik ini akan terasa jika kasus tersebut memiliki dimensi struktural yang melibatkan para pejabat politik yang tentunya memiliki unsur kepentingan yang diperkuat dengan adanya kekuasaan politik yang menyertainnya.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan yang tidak diiringi dengan integritas moral serta profesionalitas cenderung akan melahirkan sosok pemimpin yang bisa dikatakan dapat cenderung menggunakan kekuasaannya dengan cara yang salah.
Sebagai contoh, belum lama ini kita sama dibuat geram dengan adanya seorang oknum kepolisian dengan pangkat yang tinggi dengan sengaja melakukan tindakan penghilangan nyawa ajudannya sendiri. Kasus ini merupakan kasus yang cukup rumit.
Dalam hal penetapan tersangka saja, publik sempat dibuat bingung. Pada awalnya status tersangka dijatuhkan pada seorang oknum perwira kepolisian berpangkat bharada yang sekaligus juga ajudan dari sang oknum kepolisian berpangkat tinggi ini.
Ya, meskipun pada akhirnya oknum kepolisian berpangkat tinggi ini ditetapkan sebagai tersangka bersamaan dengan istri dan juga sopir pribadinya, dari kasus ini bisa terlihat jelas bagaimana kekuasaan berusaha mempengaruhi hukum yang berlaku di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dapat kita bayangkan, jika penegakan hukum di Indonesia masih seperti ini saja, maka jangankan untuk menjalankan konsep “equality before the law” mungkin di masa depan, untuk mencapai keadilan bagi seluruh rakyat sesuai dengan sila kelima Pancasila saja mungkin akan sulit.
Seperti dikutip dari laman law.uii.ac.id , di mana seorang pakar hukum Universitas Islam Indonesia bapak Dr. Mudzakir, SH, MH berpendapat bahwa seiring berjalannya waktu hukum akan mengalami pergeseran orientasi yang awalnya untuk mencapai keadilan akan beralih menjadi sarana perwujudan kepentingan sang penguasa negara.
Solusi dari kondisi ini, dapat saya simpulkan berdasarkan, paparan konseptual Rocky Gerung yang berpendapat bahwa makna sebenarnya dari “equality before the law” itu ialah kesamaan itu bukan bertumpukan pada orang sebagai subjek hukum, tetapi hukum itulah yang harus sama bagi semua orang.
Serta adanya kesamaan pada akses hukum itu yang sudah seharusnya didapatkan semua orang, baik beliau pakar hukum ataupun orang biasa yang tidak tahu apa-apa tentang hukum harusnya tetap harus mendapatkan bantuan akses hukum seperti bantuan pengacara dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikarenakan dengan adanya pengetahuan hukum dapat membantu seseorang dalam menganalisis hukum tersebut, baik penguasa atau rakyat biasa berhak mendapatkan akses hukum yang sama, terutama untuk mencapai keadilan dalam menghadapi kasus hukum itu sendiri.
Ketidaksamaan akses inilah yang secara tidak langsung membuat hukum itu cenderung berjalan secara tidak adil dan tidak efektif dalam hal pemberian perlindungan terhadap semua orang terutama rakyat biasa.
Namun, akses hukum bukanlah satu-satunya permasalahan yang ada dalam perjalan mencari keadilan melalui penegakan hukum, proses hukum yang pada umumnya memakan waktu bahkan bisa bertahun-tahun serta memakan biaya yang cenderung tidak sedikit, secara tidak langsung dapat menimbulkan benih keraguan terutama bagi rakyat kecil yang terlibat kasus hukum.
ADVERTISEMENT
Dan, pada akhirnya membuat mereka menyelesaikan kasus tersebut dengan caranya sendiri. Contohnya dengan cara kekeluargaan. Jika dari sisi positifnya memang cara ini dapat menjadi solusi alternatif penyelesaian kasus hukum.
Tapi di sisi lain penyelesaian kasus hukum dengan cara kekeluargaan ini cenderung juga dapat memperbesar kerugian yang harus ditanggung salah satu pihak terutama korban. Contohnya saja pada kasus sebuah PT milik seorang politisi yang cukup terkenal dan berkuasa sekaligus kaya-raya.
Pada kasus ini sebuah proyek penambangan gas alam yang dilakukan pada beberapa tahun silam mengalami kegagalan yang diperparah dengan munculnya lumpur panas di dekat permukiman warga. Tentu saja ini menimbulkan kerugian di kedua belah pihak. Tetapi di sini warga sekitar yang sama sekali tidak terlibat dalam proyek tersebut merasa sangat dirugikan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, cara kekeluargaan yang diambil PT tersebut ialah dengan membayar ganti rugi kepada warga. Tapi sampai sekarang bahkan setelah belasan tahun kasus ganti rugi untuk korban masih menuai perdebatan. Bahkan masih ada korban yang menuntut ganti rugi hingga saat ini.
Meskipun demikian, ada hal lain yang membuat keadilan sistem hukum Indonesia dipertanyakan keadilan. Adanya berbagai kecurangan yang dilakukan beberapa oknum, tak jarang para penegak hukum terlibat kasus suap, terutama pada kasus-kasus besar yang melibatkan pihak berkuasa.
Selain itu, lemahnya hukum di Indonesia juga dapat dilihat dari adanya beberapa kasus main hakim sendiri yang dilakukan oleh massa kepada pelaku kejahatan. Dan seiring dengan hal itu, adanya sistem damai di tempat.
ADVERTISEMENT
Contohnya pada kasus pelanggaran lalu lintas. Tidak jarang oknum polisi yang memberlakukan sistem tilang dengan bayar denda di tempat, serta denda yang dibayarkan cukup besar. Hal ini sering menimpa orang-orang yang kena tilang, tapi takut untuk menjalani sidang dan pada akhirnya setuju untuk membayar denda langsung di tempat.
Ini juga semakin memperjelas bahwa ke depannya perlu adanya pembenahan serta kerja sama dari semua pihak demi terciptanya keadilan yang sesungguhnya di masyarakat.